Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT menghilangkan kesan pemerintah tak serius menurunkan tingkat polusi udara Jakarta yang kian pekat oleh gas beracun. Tak berangkat dari akar masalah, pelbagai upaya pengendalian polusi udara akhir-akhir ini terlihat parsial dan demi kepentingan “proyek” semata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber polusi Jakarta, seperti temuan riset Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), adalah pemakaian batu bara oleh pembangkit listrik, proses industri, dan gas buang kendaraan bermotor. Jakarta memang dikepung 136 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam radius 100 kilometer. Riset CREA dengan radius yang lebih luas, sekitar 200 kilometer, juga menemukan polutan dari PLTU batu bara telah merasuki udara Jakarta dan kota di sekitarnya, yang dihuni 30 juta jiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Struktur dan komposisi polutan bisa menjelaskan sumber utama pencemaran udara di Ibu Kota. Menurut riset CREA, polutan paling banyak dalam udara Jakarta adalah sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx). Di urutan berikutnya baru partikulat halus (PM2.5). Unsur SO2 dan NOx adalah polutan hasil pembakaran batu bara dan proses industri. Sementara PM2.5 hasil pembakaran energi fosil kendaraan bermotor.
Dengan komposisi polutan seperti itu, seharusnya solusinya jelas: transisi energi dengan mengganti batu bara menjadi energi terbarukan. Tapi pemerintah hanya mengetatkan uji emisi kendaraan bermotor, menyemprot jalan protokol, meminta industri memasang pemurni polutan, hingga mengharuskan sebagian pegawai negeri bekerja dari rumah. Semua itu hanya solusi sementara, parsial, dan tak menyentuh akar masalah. Alih-alih membaik, kualitas udara yang dihirup warga Jakarta pun kian memburuk.
Pemerintah tak hanya seperti kehabisan akal mengendalikan pencemaran udara. Pemerintah pun tak punya komitmen kuat untuk mengurangi polusi di Jakarta. Buktinya, pemerintah pusat terus melawan putusan Pengadilan Negeri Jakarta yang mengharuskan mereka mengambil pelbagai langkah konkret untuk mencegah kualitas udara makin buruk. Dua tahun sudah pemerintah pusat membuang-buang waktu dengan mengajukan permohonan banding hingga kasasi karena tak terima disebut lalai menjaga kualitas udara.
Baca liputannya:
Di samping komitmen, perlu strategi jangka panjang yang komprehensif untuk menurunkan tingkat polusi udara di kawasan megapolitan seperti Jakarta dan sekitarnya. Cina dan Jepang, dua negara yang sukses menurunkan tingkat polusi di kota-kota industri, butuh 20-30 tahun menurunkan tingkat polusi lewat transisi energi secara bertahap dan persisten. Norwegia, yang mengubah kendaraan bensin menjadi kendaraan listrik setelah mengganti seluruh energi kotor, bisa menurunkan tingkat polusi sebanyak 80 persen selama 2000-2022.
Pemerintah getol mengkampanyekan penggantian kendaraan bensin menjadi kendaraan listrik. Tapi program itu tak akan langsung menurunkan tingkat polusi udara. Kendati residu emisi kendaraan listrik lebih kecil dibanding kendaraan bensin, sepanjang sumber listriknya berasal dari pembangkit batu bara dan minyak bumi, polutannya tetap besar. Tanpa beralih 100 persen ke sumber energi bersih, gembar-gembor kendaraan listrik terkesan sebagai proyek pesanan segelintir pengusaha dan pejabat yang punya pabrik kendaraan listrik saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kehabisan Akal Menurunkan Tingkat Polusi"