Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Solo - Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Endang Yuniastuti, dikukuhkan sebagai guru besar setelah meneliti kandungan minyak pada biji pohon genderuwo. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, pohon tersebut biasa menjadi sarang makhluk halus.
Baca:
Dosen Pertanian UNS Raih Guru Besar Berkat Genderuwo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Selama penelitian, pohon ini memang lebih banyak ditemukan di kuburan," kata Endang, Selasa 9 Maret 2021. Masyarakat banyak yang menganggap pohon itu sebagai tanaman yang keramat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Endang mengaku sempat menanam bibit pohon yang memiliki nama Latin sterculia foetida linn di dekat rumahnya. Namun, beberapa warga justru mencabut bibit pohon itu. "Mereka takut kalau pohon itu jadi sarang genderuwo," katanya.
Padahal, pohon yang juga biasa disebut sebagai pohon kepuh itu memiliki peluang untuk menjadi alternatif bahan bakar nabati. Pohon yang mampu berumur ratusan tahun itu memiliki akar berbentuk cawan sehingga mampu menyimpan kandungan air dalam tanah.
Kepala Pusat Unggulan Iptek (PUI) Javanologi UNS, Sahid Teguh Widodo, menyebut pohon genderuwo sudah sangat langka. "Masyarakat memang banyak yang menghubungkan pohon kepuh ini dengan makhluk halus," katanya.
Dalam kultur masyarakat Jawa, genderuwo digambarkan sebagai makhluk halus tinggi besar yang mengganggu. "Dia suka tinggal di tempat yang lembab dan sedikit cahaya," katanya.
Sedangkan pohon kepuh biasanya sangat rimbun dan memiliki mata air di bawahnya. "Sehingga banyak folklor yang menyebut bahwa pohon ini merupakan sarang genderuwo," katanya. Apalagi, pohon itu memiliki bunga yang sangat harum.
Meski demikian, Sahid menganggap folklor itu sebagai kearifan lokal masyarakat Jawa dalam upaya pelestarian lingkungan. "Keberadaan mitos itu membuat warga tidak berani mengganggu pohon kepuh sehingga mata air bisa tetap terjaga," katanya.
Meski sudah langka, pohon kepuh atau genderuwo menurutnya cukup dekat dengan kehidupan masyarakat. "Pohon ini banyak menghias karya sastra pada masa lalu," katanya. Bahkan, banyak nama kampung dan desa yang menggunakan nama pohon itu.
AHMAD RAFIQ