Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Riset tanpa Kebebasan Akademik

Di Indonesia, upaya membangun ekosistem riset terhambat absennya kebebasan akademik. Perempuan peneliti kita lebih berkembang di luar negeri.

23 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia terancam gejala Dutch disease karena ekonomi Indonesia yang amat bertumpu pada komoditas membuat pemerintah terlena dan tak serius membangun ekosistem riset yang mendorong inovasi.

  • Kebijakan negara memaksakan penyatuan lembaga riset dalam satu lembaga, yakni Badan Riset dan Inovasi Nasional, menunjukkan besarnya dominasi pemerintah membatasi kebebasan dalam pengembangan sains dan teknologi.

  • Para peneliti Indonesia, termasuk perempuan, lebih berhasil di luar negeri karena iklim kebebasan akademik dan ekosistem inovasinya lebih baik.

JIKA kita tak serius memperbaiki ekosistem riset dan inovasi, Indonesia bisa menjadi tikus yang mati di lumbung padi. Berkah kekayaan alam kita yang melimpah justru menjadi kutukan ketika negara gagal mengantisipasi dampak negatif dari moncernya industri ekstraktif dan komoditas seperti sawit dan batu bara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah kenapa laporan utama kami kali ini menyoroti profil para perempuan peneliti Indonesia. Selain merayakan pencapaian para Kartini masa kini, kiprah mereka yang membanggakan justru mendorong kita melakukan introspeksi. Sebagian besar akademikus ini membangun karier di luar Indonesia. Kesuksesan mereka sedikit-banyak ditopang ekosistem riset dan inovasi di luar negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belanda pernah mengalami keadaan ketika kekayaan alam justru menjadi candu yang melenakan—fenomena yang pernah disebut majalah The Economist pada 1971 sebagai penyakit Belanda alias Dutch disease. Setelah menemukan cadangan gas alam besar pada 1959, nilai ekspor komoditas negara bekas penjajah kita itu meningkat tajam. Namun, sepuluh tahun kemudian, pada 1970-1977, pertumbuhan ekonomi mereka justru stagnan. Jumlah penganggur naik dan nilai investasi melorot drastis.

Ironi serupa ditemukan di banyak negara yang mengandalkan pendapatan dari kekayaan alam, termasuk Indonesia. Majunya sektor ekstraktif dan komoditas umumnya berpengaruh buruk pada pengembangan sektor manufaktur dan industri lain. Tingginya pendapatan dari ekspor berbasis kekayaan alam malah mendorong inflasi dan menggerus potensi pengembangan sektor industri lain yang bisa menarik investasi serta tenaga kerja.

Australia dan Norwegia adalah dua contoh negara dengan kekayaan alam luar biasa yang berhasil mengatasi Dutch disease. Mereka menyadari pentingnya ekonomi berbasis inovasi agar tak terjebak kutukan berkepanjangan akibat rezeki nomplok ekspor komoditas. Australia kini maju berkat kebijakan ekonominya yang mendorong inovasi dan riset. Banyak insentif diberikan kepada perguruan tinggi agar mahasiswa dan dosen di sana terus melakukan riset dan pengembangan.

Di Indonesia, pemerintah justru mengambil langkah kontroversial dengan penyatuan lembaga riset dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional. Berdalih kebijakan itu akan membuat anggaran riset lebih efektif, pemerintah justru menunjukkan wajah otoriter dengan mengabaikan keberatan dan masukan konstruktif dari para pemangku kepentingan di dunia riset sendiri. Berbagai data dan argumentasi pembanding tak diindahkan.

Sikap semacam ini seiring dengan tren belakangan di dunia riset dan perguruan tinggi setelah disahkannya Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nomor 11 Tahun 2019. Peraturan ini mengatur sanksi pidana dan denda miliaran rupiah untuk peneliti asing. Peneliti juga dapat dijatuhi pidana apabila melakukan riset tanpa izin dari pemerintah. 

Sejumlah intelektual yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik mengecam tren ini. Mereka mencatat belakangan ini ada peningkatan jumlah kasus penyerangan terhadap kebebasan berpendapat dosen ataupun mahasiswa di Indonesia dan menguatnya narasi antisains di kalangan pejabat pemerintah. Ini tak hanya mengancam perguruan tinggi dan lembaga penelitian, tapi juga menjauhkan pemerintah dari pola kebijakan berbasis riset dan data.

Tak adanya kebebasan akademik ini akan memicu stagnasi ekonomi berbasis inovasi. Belajarlah dari Shenzhen di Cina, yang pada 1980-an merevolusi ekonominya dengan membuka keran kebebasan berinovasi, kebebasan bergerak, dan kebebasan bekerja. Walhasil, produk domestik brutonya tumbuh 22 persen per tahun selama 1980-2016.

Resep mereka sederhana: pemerintah Shenzhen mendorong inovasi dengan memberikan kebebasan kepada dunia bisnis dan akademik. Deregulasi dilakukan untuk mendorong pebisnis dan peneliti berkolaborasi. Nama-nama besar di industri teknologi dunia, seperti Tencent dan Huawei, bermula dari Shenzhen.

Kebebasan dan meritokrasi adalah resep penting untuk mendorong kemajuan ekosistem riset dan inovasi. Tanpa itu, Indonesia tak akan bisa menghasilkan lebih banyak peneliti sekaliber Derry Tanti Wijaya, Fenny Martha Dwivany, Noor Titan Putri Hartono, Levana Laksmicitra Sani, dan Novalia Pishesha, para peneliti perempuan yang kiprahnya kami rayakan di edisi ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus