Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLITIK Jerman, khususnya di bagian timur negara itu, tampak sedang bergerak ke kanan. Pekan lalu, hampir saja partai kanan ekstrem Alternative für Deutschland (AfD) memenangi pemilihan di Negara Bagian Brandenburg: meraih suara 29,2 persen, sedikit di bawah Partai Sosial Demokrat (SPD), partai penguasa yang mendapat 30,9 persen. Di Negara Bagian Thuringia, AfD menang, bahkan di Saxony menang telak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fakta ini mengejutkan karena AfD baru berdiri pada 2013. Sejak 1945, tak ada partai kanan yang tumbuh sedemikian cepat. Partai ini memikat kaum muda melalui kampanye ala TikTok dengan pesan tentang bahaya imigran yang akan mengurangi kesempatan kerja orang Jerman. Mereka menautkan pula menyempitnya kesempatan kerja itu dengan kampanye islamofobia. Bagi politikus AfD, Matthias Helferich, kebesaran Jerman akan kembali jika pengungsi dipulangkan ke negara mereka—Afrika atau Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua ini mengingatkan kita pada kampanye fasisme Hitler yang memperlakukan sekelompok orang laksana kanker dalam suatu bangsa. Fasisme bertolak dari anggapan bahwa bangsa yang semula jaya kini digerogoti benalu sehingga diperlukan kapak atau fasces (kata Italia yang artinya “serumpun batang yang diikat pada kapak”) untuk memotong tumbuhan parasit tersebut. Di zaman Hitler benalu itu ialah Yahudi, kini para imigran.
Bagaimanakah memahami perkembangan politik semacam ini? Jürgen Habermas dalam A Berlin Republic: Writings on Germany (1997) menangkap keinginan kelompok konservatif Jerman akan kehidupan bangsa yang normal, dan hal itu dicapai dengan menulis lagi sejarahnya. Habermas, sejak 1980-an, terlibat dalam debat panjang mengenai masa lalu Jerman, yang sering dianggap memalukan karena kejahatan Hitler. Debat itu makin penting sejak 1989, saat penyatuan kembali Jerman setelah runtuhnya Tembok Berlin.
Pokok perdebatan ialah bagaimana suatu bangsa bisa kembali mencintai sejarahnya. Bagi kita di Indonesia hal ini lumrah, tapi bagi orang Jerman hal itu cukup lama dianggap tabu. Michael Stürmer, sejarawan kondang, pernah bertanya, “Berapa lama lagi tamu yang telah membatu dari masa lalu itu kita biarkan terus memveto pentingnya keutamaan rasa kebangsaan dan cinta kita pada tanah air?” Tamu yang membatu yang dimaksud Stürmer adalah korban Auschwitz—mereka yang dibunuh dalam kamp konsentrasi.
Habermas tahu pertanyaan demikian menguntungkan posisi politik kaum kanan. Dan tampaknya kemenangan AfD menunjukkan lelatu nasionalisme yang mulai menyala di Jerman. Maka Habermas hendak menuntaskan duduk perkara dengan terus bertanya, mengulang pertanyaan Theodor W. Adorno tahun 1959: apa yang dapat kita pelajari dari sejarah setelah kita meninjaunya kembali? Habermas sepakat dengan Adorno bahwa masa lalu kekejaman Nazi Jerman perlu ditinjau tanpa ampun, agar hasilnya jadi bahan perenungan.
Pada 1989, optimisme pemulihan kebesaran Jerman tengah menyala sehingga narasi sejarah Jerman kini dilihat sebagai kisah panjang sejak era Bismarck—bukan sekadar kisah tentang rasa bersalah.
Kalaupun sejarah sedemikianlah juga jalannya, bagi Habermas, narasi historis Jerman harus tetap menyertakan Auschwitz. Katanya, “Kita harus secara terbuka berkonfrontasi dengan masa lalu yang traumatis yang tak terperikan sekalipun. Kebebasan politik yang kita miliki kini bukan sekadar momen setelah Auschwitz, melainkan karena Auschwitz….”
Habermas melanjutkan, Jerman harus mengatasi problem nasionalisme etniknya dengan sebentuk rasa kebangsaan baru yang disebutnya “patriotisme konstitusi”. Patriotisme itu secara terus-menerus dibangun lewat regulasi yang inklusif, berwatak solidaritas sosial, yang diputuskan melalui mekanisme debat publik yang berkesinambungan. Hidup normal dan berdamai dengan masa lalu harus disertai dengan rancangan masa depan yang demokratis seraya tetap bersedia merespons bermacam kepentingan negeri jiran lain di Eropa.
Di sini Habermas memperkenalkan cara merangkul narasi traumatis suatu bangsa, agar dengannya jalan politik nasionalisme kanan ekstrem dari sebagian warga Jerman dapat dibatasi.
Cara ini dekat dengan pemetaan Jeffrey C. Alexander atas model penuturan Holocaust yang berhasil mengatasi trauma dan rasa bersalah. Bagi Alexander, hal ini terjadi karena narasi sejarah bercorak progresif (Trauma: A Social Theory, 2012).
Alexander sadar bahwa kisah masa lalu yang tragis saat dituturkan kembali tak lepas dari upaya kodifikasi atasnya. Kejadian perang yang brutal dan tak terperi telah hadir dalam sejarah manusia. Namun, saat tentara Amerika membebaskan tahanan di kamp konsentrasi Nazi yang mengerikan itu, dunia mendapatkan tagline baru: holocaust. Narasi itu pun berlanjut secara progresif dan menunjuk sebentuk peleraiannya: pada pengadilan Nürnberg atas penjahat perang, sampai pada kompensasi “gaji” seumur hidup untuk korban, yang dibayarkan kepada keluarganya oleh orang Jerman.
Di Indonesia, akhir September ini, kita tak bisa menghindari tagline G-30-S-PKI. Film Pengkhianatan G 30 S PKI baru saja diputar lagi di salah satu stasiun televisi nasional. Kita mendengar pengakuan pemerintah bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia sejak 1965, meski hal itu diberi kode “penyelesaian non-yudisial”.
Ingatan kita campur aduk, seolah-olah ada yang tetap ingin ditutupi sehingga narasi sejarah kita tak kunjung progresif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tuturan Progresif Sejarah"