Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana KPK menjuluki koruptor sebagai penyintas korupsi.
Ketika hakim menilai penyuap sebagia korban pemerasan.
Politik bahasa yang berbahaya bagi masa depan Indonesia.
OPERASI politik bahasa tengah bekerja untuk menjungkirkan logika publik terhadap makna sebuah realitas. Komisi Pemberantasan Korupsi hendak mengganti kata “koruptor” dengan “penyintas korupsi”. Hakim pengadilan tindak pidana korupsi membebaskan seorang pengusaha yang menyuap pejabat publik karena menganggap dia sebagai korban pemerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penyintas” berasal dari kata “sintas”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata sifat ini sebagai “terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya”. Walhasil, “penyintas korupsi” semacam pujian dari KPK bahwa seorang koruptor tidak mati di penjara selama menjalani hukuman setelah mencuri uang negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah “penyintas korupsi” bisa kita katakan pujian karena kata ini bermakna positif untuk makna realitas “lolos dari kejadian yang negatif”. Pada makna yang normal, kata ini dipakai untuk “penyintas kanker”, “penyintas perang”, atau “penyintas Covid-19”. Korupsi, meski sama-sama bermakna negatif, terjadi karena ulah para pelakunya, tidak seperti kanker, perang, dan infeksi Covid-19 yang terjadi di luar kehendak para penyintasnya.
Dengan makna itu, seharusnya “penyintas korupsi” bukan ditujukan untuk para koruptor, melainkan buat rakyat Indonesia, yang masih bisa bertahan, masih bisa hidup, dan masih bisa bergembira kendati hak mereka diambil diam-diam oleh para maling kerah putih tersebut. Maka usul KPK menyematkan kata ini untuk koruptor adalah eufemisme lancung sekaligus mengkhianati tujuan lembaga yang didirikan pada 2003 itu.
Waktu itu bangsa Indonesia sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus ditumpas karena menjadi biang kerok kemerosotan dan kekacauan negara ini. Indonesia yang baru keluar dari sejarah kelam Orde Baru, yang penuh korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), bersepakat bahwa KKN harus dibasmi agar republik ini kembali sesuai dengan cita-cita para pendirinya: bangsa yang maju dan terhormat memasuki peradaban modern.
Jika kini KPK hendak menghalus-haluskan julukan untuk para koruptor, Undang-Undang KPK mesti diubah lebih jauh—tak sekadar memereteli kewenangan KPK menangkap koruptor dan mencopot independensinya dengan menempatkannya di bawah presiden—sekaligus diganti namanya. Kata “Pemberantasan” pada nama KPK lebih cocok dengan makna “Pelindung”. KPK gagal memberantas korupsi sejak dari esensinya, yakni melalui korupsi makna kata.
Politik bahasa adalah cara terbaik mempengaruhi kesadaran untuk mencapai konsensus. Jika kita menerima koruptor sebagai “penyintas korupsi”, generasi Indonesia akan memaknai dan menganggap korupsi bukan lagi kejahatan, bukan merujuk pada makna maling atau merampok, melainkan kegiatan yang terpuji, setidaknya biasa-biasa saja—seperti orang yang tak merasa bermasalah menyebut “memerkosa” dengan “menggagahi”.
Kelak, seorang koruptor akan disambut dengan meriah begitu keluar dari penjara karena dia telah “berhasil melewati ujian” bui. Apalagi, di media, sering kita lihat wajah-wajah koruptor memakai rompi oranye dengan tangan terborgol melemparkan senyum dan melambaikan tangan, memasang wajah ceria tanpa penyesalan. Pada mereka, korupsi mungkin juga seperti bisnis, memakai rumus untung-rugi sebelum melakukannya.
Karena korupsi akan meningkatkan status sosial seseorang, setiap orang akan dengan giat mencuri uang negara, mendagangkan kewenangan, menyuap untuk mencapai tujuan, atau berkolusi memanfaatkan kekuasaan. Toh, meski KPK menangkap mereka, para koruptor ini akan mendapatkan brevet sebagai “penyintas”. Mereka hanya perlu bersabar di dalam penjara dan bersyukur dengan segala kenikmatan hasil korupsi mereka.
Itu pun kalau hakim menganggap perbuatan mereka sebagai korupsi. Kini hakim sudah menggolongkan penyuap seorang yang berkuasa untuk mendapatkan keuntungan sebagai korban pemerasan. Artinya, penyuap adalah orang yang menderita. Hakim mengabaikan fakta bahwa korupsi terjadi karena ada pemberi dan penerima keuntungan yang tak sesuai dengan hukum dan asas kepatutan serta merugikan. Apa yang dirugikan dalam korupsi? Hak masyarakat memperoleh perlakuan sama dan adil—jika para hakim belum mendapatkan pelajaran sedasar ini.
Kalaupun hakim menjatuhkan vonis, hukumannya mungkin ringan saja karena mereka bersimpati terhadap tekanan psikologis para koruptor yang dihujat dan dicaci maki oleh publik—mereka yang haknya diambil secara paksa. Bolak-balik makna dan logika yang lancung ini menunjukkan satu hal: Indonesia kembali pada krisis moral yang lebih dalam dibanding periode mana pun dalam sejarah Republik.
Kita tengah memasuki masa tergelap seperti era mengerikan dalam cengkeraman otoritarianisme yang dibayangkan George Orwell. Dalam novel 1984, penulis Inggris ini membayangkan sebuah negeri dengan kekuasaan yang mencerabut kebebasan manusia, kekuasaan yang membunuh kodrat manusia sebagai mamalia berpikir, kekuasaan yang memberangus perbedaan, dan kekuasaan yang membolak-balikkan makna kata.
Mesin paling efektif untuk mewujudkan kekuasaan semacam itu adalah politik bahasa, yang menghancurkan logika dan memutarbalikkan fakta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo