Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Muhammad Toha membuat mural di tembok dapur rumahnya sebagai protes kepada Belanda.
Para gerilyawan dan pejuang mengekspresikan kekecewaan pada kekuasaan lalim melalui mural.
Mengapa pemerintah kini takut kepada mural?
MUHAMMAD Toha Adimidjojo terkenal karena melukis penangkapan Sukarno-Hatta saat Agresi Militer Belanda II 1948 di Yogyakarta. Usianya baru 11 tahun ketika itu. Tapi yang membuatnya menjadi seorang pelukis-pejuang adalah peristiwa setahun sebelumnya: ia membuat mural—menggambar dua orang Belanda di tembok dapur rumahnya di Yogyakarta dan mencoret-coretnya dengan kata-kata “Van Mook–Landa Ngamuk, Van der Plas–Setan Alas!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentara Belanda memergoki mural dan grafitinya itu ketika sedang mengadakan pembersihan ke rumah-rumah penduduk Yogyakarta. Seisi rumah jadi tegang. Untunglah tentara Belanda itu tidak marah ketika diberi tahu bahwa mural tersebut buatan seorang bocah sepuluh tahun. Orang Belanda itu hanya menyuruh penghuni rumah menghapusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu tahun 1947. Kini Belanda tak ada lagi. Tapi pemerintah Indonesia merayakan bulan kemerdekaan ke-76 tahun dengan menghapus sejumlah mural serta grafiti di berbagai daerah. Senimannya diburu karena dianggap menghina presiden. Pemerintah tak dapat menyembunyikan kegerahan.
Mural dan grafiti itu patah tumbuh hilang berganti. Sejak polisi menghapus mural dan grafiti pertama “Jokowi 404: Not Found” dan “Tuhan Aku Lapar” di Kota Tangerang pada 12 Agustus 2021, mural lain muncul, seperti “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan, Jawa timur; “Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan” di Banjarmasin; dan “Thx Jokowi, I’m Dead” di Batam, Kepulauan Riau.
Mural dan grafiti bermunculan di berbagai kota. Bahkan di Solo, Jawa Tengah, kota asal Presiden Jokowi. Belakangan muncul lagi mural Presiden Jokowi dengan mata tertutup masker di Bandung. Sementara itu, di Yogyakarta kelompok aksi Gejayan Memanggil membuat lomba mural dengan juara mural yang pertama dihapus aparatur pemerintah.
Jika berefleksi pada Toha, apakah ia kapok ketika tentara Belanda menghapus mural dan grafitinya? Tidak. Toha menjadi pelukis cilik yang menyamar sebagai pedagang rokok untuk mendokumentasikan Kota Yogyakarta ketika diserang dan diduduki Belanda pada 19 September 1948 sampai sesudah Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh gerilyawan Indonesia.
Pada 1985, karya-karya Toha dipamerkan di Jakarta saat Indonesia merayakan 40 tahun kemerdekaan. Maestro pelukis Affandi dalam sambutannya mengatakan, “Kita sedang membuka lembaran sejarah antikolonialisme yang kuat di jiwa rakyat melalui lukisan-lukisan Toha satu persatu”.
Pada waktu hampir bersamaan, sejarawan Adrian B. Lapian mengeluarkan buku berisi foto-foto yang disuntingnya dari koleksi Indonesian Press Photo Service (IPPHOS). Senada dengan Affandi, dalam pengantar buku itu ia mengatakan bahwa foto-foto yang dipilihnya mencerminkan satu hal: “Semangat 45”.
Lapian merumuskan “Semangat 45” yang menjadi judul bukunya sebagai “kekuatan-kekuatan luar biasa rakyat yang terpendam kemudian terlepas bersama Proklamasi 17 Agustus 1945”. Kekuatan ini, menurut Lapian, melahirkan suasana heroik yang penuh romantika dan semangat juang serta kerelaan berkorban untuk memenangi perlawanan menyeluruh terhadap kejahatan kolonial yang hendak come back.
Meski begitu, Lapian mewanti-wanti bahwa semangat 45 itu bukan hanya terekam pada foto tokoh-tokoh bangsa, melainkan juga dalam foto Laskar Rakyat dan foto-foto mural serta grafiti di tembok-tembok kota di Yogyakarta, Jakarta, dan Malang, Jawa Timur. Walhasil, mural dan grafiti itu—meminjam pernyataan penyair Chairil Anwar—“menjadi pernyataan revolusi”. Sebagaimana Laskar Rakyat, begitu pula mural dan grafiti dikonsepsikan dalam rangka perjuangan total untuk melembagakan peran serta segenap rakyat di dalamnya.
Sebagaimana Laskar Rakyat, mural, grafiti, dan poster muncul sebagai respons maklumat Sukarno-Hatta-Sjahrir yang berbunyi: “Perjuangan kompromis, perjuangan diplomasi tidak ada artinya, kalau tidak ada laskar rakyat jelata dan laskar buruh yang teratur kuat kokoh. Laskar rakyat jelata harus merebut kekuasaan di desa-desa, sampai di kota-kota dan terus menyusun pertahanan serta pengurusnya.”
Sampai di sini kita bisa berkesimpulan bahwa dasar perjuangan revolusi ialah kedaulatan rakyat serta sifat perjuangan yang radikal-sosialistis.
Mural dan grafiti, seperti “Freedom is the Glory of Any Nation”, “Indonesia for Indonesia!”, dan “Indonesia Never Again the Life-Blood of Any Nation!”, pada masa itu bukan sekadar seruan untuk membakar semangat juang semua lapisan bangsa Indonesia agar jangan kendor bertempur menghabisi kolonialisme Belanda yang datang lagi.
Lebih jauh, mural dan grafiti itu memantapkan bahwa Republik Indonesia adalah manifestasi kehendak politik rakyat, bukan buatan elite yang pernah mengabdi kepada fasis Jepang sebagaimana kabar yang diembuskan Belanda. Mural dan grafiti, kemudian poster, dengan pamflet perjuangan adalah suara hati sekaligus artefak partisipasi rakyat dalam perjuangan melawan kolonialisme yang mereka benci.
Siapa seniman pembuat mural dan grafiti perjuangan? Tidak ada yang tahu. Sekalipun kita tahu, itu hanya nama samaran, seperti Soeropati. Banyak mural kemudian menjadi poster karena ditambahi grafiti untuk menegaskan pesannya.
Poster perjuangan yang terkenal dan diketahui senimannya adalah Boeng Ajo Boeng! Affandi, Dullah, dan Chairil Anwar membuatnya atas ide Presiden Sukarno di gedung Jawa Hokokai. Dari segi bahasa, ada mural dan grafiti dengan bahasa yang jelas, ada pula yang tata bahasanya centang perenang. Ada yang hanya memuat gambar tinju mengepal ditimpali dua patah kata: Tetap Merdeka! Tidak jarang mural memuat kata-kata panjang dan agitatif disertai gambar orang dipancung dan bendera Merah Putih: “Saja tahoe siapa Penoendjoek2 dan Kaki Tangan NICA!!! Insyaflah Kaloek Tidak…Poetoes Lehermoe. Ingatlah Negerimoe dan Bangsamoe.”
Ketika perundingan-perundingan dengan Belanda mulai berjalan—seperti Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar—seniman bereaksi dengan membuat mural, grafiti, poster, dan pamflet perjuangan. Mereka menyuarakan respons rakyat atas peristiwa politik saat itu.
Belanda menanggapinya dengan menghapus dan meyebut senimannya sebagai ekstremis. Mereka pun membuat mural, grafiti, poster, dan pamflet tandingan. Semuanya menyerang para pejuang republik sebagai roversbende, bandieten, atau gerombolan perampok yang hanya mengacau, membunuh, serta mengganggu ketenteraman dan menyengsarakan rakyat, seperti dengan kalimat: “Indonesia jang tjantik molek bertjatjat oleh Kebuasan Saudaramu karena Pengatjau dan Pembunuh”. Ada juga kalimat kasar dan sinis. Misalnya dalam gambar seorang pemuda berambut gondrong yang memegang senjata, dikelilingi coretan ilustratif tindakan membakar, membunuh, merampas harta benda rakyat, dan dibubuhi kata-kata: “Membela Nusa dan Bangsa? Lihatlah mereka jang sering menamakan dirinya pembela Nusa dan Bangsa tetapi buktinya???”
Mural, grafiti, poster, dan pamflet perjuangan tidak hanya beredar di daerah gerilya kaum Republik, tapi juga menyebar ke wilayah pendudukan Belanda. Usaha ini terutama dilakukan oleh pemuda pejuang yang tergabung dalam kelompok-kelompok Laskar Rakyat. Bersama mereka, seniman pembuat mural dan grafiti senantiasa berada di front terdepan.
Karena itu, tak perlu diragukan mural dan grafiti serta bentuk grafis lain memiliki arti bukan saja sebagai media perekam kejadian dan peristiwa, tapi juga cetusan opini serta reaksi rakyat yang terdalam akan arti cita-cita kemerdekaan dan kuatnya semangat solidaritas nasional. Hal ini mewujudkan suatu dimensi revolusi Indonesia sebagai revolusi rakyat di satu sisi dan revolusi pemuda di sisi lain.
Dari mural, grafiti, poster, dan pamflet perjuangan, kita yang tidak pernah mengalami masa revolusi itu bisa belajar mengetahui dan menghayati masa lampau yang sangat berharga, terutama bagaimana harus melihat mural dan grafiti kritik yang sekarang bagai cendawan di musim hujan, tumbuh di mana-mana. Jangan ikut cara-cara kolonial Belanda melihatnya sebagai tindakan ekstremis, seraya menilai dengan ukuran moral atau memandang mural dan grafiti sebagai gerakan kriminal, apalagi gejala patologis, vandalis.
Cara pandang terhadap mural seperti itu yang membuat Belanda gagal menegakkan kekuasaan negara Hindia Belanda. Mereka tumpul merasakan ada hubungan jelek antara kekuasaan dan rakyat. Dari sini lahir apatisme yang besar di masyarakat dan akhirnya menjadi kebencian serta gerakan penolakan besar-besaran secara terbuka ataupun tertutup terhadap kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo