Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Laut

Pesisir adalah anathema. Sampai abad ke-20, bahasa orang pesisir tak dianggap layak sebagai bahasa Jawa yang “baik dan benar”.

2 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nenek moyangku seorang pelaut
gemar mengarung luas samudra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

.Tapi laut adalah bagian yang bisu dalam narasi tradisional sebagian penghuni Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lakon wayang tak dimulai dan diakhiri dengan laut, melainkan dengan gunungan: kerucut dua dimensi yang berisi relief pohon dan hewan hutan. Jika yang hendak dilambangkan di sana adalah semesta yang sakral dan berwibawa, laut tak masuk hitungan.

Memang, sebuah negara yang ideal dalam imajinasi wayang kulit, sebagaimana diuraikan dengan fasih dalam janturan sang dalang, mempunyai laut. Tapi laut adalah elemen yang marginal. Negara ideal, kata Ki Dalang, adalah negara yang “membelakangi pegunungan, di sebelah kiri diapit sawah yang luas membentang, di sebelah kanan benua, dengan pelabuhan yang besar”—ngungkuraké pagunungan, ngeringaké pasabinan, nengenaken banawi, ngayunaken bandaran gedhé. Tampak dalam uraian itu laut cuma tersirat dalam kata terakhir, bandaran gedhé.

Mungkin karena asalnya adalah epos yang tumbuh di wilayah pedalaman India purba, tokoh wayang tak pernah digambarkan sebagai orang gagah perwira yang (seperti nenek moyang anak Indonesia) “gemar mengarung luas samudra”. Setahu saya, hanya Bhima, pangeran kedua Pandawa, yang pernah diceritakan bersentuhan dengan laut. Ketika itu ia, dalam lakon “Dewa Ruci”, ingin berguru kepada dewa kecil berambut panjang yang diam di sebuah samudra. Tapi hanya sekali itu. Bahkan dalam cerita yang tak berasal dari Mahabharata itu, dalam Serat Dewa Ruci, tak ada deskripsi tentang ombak dan taufan. Yang ada hanya Naga, makhluk mithologis, lambang hambatan dan mara bahaya.

Memang ada dewa laut, Waruna, yang dalam Bhomantaka, epos terkenal dari abad ke-12, disebut “sang hyang riyak”. Tapi Waruna hanya dewa figuran; ia nyaris tak pernah tampil di layar, dan cuma sesekali disebut dalam kakawin, bentuk puisi Jawa Kuno.

“Tak seperti sastra klasik Melayu yang sudah lebih banyak ditelaah, para pengarang kakawin tak begitu tertarik kepada thema laut luas,” demikian kesimpulan Jiri Jakl, peneliti dari Institut Antropologi Universitas Heidelberg, dalam telaahnya yang dimuat jurnal Archipel 100, 2020. 

Para penyair istana adalah kelas priayi darat yang bukan penjelajah. Ruang mereka tak jauh dari balairung. Mereka tentu pernah meninjau dunia luar, tapi tanpa menyeberangi laut. Hanya di pantai. Seperti ditulis Jakl, sering ditemukan deskripsi tentang pantai, bahkan dengan metafora yang memukau. Dalam Bhomantaka, misalnya, ada larik-larik yang dikutip Jakl:

sawang kanya lwir ning pasisir i halilintang nrepasuta
(pantai pun tampak bagaikan perawan yang menyambut pangeran lewat) 

layar ning banyaganusu-nusu katon manda tan awas
(layar kapal saudagar bak buahdadanya, samar-samar, antara kelihatan dan tiada) 

Paduan yang erotik dan yang puitik seindah itu tak kita dapatkan lagi dalam sastra Jawa setelah Islam, termasuk dalam karya-karya Ronggowarsito. Tapi juga dalam sastra Jawa Kuno, seperti dalam sastra Jawa abad ke-19, terasa ada jarak antara penyair dan dunia di luar habitatnya. Bukan hanya jarak geografis.

Para penyair istana itu ketika ke pantai kagum menyaksikan buat pertama kalinya keterampilan para nelayan menangkap ikan, seperti yang tertulis dalam Ghatotkacasraya karya Mpu Panuluh di abad ke-12. Sebuah kakawin lain tampak asyik menyaksikan hari pasar di pantai, ketika kapal datang dan orang berdagang—juga perempuan yang menjajakan kecantikannya, mawade hayunya.

Dengan kata lain, pesisir adalah dunia yang dilihat, dengan rasa ingin tahu dan terkesima, dari suatu jarak—dari luar.

Dalam telaahnya, Jakl mengutip ucapan Mpu Monaguna, penyair awal abad ke-13, dalam Sumanasantaka, Sang Mpu menyatakan yang tak disukainya ketika berkunjung ke desa pesisir. “Di sana, orang kebanyakan tak menghormati perbedaan derajat”, tan wruh ing purushabeda.

Sang empu—ia terbiasa dengan hierarki sosial di istana—kaget berhadapan dengan sesuatu yang lain: kehidupan di dunia nelayan dan saudagar yang lebih egaliter. Sang Mpu mengeluh, “Hanya ombak yang berbaris menjulang yang tampak menyambut dengan takzim para penyair yang terlena.”

Yang tak dilihat Mpu Monaguna: ombak juga sesuatu yang mengguncang dan menantang. Sang penyair Sumanasantaka terlalu terbiasa hidup terlindung oleh tata dan ketertiban—tanpa sadar bahwa “ketertiban” adalah represi yang mencoba menyembunyikan ketimpangan dan konflik sosial. 

Telaah Jakl menemukan, dalam masa Kediri akhir, antara tahun 1100 dan 1222, ketegangan meningkat. Di satu pihak ada kekuasaan dan wibawa kultural yang dirawat di kalangan aristokrat yang hidup di lokasi dengan basis pertanian. Di lain pihak tumbuh kelas saudagar di pesisir. Mereka kian kuat melalui lalu lintas perdagangan barang mewah antarnegeri. Mereka makin tak sesuai dengan tata, apalagi dalam sejarah Jawa raja-raja dan para bangsawan di pusat kekuasaan jarang bisa sepenuhnya mengendalikan gerak-gerik orang pesisir. Dalam persaingan itu, dari puri mereka para aristokrat mengembangkan “ideologi”, yang memandang orang-orang pesisir cela. Mpu Monaguna membawa persepsi itu.

Agaknya sikapnya punya dasar yang dalam; pesisir adalah sebuah anathema. Sampai abad ke-20 lanjut, bahasa orang pesisir—di Tegal, Banyumas, dan lain-lain—tak dianggap layak dipakai sebagai bahasa Jawa yang “baik dan benar”. Petunjuk pewayangan yang diterbitkan di Surakarta menganggap cara orang pesisir menata wayang keliru, atau “buruk”. Dalam teks ajaran yang disusun para literati keraton, ada anjuran agar anak muda menjauhi contoh wong ati sodagar, sebuah pandangan yang meletakkan kelas saudagar di luar, sebagaimana orang di pesisir.

Tentu saja pandangan itu tak bisa selamanya berwibawa. Dunia modern menggoda, mencemaskan, tapi tak bisa diabaikan. Menarik bahwa dunia modern di awal abad ke-20 oleh Takdir Alisjahbana dikiaskan sebagai “laut”: generasi muda meninggalkan dunia tradisi yang tertata tapi statis ibarat “tasik yang tenang tiada beriak”. Mereka bergerak “menuju ke laut”, ke dunia yang lepas, kreatif, dengan segala risikonya.

Dan pesisir pun tak lagi sunyi. Gunungan bukan satu-satunya awal. Laut ternyata tak bisu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus