Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
H.O.S. Tjokroaminoto. Singkatan berupa tiga huruf ini biasa kita lafalkan “hos” dengan huruf o di tengah. Ketiga huruf itu adalah singkatan dari Haji Umar Said.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya bertanya-tanya mengapa wakil bunyi u, potongan dari kata Umar, ditulis dengan huruf o? Ada penjelasan yang masuk akal. Penulisan begitu berasal dari Oemar dalam ejaan Van Ophuijsen (1901-1947). Tapi itu masih menyisakan tanda tanya. Kalau begitu, mengapa huruf yang diambil o dan bukan oe. Namun ada soal lain yang lebih mengganggu dalam penulisan nama tadi, yakni inkonsistensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika tj dibarui menjadi c, huruf vokal o pada singkatan—yang menurut kacamata awam, dengan mengingat ejaan Van Ophuijsen, “seharusnya” oe—tidak diubah menjadi huruf u menjadi H.U.S., sesuai dengan pelafalannya dan sesuai pula dengan ejaan yang berlaku kemudian, baik ejaan Suwandi (1947-1972) maupun Ejaan yang Disempurnakan (1972-sekarang).
Persoalan tadi timbul antara lain karena ejaan, ikhtiar manusia melambangkan bunyi bahasa ke bentuk tulisan berupa huruf, tidak pernah sepenuhnya berhasil. Sebab, alat ucap manusia normal sanggup memproduksi beraneka bunyi bahasa yang jauh lebih banyak dari jumlah huruf dalam daftar alfabet. Apalagi bila ditambah dengan nada naik-turun, tekanan keras-lemah, atau tempo panjang-pendek yang tidak tercakup dalam sistem ejaan kita. Hal-hal ini dalam linguistik lazim dikenal sebagai unsur suprasegmental.
Kyoko Funada, seorang teman yang mengajar di Kanda University of International Studies, Jepang, memberi tahu saya bahwa, dalam bahasa Jepang, kata hashi, bila nada suku kata keduanya naik berarti jembatan dan bila turun berarti sumpit. Tapi, bila nadanya rata saja atau datar, ia mengandung arti lain lagi, yaitu pinggir.
Di sisi itu, kata serapan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia malah cukup sering menimbulkan perbantahan—yang sebenarnya tidak perlu, menurut saya. Kata amin, menurut sebagian penutur bahasa Indonesia, mestilah ditulis aamiin. Kedua huruf vokal a dan i harus ditulis dobel sebagai isyarat dibunyikan agak panjang. Dalam bahasa Arab, tempo dapat mengubah arti. Kata aamiin berarti “ya Allah, kabulkanlah doa kami” dan amin punya arti lain, yaitu kedamaian atau ketenteraman. Adapun aamin bermakna meminta perlindungan dan amiin berarti jujur. Sekali lagi, ini (pembunyian) kata dalam bahasa Arab.
Barangkali tidak ada yang salah dengan penulisan unsur serapan ke dalam bahasa Indonesia berbeda-beda begitu. Amin atau aamiin, maghrib atau magrib, atau kosakata dari bahasa daerah, seperti mendem atau mendhem dan gelis atau geulis. Bukankah bahasa Indonesia sudah lama mengenal sebutan dengan nada sedikit mengolok-olok, “bahasa gado-gado”?
Yang tampaknya kurang disadari, bahasa Indonesia kita tidak mengenal unsur suprasegmental, dalam arti fonemis (membedakan arti). Dilafalkan dengan cara bagaimana pun, arti sebuah kata tidak akan berubah. Kata roti atau sayur yang diucapkan sangat keras dan ada bagian yang lebih panjang oleh penjaja keliling di gang-gang kampung tidak punya arti berbeda dari roti dan sayur yang sangat kita kenal itu.
Lagi pula “kaidah” bahwa huruf vokal ditulis dobel berarti dibunyikan lebih panjang sepatutnya berlaku juga untuk kata-kata lain. Tapi, segera kita tahu, hukum itu tidak bekerja pada beberapa kata, seperti manfaat, taat, saat, atau fiil misalnya. Bukannya dibunyikan lebih panjang, huruf vokal dobel di situ dalam bahasa Indonesia punya jeda di antara kedua huruf vokal.
Semua hal yang sedikit-banyak membuat kita cukup bingung itu sebagian menjelaskan apa yang sudah disinggung di atas, yaitu tentang betapa sulit menangkap bunyi bahasa dan kemudian melukiskannya ke bentuk huruf, juga dalam alfabet bahasa Indonesia.
Di sini boleh kita berpegang pada pandangan bahwa huruf, yaitu konvensi tulis yang melambangkan bunyi bahasa, bersifat lokal. Tiap bahasa punya alfabet sendiri. Karena itulah, sesuai dengan sistem ejaan kita, Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis kata serapan dari bahasa Arab tadi cukup amin. Perkara bagaimana melafalkannya, itu soal lain. Tidak pernah ada aturan tentang pelafalannya dalam bahasa Indonesia. Juga tidak pernah orang Batak dan orang Jawa bertengkar sengit tentang mana yang valid pengucapannya: benar (e taling) atau bener (kedua e pepet).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gado-gado"