Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAKSANAAN Pemilihan Umum 2024 membuat kita berpikir mengenai kata hitung. Di tempat pemungutan suara, kita mudah mendengar ungkapan “penghitungan suara”. Pewara televisi berbicara tentang “penghitungan suara sementara”. Lembaga-lembaga survei menyebut frasa “hitung cepat”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata hitung lekas mengingatkan kita pada matematika. Banyak orang tua mudah menyerah saat anaknya meminta bantuan dalam mengerjakan tugas sekolah. “Matematika rumit karena berhubungan dengan hitung-hitungan, angka, dan rumus,” kata mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu mengilhami Riza Astuti saat menulis buku cerita anak Bersahabat dengan Angka (1996). Buku ini mengangkat cerita dari beberapa bocah yang mengamati peristiwa di sekitar mereka, dari tukang bangunan hingga tukang sayur. Anak-anak malah menemukan kegembiraan dan tertarik pada matematika. Imajinasi dan kemampuan berpikir mereka terpantik. “Semakin sadarlah ia bahwa matematika bukanlah segudang angka dan rumus yang menakutkan seperti selama ini dipahaminya,” tulis Riza.
Coba periksa makna hitung dalam kamus-kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia mutakhir menulis artinya sebagai “membilang (menjumlahkan, mengurangi, membagi, memperbanyakkan) dan sebagainya”. Adapun Kamus Matematika (2002) susunan Djati Kerami dan Cormentyna Sitanggang tak langsung memberi penjelasan, tapi ada turunannya, seperti (1) “menghitung” yang berarti membuat suatu perhitungan dan (2) “penghitungan” yang berarti proses pemecahan suatu masalah numerik merupakan operasi.
Paparan Djati dan Cormentyna itu membawa kita pada frasa “penghitungan suara” dalam pelaksanaan pemilihan umum. Naga-naganya, pengertian hitung yang dimaksudkan dalam pemilihan itu sebatas pada penjumlahan. Kerancuan logika berbahasa telah membuat kita dengan mudah memaksakan penggunaan kata hitung karena, secara denotatif, hitung berhubungan dengan pengurangan, pembagian, dan perkalian.
Soal perkara hitung-hitungan dalam pemilihan umum ini juga telah menimbulkan prasangka atau dugaan mengenai terjadinya kecurangan. Maka muncullah istilah-istilah seperti penggelembungan suara, indikasi kecurangan pemilu, selisih hasil, dan pemilihan ulang. Hal itu tampaknya berpangkal pada kekeliruan penggunaan lema hitung.
Yang lebih bermasalah adalah bahasa dalam pemilu di Indonesia agaknya penuh ketaksaan. Bagaimana mungkin suara itu dihitung? Suara erat kaitannya dengan frekuensi dan kecepatan. Lebih tepat bila menyebutnya sebagai penjumlahan hasil pencoblosan dengan paku pada kertas saat pemilihan. Bandingkan dengan vote, yang entah bagaimana kita terjemahkan sebagai “suara”, yang dibedakan dari voice, yang memang bermakna “suara”, dalam bahasa Inggris.
Dalam sejarah republik ini, pada mulanya praktik demokrasi itu adalah suatu musyawarah untuk mufakat. Rustam Sultan Palindih memaparkannya dalam bukunya, Rakjat Berdaulat dan Pemilihan Umum (1952). Ia menyebutkan, “Kebulatan mufakat tentu sukar diperoleh, sebab kerelaan orang tidak sama besarnja. Maka itu mufakat itu terpadu oleh djumlah suara mufakat jang paling besar (majoriti, pluraliti), sedang bagian jang ketjil (minoriti) dianggap tunduk dan taat kepada permufakatan itu, asal berdasarkan paham demokrasi.”
Paparan Rustam itu menerangkan bahwa dulu pemilihan umum mempertemukan antarpihak dalam ruangan. Di sana ada perundingan dan percakapan dengan argumen. Saat tidak mencapai mufakat, ada mekanisme agar setiap orang mengeluarkan suara kepada yang dipilihnya. Suara itu bahasa tubuh, yakni mulut yang berbicara. Bisa jadi, dari sinilah kata suara digunakan dalam mekanisme pemilihan umum, meskipun di “bilik suara” kita justru tidak boleh berbicara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hitung Suara"