Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sebuah argumen, dilema dengan mudah kita kenali lewat konsekuensinya. Dilema menyudutkan seseorang untuk menegaskan setidaknya satu dari dua posisi, yang keduanya tidak diinginkan atau memberatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bentuk yang paling sederhana, dilema biasanya terdiri atas proposisi disjungtif atau bercabang, misalnya: saya pergi atau saya tidak pergi. Salah satu dari proposisi itu selalu bersifat kondisional (misalnya jika pergi ibu mati, jika tak pergi bapak mati) dan kesimpulannya bersifat kategoris (saya pergi maka ibu mati).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk lebih memahaminya, mari kita bayangkan suasana pikiran Pastor Paneloux di Oran, kota yang dikarantina karena wabah mematikan dalam novel Albert Camus, The Plague.
Dalam keyakinan Paneloux, wabah maut mesti dihayati sebagai hukuman Tuhan. Namun, ketika seorang anak sekarat di hadapannya, dilema muncul. Jika ia menolong anak yang sakit, ia berperang melawan Allah yang mendatangkan wabah itu. Jika ia tidak menolong, ia kejam dan tidak berperikemanusiaan. Dilema memojokkannya untuk memilih satu sikap: menolong orang sakit atau membiarkannya. Implikasinya bersifat kategoris dan sama berat: ia harus melawan Tuhan atau menjadi orang kejam dan tidak manusiawi.
Persoalan dilema dikemukakan dalam bobot yang lebih besar tapi subtil oleh pemikir Sekolah Frankfurt, Horkheimer dan Adorno. Dalam pesimisme, keduanya mengatakan akal budi pencerahan yang semula merupakan upaya manusia membebaskan diri dari pelbagai mitos telah berkembang tanpa kendali menjadi penghancuran diri yang tak terhindarkan. Ia berujung pada paradoks: myth is already enlightenment; and enlightenment reverts to mythology.
Manusia menemukan akal budi untuk melampaui mitos dan menaklukkan alam, namun pada akhirnya akal budi yang sama menghasilkan akibat-akibat baru yang menghancurkan. Di sini dilema muncul: mengakui akal budi pencerahan berarti memilih destruksi, namun menolaknya hanya bisa dilakukan melalui akal budi itu sendiri.
Di dalam filsafat, dilema nalar pencerahan Horkheimer dan Adorno dicoba dipecahkan oleh Jürgen Habermas. Di luar filsafat, dilema dipecahkan oleh John Danaher. Danaher bukan filsuf sekalipun ia doktor filsafat dari Columbia University. Sehari-hari ia adalah pelatih olahraga bela diri jujitsu: hidupnya dihabiskan di atas matras becek penuh keringat.
Danaher menggunakan dilema sebagai metode pertarungan penuh muslihat. Dalam sebuah wawancara ia mengemukakan bahwa gerak yang dinamis adalah fundamen dalam tiap pertarungan jujitsu. Dengan itu tugas pertama seorang atlet adalah mencari kesempatan melumpuhkan kemampuan gerak tubuh lawan di atas matras. Di sini dilema harus dikreasi agar lawan beku gerak dan dengan itu terbuka peluang untuk ditaklukkan melalui kuncian atau cekikan. Di sini, dilema bukan lagi proposisi, melainkan metode. Ia bisa direkayasa sebagai prosedur agar lawan tak mampu mengambil keputusan dan gampang ditaklukkan.
Di dalam tradisi politik normatif, dilema sering disajikan sebagai persoalan rutin bagi para pengambil keputusan: pengantar ke arah legitimasi politik suatu kebijakan. Misalnya, kalau seseorang bersikap tegas terhadap korupsi, orang itu akan dibenci para politikus. Sebaliknya, jika orang itu lembek terhadap korupsi, dia akan dibenci rakyat. Di sini, dilema terkait dengan pilihan, keputusan, dan karakter moral kepemimpinan.
Belajar dari Danaher, dalam segi praktis, dilema juga bisa dibuat sebagai senjata politik seorang otokrat yang sama sekali tidak terkait dengan keputusan moral. Contoh mutakhir adalah dilema yang sekarang dihadapi partai politik vis-à-vis Presiden Jokowi. Proposisi disjungtif dari politisasi dilema bisa dirumuskan: kalau terus mengharapkan Jokowi, politikus partai politik akan terjebak dalam ilusi dan kegagalan etis. Jika mengabaikan Jokowi, mereka terancam kehilangan dukungan. Situasi ini membuat partai mengalami keraguan konstan, gagal mengambil sikap, tersandera dalam dilema. Melalui dilema itu, Jokowi mendapatkan keuntungan politik jangka pendek yang cukup untuk mereproduksi kekuasaan.
Dilema disimbolkan sebagai pedang bermata dua atau pilihan bertanduk. Di dalam filsafat, salah satu cara melampaui tanduk dilema adalah memeriksa dan mempreteli premis-premis disjungtifnya.
Dalam jujitsu, counter dilema diturunkan dalam tahapan yang lebih praktis: pertama, ciptakan gangguan dan ancaman kecil untuk mengendurkan tekanan dilematisnya (misalnya dengan menarik tangan, pinggang, atau kaki lawan) sehingga tercipta peluang mengubah posisi kita. Kedua, bertahan sekuatnya untuk menghindari kuncian fatal, tunggu hingga lawan fatigue dan mengendurkan tekanan. Ketiga, cari kemungkinan balik mengontrol lawan dengan mengkreasi dilema yang lebih fatal.
Politikus Indonesia mesti sekali-sekali belajar dari matras.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Politisasi Dilema"