Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung memenjarakan pejabat Kementerian Perdagangan dan tiga eksekutif perusahaan sawit.
Jaksa tak terang benar menguar modus para tersangka mengakibatkan krisis minyak goreng.
Perkara penting ini mesti diusut tuntas dengan bukti yang kuat.
KEJAKSAAN Agung selayaknya membuka seterang-terangnya perkara pemberian izin ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Jika tidak, proses hukum terhadap sejumlah pejabat Kementerian Perdagangan dan petinggi perusahaan tersebut akan rentan ditafsirkan sebagai langkah pemerintah mencari kambing hitam atas kelangkaan minyak goreng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisruh minyak goreng mulai muncul sebelum pemerintah menerapkan kewajiban pasar domestik (DMO) sebesar 20 persen terhadap produsen CPO sebagai syarat persetujuan ekspor mulai akhir Januari lalu hingga pertengahan Maret lalu. Sejak akhir tahun lalu, pasar minyak goreng di dalam negeri kacau-balau membuat harga komoditas ini membubung. Pemberlakuan DMO untuk membanjiri bahan baku minyak goreng nyatanya tak meredakan krisis. Demikian pula setelah kebijakan DMO diganti dengan kenaikan pungutan ekspor dan bea keluar. Kebijakan itu tak cukup ampuh meredam persoalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus yang diusut Kejaksaan terjadi pada periode kebijakan DMO diberlakukan. Jaksa menuduh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana bermufakat dengan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley M.A.; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; dan General Manager Corporate Affairs PT Musim Mas, Picare Togar Sitanggang, dalam keluarnya persetujuan ekspor untuk ketiga perusahaan. Mereka diizinkan menjual CPO ke luar negeri meski belum memenuhi kewajiban pasar domestik masing-masing.
Syak wasangka muncul karena jaksa tak menjelaskan dengan gamblang peran ketiga tersangka dari perusahaan tersebut. Pasal korupsi yang disangkakan kepada mereka masih sapu jagat, yakni Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Antikorupsi tentang perbuatan yang merugikan keuangan negara ataupun perekonomian negara. Kejaksaan perlu menemukan setoran kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri dari tiga perusahaan yang diuntungkan oleh persetujuan ekspor tersebut agar bangunan kasus lebih solid.
Kejaksaan juga perlu mengusut keterlibatan direksi atau pemilik perusahaan. Tindakan seorang manajer senior, manajer umum, ataupun komisaris yang berdampak terhadap kelangsungan perusahaan mustahil tak diketahui oleh atasan atau pengendali perusahaan. Jika perbuatan itu atas nama korporasi, Kejaksaan bisa menjadikan korporasi tersebut sebagai tersangka.
Kejaksaan pun bisa memperkuat perkara dengan sekaligus mengusut keanehan penyaluran subsidi biodiesel B30 melalui dana sawit. Perusahaan yang sama merupakan penikmat terbesar subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Penelusuran majalah ini menemukan penentuan harga asam lemak nabati (FAME) yang menjadi dasar penghitungan subsidi berlumur konflik kepentingan.
Rapat-rapat di Kementerian Perekonomian, yang merupakan Ketua Dewan Pengarah BPDPKS, ditengarai melibatkan para petinggi perusahaan sawit (Baca: Investigasi Dana Sawit). Indikasi ini semestinya bisa jadi pintu masuk bagi aparat hukum untuk menelusuri penyimpangan subsidi biodiesel triliunan rupiah sejak 2015.
Penegakan hukum yang sungguh-sungguh akan menghapus keraguan bahwa perkara ini hanya jalan pintas pemerintah mencari pihak yang bisa disalahkan dalam krisis minyak goreng.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo