Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Melalui program REDD+, Indonesia memperoleh dana hibah sekitar US$ 439 juta.
Setelah program reduksi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan itu berakhir, tak ada jaminan hutannya tetap terjaga.
Seluas Jawa Barat, wilayah kerja REDD+ di Kalimantan Timur yang telah beralih menjadi area konsesi tambang, kebun sawit, dan industri kehutanan.
PROGRAM mereduksi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) di Indonesia seperti manis di bibir tapi pahit di kerongkongan. Bermodal hutan yang diklaim terluas di dunia, pemerintah Indonesia menuntut negara Barat menggelontorkan dana hibah untuk aksi mitigasi krisis iklim. Namun, begitu mengantongi dana, Indonesia menelantarkan hutan yang menjadi wilayah kerja REDD+, bak penggarap ladang yang berpindah-pindah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bergulir sejak 2010, inisiatif REDD+ bertujuan memberikan insentif finansial kepada negara berkembang untuk menjaga hutan mereka tetap utuh—yang pada gilirannya diharapkan membantu mengurangi emisi karbon global. Indonesia pertama kali memanen dana REDD+ pada 2014. Sejauh ini, lewat pelbagai kerja sama multilateral dan bilateral, Indonesia telah memperoleh dana hibah REDD+ sekitar US$ 439 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program REDD+ sejatinya bukan sekadar mereduksi emisi karbon. Tanda plus pada namanya berarti perlu aktivitas menjaga stok karbon hutan, dan pengelolaan hutan yang lestari. Ada juga kewajiban memperbaiki kondisi hidup masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan. Faktanya, konsistensi Indonesia dalam menjaga hutan dan ekosistemnya—termasuk melindungi hak masyarakat adat sekitar hutan—masih mengidap banyak masalah.
Contoh kegagalan program REDD+ melindungi hutan dari deforestasi terjadi di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kampung suku Dayak Ngaju itu satu dari tujuh desa yang terkena dampak proyek percontohan REDD+ pertama di Indonesia. Berjulukan Kemitraan Iklim dan Hutan Kalimantan (KFCP), proyek yang didanai Australia sebesar AU$ 37,47 juta itu bertujuan mereboisasi lahan gambut seluas 120 ribu hektare, di area bekas proyek sawah 1 juta hektare.
Tidak berjalan mulus, Australia menghentikan proyek KFCP pada April 2014. Musababnya, antara lain, minimnya dukungan pemerintah pusat dan daerah. Sebulan sebelum pengakhiran program, Pemerintah Kabupaten Kapuas memberi izin perkebunan seluas 5.101 hektare kepada PT Kalimantan Lestari Mandiri, anak usaha Grup Tianjin Julong asal Cina. Konsesi itu menelan area kerja KFCP sehingga masyarakat adat cuma terbengong-bengong saat alat berat meratakan pohon karet dan aneka tanaman hutan yang mereka semai.
Pemerintah Indonesia terkesan hanya mengejar dana REDD+ tanpa mempedulikan hutan yang terancam ditimpa area konsesi. Buktinya, pemerintah terus mengobral perizinan berusaha di hutan bagi korporasi, terutama setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Di Kalimantan Timur, misalnya, berdasarkan analisis data spasial Yayasan Auriga Nusantara, sepanjang 2012-2023, lebih dari separuh wilayah kerja REDD+ telah beralih menjadi area konsesi tambang, kebun sawit, dan industri kehutanan. Luas area kerja REDD+ yang dirambah 3,87 juta hektare atau seluas Provinsi Jawa Barat.
Terjadinya alih fungsi hutan secara besar-besaran menjadi lahan konsesi adalah bukti tidak berjalannya evaluasi atas implementasi REDD+. Ketika Badan Pengelola REDD+ belum bubar, pernah dibentuk tim evaluator yang menghasilkan usulan Kebijakan Satu Peta dan pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menghitung potensi korupsi di bidang sumber daya alam. Masalahnya, tidak satu pun usulan langkah-langkah evaluasi tersebut dijalankan oleh pemerintah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pura-pura Reduksi Emisi "