Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBERONTAKAN tentara bayaran Wagner Group atas pimpinan militer Rusia, dua pekan lalu, menunjukkan bahayanya keberadaan tentara swasta dalam sebuah negara. Bukan hanya itu, pasukan militer partikelir seperti Wagner juga mengancam stabilitas politik regional dan global. Jangan sampai pemerintah suatu negara bisa mengintervensi urusan negara lain dengan meminjam tangan pasukan bayaran. Perserikatan Bangsa-Bangsa seharusnya turun tangan memastikan tak ada keterlibatan pasukan bayaran dalam konflik internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbaliknya sikap pemimpin Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, yang kini justru berseberangan dengan rezim ultranasionalis Rusia yang dikendalikan Presiden Vladimir Putin seharusnya tak mengagetkan karena loyalitas pasukan semacam itu memang mudah berubah tergantung siapa yang membayar paling mahal. Yang justru harus dipertanyakan adalah keputusan Presiden Putin sendiri, yang sejak awal konflik di Ukraina memilih mengandalkan pasukan bayaran semacam Wagner Group untuk menginvasi negara tetangganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegagalan Putin mengelola perseteruan antara para jenderal utamanya di angkatan bersenjata Rusia dan tim Yevgeny Prigozhin yang banyak berisi mantan elite militer menguak rapuhnya konstelasi politik rezim yang tengah berkuasa di Kremlin. Meski pemberontakan Wagner Group bisa dipadamkan berkat campur tangan Presiden Belarus Aleksandr Lukashenko, retak dalam kekuasaan Putin kini jelas terpampang. Kegagalan strateginya di Ukraina dan berbagai kesalahan kebijakannya membuat posisi politik Putin terus merosot.
Selama hampir seperempat abad memimpin Rusia, Presiden Putin selalu dianggap sebagai dirigen ulung yang berhasil meningkatkan posisi tawar negaranya dalam kancah geopolitik global. Dengan ekspor sumber daya alamnya, terutama di sektor energi, Rusia berhasil membangun mesin ekonomi besar, yang juga ditopang oleh pasar domestiknya. Namun yang kerap dilupakan orang adalah sifat ultranasionalistik rezim Putin di Rusia. Narasi kebesaran sejarah masa lalu Rusia selalu didengung-dengungkan dan kekuatan Barat sering dipersepsikan sebagai ancaman untuk kembalinya kejayaan mereka. Dengan cara berpikir semacam itu, Rusia mudah tergelincir pada sindrom Napoleon sehingga keliru mengukur kemampuan dirinya dalam mengelola konflik di kawasan.
Baca liputannya:
Aspirasi Putin untuk membawa Rusia kembali menjadi pemimpin global tentu tidak salah. Ada banyak negara yang punya mimpi serupa. Namun, ketika tujuan itu dianggap sebagai keharusan sejarah dan tidak ditopang oleh kesamaan nilai-nilai dengan negara tetangganya, yang terjadi adalah dominasi yang dipaksakan dengan campur tangan kekuasaan bersenjata. Itulah awal mula invasi Rusia ke Ukraina dan alasan Putin merestui pengerahan pasukan bayaran seperti Wagner Group di medan perang.
Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Internasional 1989 jelas melarang penggunaan pasukan bayaran di arena konflik antarnegara. Sulit untuk percaya Kremlin tidak tahu soal sepak terjang Wagner Group di Libya, Suriah, hingga Afrika Tengah, untuk berbagai misi perang yang menguntungkan posisi Rusia. Kini, ketika Putin kehilangan kendali atas pasukan bayarannya, semua proyek militer Wagner Group di berbagai negara bisa menjadi bola liar. Bukan hanya keamanan negara itu yang kini di ujung tanduk, tapi juga keamanan global.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo