Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETERLIBATAN polisi dalam politik, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, kembali menjadi sorotan. Aparat kepolisian yang seharusnya netral serta berfokus menjaga keamanan dan ketertiban selama pilkada justru diduga memihak pasangan calon tertentu. Praktik ini bukan hanya mencederai prinsip netralitas yang seharusnya dipegang teguh polisi, melainkan juga mengancam sendi-sendi demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majalah ini menemukan indikasi kuat adanya keterlibatan aparat kepolisian dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Di sana, polisi diduga berupaya memenangkan Bobby Nasution, menantu presiden ketujuh Joko Widodo. Tidak hanya menyediakan dana untuk alat peraga kampanye, kepolisian juga diduga memobilisasi para kepala desa dengan ancaman akan mengaudit dana desa atau membuka kasus hukum lain jika mereka tidak mendukung Bobby.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal serupa ditemukan di Jawa Tengah. Calon gubernur Ahmad Luthfi, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang dekat dengan Jokowi sejak menjabat Kepala Kepolisian Resor Surakarta, diduga memanfaatkan tangan-tangan polisi untuk memobilisasi dukungan bagi dirinya hingga ke desa-desa.
Pilkada sejatinya merupakan salah satu hajatan demokrasi penting dalam sistem politik Indonesia. Melalui pilkada, rakyat berkesempatan memilih pemimpin yang mempengaruhi arah pembangunan daerah mereka setidaknya selama lima tahun. Netralitas polisi bisa menjadi salah satu faktor penting agar masyarakat dapat menentukan pilihan dengan bebas, tanpa tekanan dan intimidasi.
Ketika aparat kepolisian berpihak, sejumlah masalah serius bakal muncul. Di masa kampanye dan pemungutan suara, tensi politik antara kandidat dan pendukungnya sering kali memanas. Polisi, dalam situasi ini, seharusnya menjadi penengah yang menjamin proses pemilihan berjalan damai dan tanpa gangguan, bukan malah menjadi biang konflik horizontal.
Polisi yang tidak netral juga bisa menyalahgunakan kewenangannya untuk menekan atau bahkan menjatuhkan siapa saja yang dianggap lawan calon yang mereka dukung. Contoh nyata terlihat dalam kasus viral dari Indramayu, Jawa Barat, ketika seorang calon bupati terang-terangan menggunakan nama purnawirawan polisi untuk mengintimidasi massa pendukung lawannya. Video ini menunjukkan posisi polisi yang seharusnya netral malah dimanfaatkan untuk menebar ketakutan dan memperkuat dominasi kubu politik tertentu.
Lebih dari sekadar pelanggaran etika, keterlibatan polisi dalam politik juga membuka ruang bagi korupsi dan nepotisme. Kedekatan aparat kepolisian dengan para politikus membentuk hubungan timbal balik yang bisa merugikan masyarakat luas. “Tidak ada makan siang gratis”. Polisi yang mendukung calon tertentu sangat mungkin berharap mendapat perlakuan khusus di kemudian hari, seperti promosi jabatan atau alokasi anggaran yang lebih besar untuk kepentingan segelintir orang.
Tidak netralnya polisi di daerah saat ini adalah residu penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilihan presiden terakhir—ketika kepolisian juga dikerahkan untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Walhasil, seperti halnya pada pemilihan presiden, sulit berharap pilkada serentak yang berbiaya mahal bisa menghasilkan pemimpin daerah yang membawa perbaikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo