Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Ada Harga Ada Kursi

Bersaing dengan lawan separtai dan dari partai lain, sejumlah calon legislator menghabiskan miliaran rupiah selama kampanye hingga penghitungan suara. Belum tentu terpilih.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJUAL rumah dan tanah untuk modal kampanye, Charles Meikyansah menjelaskan keputusannya kepada istrinya dan Surya Paloh. Calon legislator dari Partai NasDem itu meyakinkan istrinya, Atiek Wiriastuti, bahwa ia hanya menjual rumah kedua mereka yang terletak di Kompleks Duta Bintaro, Tangerang, dan tanah yang juga berlokasi di Tangerang, senilai Rp 1 miliar. Rumah pertama mereka tak diganggu gugat. “Ini nekat dan, untungnya, istri saya setuju,” ujar Charles, Selasa, 30 April lalu.

Ketua Umum NasDem Surya Paloh ikut murka karena rumah yang dijual tersebut pemberian perusahaannya, PT Media Televisi Indonesia atau Metro TV, tempat Charles bekerja sebagai kepala peliputan. Surya menggebrak meja kerjanya di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem pada pertengahan Juli 2018 setelah mendengar kabar tersebut. “Apa-apaan kamu? Kenapa enggak minta ke saya?” kata Charles menirukan Surya.

Charles menjelaskan bahwa ia tak mau setengah-setengah bertarung di daerah pemilihannya di Jawa Timur IV, yang meliputi Kabupaten Lumajang dan Jember. Ia juga tak mau melulu dibantu Surya setelah memutuskan terjun ke dunia politik. “Masak, minta sama Bapak lagi?” ujar Charles kepada Surya.

Di partainya, Charles mendapat nomor urut lima. Selain melawan kolega separtai, ia bersaing dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat inkumben, seperti Arif Wibowo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Bambang Haryadi dari Partai Gerindra.

Pada awal masa kampanye, tingkat popularitas Charles di survei internal hanya sekitar tiga persen, sehingga ia giat memperkenalkan diri di daerah pemilihannya. Charles memfokuskan kampanyenya di Jember dengan alasan jumlah pemilihnya lebih banyak, yakni 1,86 juta orang, dibanding pemilih di Lumajang, yang mencapai 860 ribu. Selain itu, ia pernah tinggal di Jember, pada 1993-1999, sewaktu kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.

Charles memasang baliho dan spanduk di sejumlah sudut Jember. Ada 12 papan iklan besar yang memasang mukanya. Menurut Charles, ia hanya membayar dua baliho, sedangkan sepuluh sisanya ditanggung rekannya. Ia pun berulang kali menemui calon pemilihnya dan menjamu mereka. Menurut Charles, setiap kali ada acara makan bersama, hadir sekitar 50 warga.

Selama kampanye, Charles mengklaim telah membagikan 10 ribu kaus bergambar dirinya, sumbangan dari NasDem. Ia pun dua kali menggelar pasar murah, menjajakan gula dan minyak, yang totalnya 100 ton. Namun salah satu kunci utamanya adalah pasukan kampanye beranggotakan 5.000 orang yang bertugas memperkenalkannya ke masyarakat dan mengajak mereka memilihnya. Charles juga menyiapkan 2.000 orang buat menyelia pasukan kampanye yang dia sebut “koordinator” itu dan untuk mengawasi perolehan suaranya di tempat pemungutan suara.

Miftah Nur Sabri. Dok. Miftah Sabri

Kampanye besar-besaran itu diyakini membuat lawan terpengaruh. Karena itu, kata Charles, muncul isu biaya kampanyenya menembus Rp 20 miliar. Padahal, Charles mengklaim, total dana kampanyenya “hanya” Rp 5 miliar, yang setengahnya berasal dari kantong pribadi. “Isu itu menguntungkan saya karena membuat calon lain jiper,” ujarnya.

Hingga Selasa, 30 April lalu, perolehan suara Charles mencapai 98.166. Ia hampir pasti mendapatkan kursi di Senayan. Perolehan suara Charles melebihi jumlah pemilih Arif Wibowo, inkumben dari PDI Perjuangan, yang mendapat 69.141 suara.

Mahalnya ongkos ke Senayan juga dikemukakan salah seorang petinggi partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Calon legislator yang maju dari daerah pemilihan di Jawa Barat ini mengaku sudah mengeluarkan Rp 12 miliar. Dana itu dipakai untuk biaya memasang papan iklan besar dan spanduk serta ongkos turun ke lapangan selama kampanye dengan target lima titik setiap hari.

Ternyata ia masih merogoh saku setelah pencoblosan. Ia memperkirakan akan menghabiskan dana Rp 3 miliar lagi untuk mengawal suara dari tingkat tempat pemungutan suara hingga masuk tingkat nasional. “Saya juga tetap berkeliling daerah pemilihan agar tidak ada yang mencuri suara saya,” ujar politikus yang baru pertama kali maju sebagai calon anggota legislatif ini. Sejauh ini, ia mengklaim suaranya sudah cukup untuk mengantarkannya ke parlemen.

Masa kampanye yang panjang, sejak akhir September 2018 hingga awal April 2019, membuat para calon anggota legislatif ngos-ngosan. Calon baru seperti Charles Meikyansah harus jorjoran agar dikenal luas oleh konstituen. Tapi menyandang status petahana di daerah pemilihan yang sama dengan lima tahun lalu bukan berarti calon legislator tak perlu membongkar celengan.


 

Ternyata ia masih merogoh saku setelah pencoblosan. Ia memperkirakan akan menghabiskan dana Rp 3 miliar lagi untuk mengawal suara dari tingkat tempat pemungutan suara hingga masuk tingkat nasional. “Saya juga tetap berkeliling daerah pemilihan agar tidak ada yang mencuri suara saya.”

 


 

Calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Kalimantan Barat I, Daniel Johan, mengatakan memang diuntungkan karena posisinya sebagai anggota DPR inkumben. Ia bisa bertemu dengan pemilihnya jauh-jauh hari sebelum pemilihan dengan dana pribadi ataupun dana reses dan menyampaikan keberhasilannya sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan tersebut. “Tapi tetap saja biaya politik di pemilihan sangat tinggi,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa ini.

Pada 2014, kata Daniel, ia menghabiskan Rp 900 juta untuk melenggang ke Senayan. Dalam pemilihan kali ini, ia sudah mengeluarkan dana setidaknya Rp 2,5 miliar. Angka itu, menurut Daniel, sudah minimalis karena ia harus berhadapan dengan politik uang dan “politik arak” di sana. “Politik arak”, kata dia, adalah acara minum arak dalam upacara adat setempat dan pada kesempatan tersebut para calon legislator dimintai sumbangan oleh masyarakat. Daniel menyebut dirinya kembali terpilih sebagai anggota DPR.

Dana besar yang dikeluarkan selama kampanye tak menjamin seorang calon bakal terpilih. Politikus Gerindra, Miftah Nur Sabri, yang maju dari daerah pemilihan Riau I, yang antara lain meliputi Kota Pekanbaru dan Kabupaten Bengkalis, masih menunggu hasil penghitungan akhir. Padahal ia menghitung telah menghabiskan lebih dari Rp 2,5 miliar untuk biaya saksi, biaya alat peraga kampanye, dan ongkos turun ke lapangan. “Kini saya masih harus mengawal suara karena takut dicuri oleh calon lain yang punya duit lebih banyak,” ujarnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus