Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Prahara Asuransi Jiwasraya

Gonjang-ganjing PT Asuransi Jiwasraya menggambarkan problem laten perusahaan negara: pengelolaan keuangan yang buruk dan investasi yang sembrono.

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perusahaan yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda ini sampai harus menunda pembayaran klaim asuransi JS Saving Plan senilai Rp 802 miliar. Lembaga auditor negara perlu membongkar kemungkinan praktik curang di balik investasi saham berisiko tinggi yang kemudian mencekik perusahaan itu.

Jiwasraya tampak sehat-sehat saja selama dinakhodai Hendrisman Rahim. Ia didampingi Hary Prasetyo sebagai direktur keuangan. Mengelola perusahaan itu sejak 2008, keduanya dianggap berhasil dan dipercaya lagi memimpin untuk periode 2013-2018. Tapi rupanya kinerja Jiwasraya tak sekinclong penampilan luarnya. Banyak kebijakan yang kemudian meninggalkan masalah: investasi saham berisiko tinggi dan munculnya produk JS Saving Plan yang instan.

JS Saving Plan yang diluncurkan lima tahun lalu ini merupakan asuransi dibalut investasi. Nasabah cukup membayar Rp 100 juta di awal. Setelah satu tahun, ia bisa menarik imbal hasil dengan persentase tinggi dan tetap mendapat perlindungan asuransi selama lima tahun. Sebanyak 17 ribu nasabah pun tergiur. Premi asuransi itu mampu mendongkrak kinerja perusahaan dalam sekejap, tapi menimbulkan persoalan besar ketika klaimnya jatuh tempo Oktober tahun lalu.

Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya sekarang, Hexana Tri Sasongko, menerima bom waktu. Ia baru diangkat pada Oktober tahun lalu, menggantikan Asmawi Syam, yang belum sampai setahun memimpin Jiwasraya. Seringnya bongkar-pasang direksi ini juga menunjukkan kurang sigapnya pemerintah dalam membenahi Jiwasraya.

Kembang-kempis, Jiwasraya jelas perlu disehatkan, terutama untuk memecahkan masalah likuiditas. Langkah Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menolong perusahaan ini harus dilakukan secara hati-hati. Skema penyelamatan perusahaan yang memiliki sekitar 7 juta nasabah ini mesti dirancang dengan hitung-hitungan bisnis yang saksama. Jangan sampai ada campur tangan politik atau pemaksaan terhadap BUMN yang lain untuk menolong Jiwasraya.

Pemerintah juga harus memastikan Jiwasraya melakukan perubahan pola investasi. Penempatan investasi berisiko tinggi perlu dihindari. Pada 2017, tercatat tiga besar investasi Jiwasraya, yakni reksa dana Rp 19,17 triliun, saham Rp 6,63 triliun, dan properti Rp 6,55 triliun. Masalah muncul karena investasi pada reksa dana dan saham mengalami penurunan nilai. Ditengarai, banyak investasi reksa dana dan saham dilakukan tanpa perhitungan cermat. Kini, Jiwasraya tidak bisa serta-merta menjual reksa dana atau saham yang anjlok nilainya karena akan rugi besar.

Lampu kuning sebetulnya sudah dinyalakan Badan Pemeriksa Keuangan lewat laporan hasil pemeriksaan 2016. Saat itu, BPK telah mendeteksi investasi yang tak wajar, yakni pembelian saham PT Trikomsel Oke Rp 449,5 miliar, PT Sugih Energy Rp 318,1 miliar, dan PT Eureka Prima Jakarta Rp 118 miliar. BPK menilai pembelian saham-saham ini kurang cermat karena fundamental perusahaan itu sebetulnya kurang bagus.

Begitu pula dalam pembelian reksa dana. Jiwasraya berinvestasi hingga Rp 6,3 triliun untuk saham PT Inti Agri Resources lewat reksa dana. BPK pun memberikan catatan: investasi pada satu saham dengan nilai cukup besar ini bisa menimbulkan potensi gelembung (bubble). Harga saham Inti Agri akan melonjak terus walaupun keuangan perusahaan ini tidak begitu baik—kondisi yang berpotensi merugikan Jiwasraya.

Kisruh Jiwasraya pun terungkap dari laporan keuangan yang tidak beres. Laporan unaudited Jiwasraya tahun 2017 awalnya mencatat laba bersih sebesar Rp 2,4 triliun. Namun, setelah manajemen lama lengser, PricewaterhouseCoopers merevisi auditnya. Laba bersih Jiwasraya menciut menjadi Rp 360 miliar saja.

Prahara Jiwasraya seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan. Kebijakan investasi yang merugikan nasabah sekaligus negara itu tidak terjadi jika mereka mengawasinya secara cermat. Otoritas Jasa Keuangan semestinya berani bertindak tegas terhadap perusahaan negara yang serampangan dalam berinvestasi dan mengelola keuangan.

BPK, yang sedang memeriksa lagi Asuransi Jiwasraya, perlu mencermati semua borok perusahaan ini. Temuan mengenai pembelian saham yang mencurigakan perlu diperdalam. Auditor harus memastikan apakah ada indikasi fraud—tindakan curang yang menguntungkan pribadi atau pihak lain. Langkah ini penting demi memberikan sanksi, bahkan memproses secara hukum, jika cukup bukti, siapa pun yang bersalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus