Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah kadang kau ingin bangun dalam singularitas kita dulu?
Tiada yang begitu menyatu,
tiada yang membutuhkan tempat tidur, atau makanan atau uang—tiada yang bersembunyi di kamar mandi sekolah, atau telantar di rumah sendirian, membuka laci yang di dalamnya pil disimpan.
Di mana setiap atom milik saya, adalah juga milik Anda.
Ingat?
Tak ada alam. Tak mereka. Tak ada tes untuk tentukan apakah gajah bersedih karna anaknya
atau jika terumbu karang merasakan kesakitan.
Lautan penuh sampah tak bicara bahasa Inggris atau Farsi atau Prancis;
Apakah kita bisa bangun dengan apa adanya—saat kita di lautan dan sebelum itu
ketika langit adalah bumi,
dan hewan adalah energi,
dan karang masih berupa cairan
dan bintang adalah ruang
dan ruang sama sekali tiada
Sebelum kita percaya bahwa manusia begitu penting
Sebelum kesepian yang mengerikan ini. Bisakah molekul mengingatnya?
Dia apa dulunya? Sebelum terjadi sesuatu?
Tak ada
Tak ada saya, Tak ada kami, Tak seorang pun.
Tidak ada.
Tidak ada kata kerja
Kata benda hanya titik kecil yang berlimpah
ada ada ada ada
Semuanya kembali berada di rumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
~ “Singularitas” oleh Marie Howe untuk Stephen Hawking
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI singularitas Stephen Hawking terkait dengan alam fisik, puisi Marie Howe itu bisa sepenuhnya sejalan dengan gagasan tentang monisme atau pantheisme spiritual. Sebetulnya, kapan saja, pada hakikatnya segala sesuatu berada dalam mode-berada singular (dalam ketunggalan). Dalam bahasa filsafat disebut “simple”. Maksudnya, tunggal, menyatu, tak majemuk, pejal, “tak terbagi-bagi” (indivisible).
Fakta kemajemukan segala sesuatu sebetulnya bisa dibilang maya (majasi), yakni hanya seolah-olah majemuk. Kalau mau ditempatkan dalam garis waktu, ini masa sebelum keterciptaan awal segala sesuatu, ketika waktu dan ruang tiada. Karena ruang-waktu itu sesungguhnya membagi-bagi ketunggalan ke dalam kemajemukan, yakni sebelum manifestasi atau perwujudan (entifikasi) yang singular—dan batin—ke dalam yang majemuk dan lebih zahir.
Sebelum Stephen Hawking dan Roger Penrose menemukannya dalam fisika modern, gagasan monisme atau pantheisme alam semesta yang berbasis singularitas sudah dikembangkan oleh Baruch Spinoza dalam filsafat keagamaan. Kemudian ada Gustav Fechner, yang hidup di akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, dalam psikologi. Fechner bicara tentang alam semesta sebagai suatu organisme hidup, yang unsur-unsurnya berinteraksi secara serasi, menghasilkan keseimbangan dan kebersatuan manunggal, di bawah pengaturan oleh Gaia, Dewi Bumi dalam mitos Yunani, yang dekat dengan gagasan Plato tentang “jiwa alam” (world soul).
Menurut mereka, alam memiliki roh yang merupakan pancaran secara hierarkis (atau holarkis, hierarki dalam kebulatan) dari Hakikat Tertinggi, Sumber Prima segala ada. Fechner menyatakan bahwa “seluruh alam semesta bersifat spiritual, yang alam semesta fisik hanyalah manifestasi eksternal dari realitas spiritual ini. Atom hanya unsur paling sederhana dalam hierarki, yang akhirnya berujung pada Tuhan, atau Hakikat Tertinggi itu. Semua level dalam hierarki mencakup apa yang ada di level bawahnya. Puncak Hakikat Tertinggi mencakup semuanya. Sebagaimana badan kita merupakan bagian dari badan bumi yang lebih tinggi dan lebih besar, roh kita juga bagian dari roh yang lebih besar dan lebih tinggi. Pada puncaknya, semua itu menjadi bagian dari Roh Ketuhanan”.
Lalu ada James Lovelock, yang semasa dengan Fechner mengembangkan apa yang disebutnya hipotesis Gaia secara lebih saintifik. Belakangan, gagasan tentang “ketunggalan-ada” modern ini dibenarkan oleh sebuah penemuan ilmiah oleh ahli fisika dari Brown University dan Flatiron Institute. Penelitian itu mencoba membuktikan prinsip-prinsip fisika modern bahwa alam punya algoritma rasionalnya sendiri, yang menjadikannya benar-benar hidup (memiliki roh) dan inteligen.
Temuan itu menunjukkan alam ini adalah manifestasi Hakikat Tertinggi itu. Ia hidup, sebagai percikan roh atau batin Hakikat Tertinggi tersebut. Alam, contohnya, adalah insan besar (manusia makro) demi menegaskan sifatnya yang hidup seperti manusia itu. Meminjam istilah Plotinus, mekanisme kesatuan dan interaksi harmonis antarunsur alam ini disebut sympathea. Ibnu Sina menyebutnya cinta, hubb.
Maka, seperti diungkapkan puisi Marie Howe itu, seharusnya semua manusia merindukan berada kembali dalam singularitas kesimpelan primordial kita, fana atau moksa ke dalamnya. Ketimbang hidup dalam kebisingan, keterpecahan, ketaktenteraman semu, yang di dalamnya kegembiraan-kegembiraan sesekali tak benar-benar membawa kebahagiaan. Caranya? Kembali kepada kesatuan kosmik dengan alam semesta, dan dengan sumbernya, yakni Hakikat Tertinggi itu.
Dalam spiritualitas yang mentransendensikan semua keterpecahan, ia lebur dalam keabadian di atas ruang dan waktu keterciptaan. Sampai saatnya kita terlontar kembali ke dalam keadaan singularitas sejati itu. Untuk selamanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Fana Adalah Kemajemukan"