Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sangat tidak layak rumah sakit umum milik negara menjalankan pelayanan berdasarkan aturan agama.
Penerapan prinsip syariah di Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang merupakan praktik yang kebablasan. Dibangun dan dijalankan dari uang pajak, rumah sakit itu seharusnya tidak membedakan latar belakang agama pasien.
Praktik syariah RSUD Tangerang mencuat setelah foto yang menunjukkan papan pengumuman aturan menunggu pasien viral di media sosial. Aturan itu meminta pendamping dan pasien sebaiknya tidak berlawanan jenis agar terhindar dari khalwat (berduaan selain dengan anggota keluarga inti) dan ikhtilath (pencampuran pria dan wanita). Meski plang sudah diturunkan, kritik terhadap aturan diskriminatif tersebut tidak berhenti.
Aturan ini merupakan produk Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Landasannya adalah Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah yang terbit pada 2016 dan ditandatangani Ketua Dewan Syariah Nasional saat itu, Ma’ruf Amin—kini wakil presiden terpilih.
Rumah sakit syariah wajib membimbing pasien yang sekarat mengucapkan kalimat tauhid, mengingatkan waktu salat bagi pasien dan pendamping, serta mengutus petugas yang bergender sama dengan pasien untuk memasang kateter. Di samping itu, ada delapan standar pelayanan minimal, di antaranya penyediaan hijab bagi pasien, penyediaan edukasi islami, dan penjadwalan operasi di luar waktu salat.
Sejak Ma’ruf Amin menobatkan Rumah Sakit Islam Sultan Agung, Semarang, sebagai rumah sakit syariah pertama di dunia pada Agustus tahun lalu, ada 20 rumah sakit lain yang kini berpredikat serupa. Selama rumah sakit itu dimiliki swasta, semuanya sah-sah saja. Pemilik memiliki hak penuh menjalankan layanan yang paling ideal menurut keyakinannya—seperti menyediakan Al-Quran di kamar rumah sakit Islam atau Injil di rumah sakit Katolik.
Masalah muncul saat RSUD Tangerang mendapat embel-embel syariah pada Maret lalu. Pengelola merasa membutuhkan label tersebut untuk menyesuaikan diri dengan visi-misi Tangerang sebagai kota akhlaqul karimah.
Pasien nonmuslim rentan mengalami diskriminasi. Jikapun benar pengelola tidak membedakan pelayanan, simbol-simbol Islam di rumah sakit dapat membuat pasien nonmuslim tak nyaman, bahkan secara psikis terdiskriminasi. Praktik mengingatkan waktu salat pun terasa berlebihan jika masjid dan musala di lingkungan rumah sakit sudah melakukannya.
Pemerintah daerah sebaiknya mendengarkan imbauan Kementerian Kesehatan agar rumah sakit bersikap netral dan menghindari simbol keagamaan. Enam rumah sakit milik pemerintah yang dalam proses mendapatkan status syariah hendaknya meng-urungkan niat.
Alih-alih menerapkan status syariah, rumah sakit hendaknya berlomba-lomba meningkatkan pelayanan. Banyak standar pelayanan internasional yang bisa dikejar. Selain mengejar akreditasi internasional, rumah sakit bisa memburu standar internasional seperti yang dikeluarkan The Joint Commission International dan The International Society for Quality in Health Care untuk keselamatan pasien dan kualitas kesehatan. Saat ini, dari 2.830 rumah sakit di Indonesia, baru 708 yang terakreditasi nasional dan cuma 36 yang memiliki pengakuan internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo