Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PONDOK pesantren tak berizin menjadi masalah serius yang mesti diselesaikan pemerintah. Sejumlah kasus yang membahayakan santri menuntut pengawasan lebih ketat terhadap perizinan lembaga pendidikan berbasis agama itu. Kementerian Agama seharusnya tak lepas tanggung jawab atas penyelewengan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesantren tanpa izin jelas mengabaikan standar pendidikan. Pengelolanya pun bisa mengeksploitasi santri. Mereka juga tidak transparan dalam pengelolaan dana serta kegiatan. Sejumlah kasus menjadi contoh masalah-masalah itu. Sebut saja kasus kekerasan seksual terhadap enam santri Pondok Pesantren Pereng Al-Kahfi, Semarang. Pelakunya pemimpin pondok pesantren, Muhammad Anwar alias Bayu Aji Anwari, yang ditangkap polisi pada 1 September 2023. Pondok tersebut belum mengantongi izin dan tidak memenuhi persyaratan Kementerian Agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa terbaru terjadi di Pondok Pesantren Tartilul Quran Al-Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur. Seorang santrinya meninggal karena menjadi korban kekerasan seniornya. Pesantren itu juga belum memiliki izin dari Kementerian Agama. Karena pondok pesantren beroperasi tanpa izin, Kementerian Agama berdalih pesantren tersebut tidak berada dalam pengawasannya. Dengan kata lain, Kementerian Agama berlaku pasif.
Secara legal, aturan pengurusan izin pesantren memang terlalu longgar. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menyebutkan pesantren bisa memperoleh izin jika memiliki kiai dan mempunyai minimal 15 santri yang bermukim di pesantren, pondok, atau asrama, dan lainnya. Bandingkan dengan syarat pendirian sekolah swasta yang jauh lebih banyak, seperti memiliki kurikulum, fasilitas, sumber dana, dan jumlah guru yang sesuai dengan standar.
Meski syarat perizinan cukup longgar, banyak pondok pesantren menjalankan kegiatan tanpa izin. Tentu saja, karena aturan hukum yang sama memungkinkannya. Undang-undang itu mengharuskan pesantren berdiri dulu untuk mengurus izin dari pemerintah. Agar memiliki tata kelola baik, ketentuan itu semestinya diubah. Pengelola pesantren mesti memiliki izin dulu, baru bisa beroperasi. Aturan pendirian pesantren juga tak mengatur sanksi bagi pelanggarnya.
Kondisi itu makin parah dengan sikap pasif Kementerian Agama. Tak ada upaya mengontrol, mengawasi, atau menertibkan pondok pesantren yang beroperasi meski tidak mengantongi izin. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam di kementerian itu seolah-olah lepas tangan. Walhasil, makin banyak pesantren tak berizin yang berkegiatan.
Meski memberi penekanan pada agama, pesantren yang merupakan lembaga pendidikan semestinya perlu diatur dengan regulasi ketat. Hal itu demi memastikan terpenuhinya hak anak mendapatkan pendidikan berkualitas. Demi standar pendidikan pula, ada baiknya pengelolaan pesantren di Indonesia disatukan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Pengalihan itu memastikan pesantren mematuhi standar pendidikan nasional. Dengan demikian, pondok pesantren terhindar dari potensi eksploitasi santri serta mendapat bimbingan dan pengawasan memadai. Di bawah Kementerian Pendidikan, pesantren juga bisa berperan dalam promosi pendidikan yang inklusif, transparan, dan berkualitas bagi semua peserta didiknya.