Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT menegakkan wibawa Mahkamah Agung jika pemimpin lembaga peradilan tertinggi itu longgar dalam menegakkan etik. Apalagi berbagai pelanggaran oleh para hakim juga tidak ditangani dengan serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pemimpin Mahkamah Agung baru-baru ini dilaporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran kode etik. Para hakim agung itu menghadiri undangan perjamuan makan malam dari pengacara bernama Ahmad Riyadh di Surabaya, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjamuan antara hakim dan pengacara, baik yang sedang beperkara maupun tidak, jelas rawan konflik kepentingan. Jika terbukti, persamuhan ini menambah noda yang selama ini telah mencoreng Mahkamah Agung.
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya menangkap Sekretaris Mahkamah Agung dalam kasus yang berbeda, yakni Nurhadi dan Hasbi Hasan. Penyidik komisi antirasuah juga menangkap hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh karena terlibat jual-beli putusan. Ahmad Riyadh, pengacara yang mentraktir pejabat Mahkamah Agung, belakangan disebut dalam sidang kasus pencucian uang Gazalba karena menyerahkan suap S$ 18 ribu kepada hakim agung itu.
Kerusakan di Mahkamah Agung berpangkal pada lemahnya mekanisme pengawasan dan sanksi. Selama ini kontrol terhadap hakim agung dilakukan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung yang sekadar menjalankan fungsi administrasi. Komisi Yudisial, lembaga eksternal yang semula diharapkan mampu mengawasi perilaku hakim, pun tak bertaji. Mahkamah Agung cenderung mengabaikan rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial, misalnya, mencatat ada 85 hakim nakal yang direkomendasikan mendapat sanksi karena pelanggaran etik pada 2021. Namun Mahkamah Agung hanya menindaklanjuti dua usulan sanksi. Sedangkan pada 2019, dari 130 rekomendasi, hanya 10 hakim yang dijatuhi sanksi.
Komisi Yudisial, salah satu institusi demokrasi yang dibentuk selepas Reformasi, memang didesain lemah sejak didirikan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengatur tugas lembaga ini sekadar memeriksa pelanggaran etik dan mengusulkan sanksi atas pelanggaran hakim kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun otoritas Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi dipereteli oleh Mahkamah Konstitusi—lembaga yang juga lahir pasca-1998.
Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim konstitusi pada 2006. Mahkamah Konstitusi kemudian juga menganulir otoritas Komisi Yudisial dalam seleksi hakim tingkat pertama pada 2015. Yang terbaru, hakim konstitusi membatalkan kewenangan Komisi Yudisial mempunyai perwakilan sebagai anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Alih-alih memperkuat sistem peradilan kita, Mahkamah Konstitusi malah menjadi aktor pelemahannya.
Pelemahan Komisi Yudisial menunjukkan agenda penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi belum tercapai. Lembaga seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional, yang dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim, jaksa, dan polisi, tak bisa bergerak banyak. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi juga dilemahkan lewat revisi Undang-Undang KPK pada 2019.
Institusi-institusi yang menjadi produk Reformasi itu lahir untuk memperkuat mekanisme keseimbangan kewenangan terhadap lembaga peradilan dan penegakan hukum. Tanpa kontrol dan pengawasan oleh lembaga yang punya otoritas kuat, peradilan dan penegakan hukum kita akan terus berjalan korup dan sewenang-wenang. Lemahnya pengawasan membuat para pengadil justru makin menjatuhkan wibawa lembaga peradilan.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jauh Wibawa dari Mahkamah Agung".