Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
München di bulan Juli awal tahun 1900-an adalah sebuah kota yang asyik dengan siang yang cerah. Dalam novela Thomas Mann, Gladius Dei, yang terbit di tahun 1902, kota itu tampak seperti Firenze 500 tahun sebelumnya. Bukan kebetulan. Dalam cerita ini ada bayang-bayang mini sebuah drama besar di kota Italia di masa Renaisans itu: kisah tentang iman dan amarah.
"München terang-benderang," demikian cerita ini bermula. Semua tampak santai, terutama di avenue di sebelah utara. Orang tak didera keserakahan memperoleh penghasilan. Mereka hanya mau hidup nyaman. Para perempuan mengenakan kostum ala penduduk Bukit Albani di tenggara Roma yang panas, dan seperti konon di Firenze di abad ke-15, di München kesenian muncul di tiap sudut.
Dari jendela-jendela yang terbuka suara piano, biola, atau cello terdengar. Anak muda berkumpul di belakang gedung teater, atau keluar-masuk perpustakaan mengantongi majalah sastra, atau menyiulkan melodi dari satu fragmen opera Richard Wagner, Siegfried, di adegan ketika pedang Nothung ditempa.
"Seni tumbuh! Seni berkuasa!" kata sang narator dalam Gladius Dei. Di atas München, seni seakan-akan tersenyum merentangkan tongkat kerajaannya.
Syahdan, di salah satu bagian Lapangan Odeon di kota itu, berdiri toko milik Tuan Blüthenzweig. Boutique itu menawarkan reproduksi hampir semua karya besar seni rupa dunia. Juga curio dari zaman Renaisans, kaca dekoratif dan patung tembaga, vas warna-warni, dan potret para seniman dan filosof tersohor.
Dan ada yang lain dari yang lain. Di etalase, di atas kuda-kuda, tampak sebuah karya reproduksi yang melukiskan Madonna dengan Sang Bayi.
Tapi gambar di pigura itu sungguh tak konvensional.
Wanita yang memangku bocah itu adalah sosok keperempuanan yang memukau. Bibirnya yang lentuk tersenyum, setengah terbuka. Jari-jarinya yang lentik dan tampak gugup menutupi pinggul si bocah yang bugil. Anak itu memainkan payudara ibunya yang telanjang seraya matanya melirik ke arah orang-orang yang memandanginya.
Seorang anak muda yang menatap foto itu mendesis, "Der Kleine hat es gut….'' Si kecil itu enak banget! Temannya menambahkan: "Dan tampaknya ia ingin bikin orang iri." Komentar berikutnya: "Perempuan yang tak bisa dipercaya!"
Tapi pada saat itu ada seorang muda lain: Hieronymus.
Ia baru saja keluar dari Gereja Ludwig di mana ia merenung menatap sebuah fresko di dinding, gambaran Hari Kiamat yang mengerikan. Ketika ia kemudian lewat di depan etalase toko Blüthenzweig dan melihat gambar Madonna itu—dan mendengar komentar-komentar yang gemas itu—ia tak tahan.
Ia pulang. Tapi selama tiga hari ia tak bisa melepaskan pikirannya dari reproduksi di toko di Lapangan Odeon itu. Tiba-tiba ia merasa mendengar titah bahwa ia harus menyingkirkan pigura yang mengguncang keyakinan kepada "dogma imakulata" itu, keyakinan bahwa Maria dilahirkan bebas dari dosa asal. Bagi Hieronymus: gambar itu hanya lahir dari hasrat sensual.
Ia pun kembali ke boutique itu.
Di sini Hieronymus adalah titisan seorang rahib dari Firenze abad ke-15, baik paras maupun perangainya—dan itu memang niat Thomas Mann.
Girolamo Savonarola: dari mimbar Katedral San Marco, padri Dominikan yang sebenarnya tak fasih berbicara itu terus-menerus menembakkan khotbahnya ke arah segala yang dianggapnya bejat secara moral di Firenze. Pengikutnya pun bertambah banyak: para pemuda yang dengan keyakinan dan amarah menyita dari rumah-rumah penduduk barang yang dianggap mewah atau cabul. Semua ditumpuk di alun-alun dan dibakar. Apa yang dikenal sebagai falò delle vanità, "api unggun barang-barang pesolek", bermula di sini.
Tapi tak di semua hal Hieronymus adalah Savonarola. Sang padri menganggap agama akan jadi kuat jika lebih banyak buku dibasmi. Hieronymus justru mengakui pentingnya pengetahuan. Pengetahuan, katanya, adalah "kepedihan terdalam dunia", juga "api penyucian" yang akan mengantar sukma manusia ke tingkat yang ideal.
Kecamannya kepada karya seni (seperti yang dilihatnya di etalase itu) bukan hanya karena sebuah karya menghujat yang suci. Hieronymus melihat bahwa seni, "dengan warna cemerlang", telah dipakai menutupi kenestapaan hidup. Padahal seni, bagi pemuda ini, adalah pengetahuan: obor yang dengan kasih sayang menerangi jurang dalam di mana tersimpan "nista dan duka". Mengetahui, menerangi, tak menutupi—itulah yang utama.
Tapi metafor "terang" yang berasosiasi dengan "api" itu juga bisa mengarah ke kebinasaan; kita ingat Hieronymus terpukau menatap lukisan di Gereja Ludwig: semesta yang menyala-nyala di Hari Kiamat. Mungkin sebab itu gambarannya tentang seni mengandung paradoks. Seni, katanya, adalah "api ilahi" yang akan membakar dunia; semua yang memalukan dan menyiksa akan binasa "dengan belas kasih penebusan".
Tampak bahwa kata-kata Hieronymus (atau Mann?) sering melambung dan saling tabrak. Dan kita pun bertanya-tanya: benarkah seni bersifat mengungkap dan mengetahui, dan mengandung daya yang dahsyat, hingga Tuhan cemas dan mengancam manusia dengan pedang, Gladius Dei super terram, terutama ketika yang dirayakan adalah keasyikan indrawi?
Orang sering mengira, keasyikan itu karena manusia menemukan "keindahan"; tapi sebenarnya tak jelas apa itu. Orang masih berbantah, benar "indah"-kah wajah di kanvas Picasso, sentoran kencing Duchamp, lukisan Otto Dix, dan semua karya yang dianggap "bobrok" oleh kaum Nazi dan "dekaden" oleh kaum Stalinis.
Jangan-jangan seni hanya pernyataan takjub yang tak biasa, dalam proses yang tak terduga, tapi melibatkan diri kita yang fana secara intens. Namun apa pun maknanya, saya ragu benarkah Tuhan akan cemas.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo