Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada catatan tentang apa yang terjadi hari itu, 1.000 tahun yang lalu di Kediri. Hanya diketahui bahwa di tahun 1045 itu Airlangga turun takhta. Baginda yang baru berusia 43 tahun itu meninggalkan istana. Ia pergi ke hutan. Ia memutuskan untuk jadi pertapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak seorang pun kini tahu apa yang mendorongnya. Airlangga raja yang berhasil. Di awal abad ke-11, menurut sebuah prasasti, Kerajaan Kediri di Jawa Timur hancur. Bencana itu disebut “pralaya”. Sebuah kerajaan kecil di Lwaram memberontak, merusak Watugaluh, ibu kota. Raja Dharmawangsa dibunuh bersama semua anggota dinasti Ishana. Hanya Airlangga, waktu itu berusia 16, persis sedang dalam pesta perkawinannya, yang lolos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikawal Narottama, pengiringnya, ia melarikan diri ke arah barat. Di Vanagiri (sekarang Wonogiri), pangeran itu berhenti, menyamar sebagai pertapa. Ia menunggu dengan cerdik. Perlahan-lahan, pada 1019, ia berhasil mengumpulkan dukungan para bupati yang masih setia kepada dinasti Ishana. Ia persatukan semua wilayah bekas kerajaan Mataram, dan mendirikan sebuah kerajaan baru, Kahuripan namanya, yang terbentang dari Pasuruan sampai Madiun.
Airlangga yang kemudian dikenal sebagai “pembaharu” dengan efektif membangun Kahuripan. Kita bisa mengetahui itu dari sekitar 30 prasasti yang antara lain berbahasa Sanskerta. Patung termasyhur yang menunjukkan dirinya sebagai Dewa Wishnu yang duduk gagah di atas garuda mungkin lambang Airlangga sebagai perawat bumi. Ia dipuja.
Maka apa gerangan yang menyebabkannya turun takhta? Saya hanya bisa menduga dari perspektif hari ini. Saya menulis esai ini ketika Indonesia, dan tentu saja juga Jawa Timur, sedang menyiapkan pergantian pemimpin. Saya melihat bagaimana kekuasaan akan berakhir, dan diganti, setelah beroperasi.
Bersama itu, tampak bagaimana kekuasaan disikapi. Triliunan uang ditumpahkan, termasuk buat membeli dukungan; menyogok partai lama dan baru, kecil dan besar; memanjakan para elite politik. Ada waham yang tak diakui: kekuasaan akan berlangsung selama-lamanya.
Airlangga tak tenggelam dalam waham seperti itu; ia tentu sadar dari atas takhta ia mampu mencapai pelbagai hal—dan akhirnya juga keagungan, glory—tapi ia telah mengalami betapa gentingnya kekuasaan dan nisbinya keagungan.
Kekuasaan itu “genting”: tak pasti, tak kekal, menegangkan, serba mungkin, dan menghendaki pelbagai hal yang tak semuanya mulia atau cocok dengan apa yang biasanya kita yakini sebagai “baik” dan “bersih”. Dengan itu “keagungan” cuma cerita humas.
Tentu tak perlu raja Kahuripan kelahiran Bali ini mengenal Machiavelli atau Kautilya, untuk menegaskan bahwa kekuasaan—dan politik yang meraih dan menggunakan kekuasaan—bukanlah hal yang bisa dinilai secara ethis. Terkenal pandangan Machiavelli bahwa budi baik tak niscaya memberi legitimasi bagi yang berkuasa. Tanpa membaca Arthasastra (kitab tentang pemerintahan yang digubah Kautilya di abad ke-4 Sebelum Masehi di Kerajaan Mauriya di India), Airlangga—yang pernah merasakan kekalahan politik dengan pahit dan sebaliknya menaklukkan kerajaan-kerajaan lain dengan senjata—menyadari itu dari pengalamannya.
Tapi berbeda dengan banyak penguasa, dulu dan kini, ia tak hendak berlanjut dalam kehidupan tanpa dasar ethis itu. Ia merasa perlu menebus dosa. Ia meninggalkan kekuasaan yang najis meskipun nikmat; ia ingin menyucikan diri seperti orang yang butuh mandi di air bersih yang segar setelah bergelimang darah dan keringat dan kotoran. Dalam pertapaan, di mana yang rakus dan keji dihindari, ia berharap yang hidup dan berkecamuk dalam diri adalah “hukum ethis” yang tak beku.
Dengan kata lain, Airlangga adalah contoh yang langka yang menunjukkan politik dan kekuasaan yang tak terlepas dari nilai-nilai. Raja ini bisa mengerti bahwa agar efektif mencapai gol, “tujuan menghalalkan cara”. Artinya segala macam cara, juga berkhianat dan menipu, pantas dipakai. Tapi, tak seperti penguasa umumnya, ia masih bisa tergetar oleh “hukum ethis”, yang terkadang disebut sebagai “kata hati” atau “hati nurani”. Ia masih mempertanyakan, jika “tujuan menghalalkan cara”, apa yang menghalalkan “tujuan”?
Bukan mustahil Airlangga telah banyak berbicara dengan putri sulungnya, Sangramanwijaya, yang ia siapkan jadi pengganti tapi menolak. Putri ini memilih hidup sebagai bhikuni dan tinggal di sebuah gua di bawah Gunung Klothok, di timur Kediri. Pengaruh Buddha dalam perempuan muda ini tampaknya kuat. Ia terbiasa membersihkan diri dari kehendak duniawi. Airlangga menyimak itu.
Saya kira apa yang disebut “kata hati”—yang mengingatkan kita kepada Kant dengan konsep “kategori imperatif”—memang bukan hanya datang dari batin sendiri atau dari bisikan Tuhan. Ada faktor orang lain dalam proses itu.
Itulah sebabnya kita bisa mengenal rasa malu, rasa bersalah, dan hati nurani yang terganggu—hal-hal yang dalam kehidupan politik yang takabur di Indonesia, 1.000 tahun setelah Airlangga, mungkin tak ada lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Airlangga"