Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Ketika Presiden Harus Meminta Maaf

Pegiat kemanusiaan mendorong Presiden Jokowi meminta maaf kepada keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat. Presiden juga mesti tetap mendorong penyelesaian yudisial kasus pelanggaran HAM berat.

30 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan Presiden Joko Widodo perlu memberi pernyataan setelah menerima laporan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Pertama, Presiden Jokowi atas nama negara mengakui bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan pernyataan yang menyesalkan kejahatan kemanusiaan tersebut terjadi. Ketiga, pernyataan meminta maaf pemerintah kepada seluruh korban dan keluarganya, serta masyarakat Indonesia. Selanjutnya, pernyataan yang menegaskan bahwa seluruh kejahatan kemanusiaan sangat serius di masa lalu akan tetap diselesaikan secara benar dan adil, termasuk dengan cara yudisial. "Menegakkan keadilan dan akuntabilitas beserta kebijakan pemulihan hak korban," kata Usman, Kamis, 29 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Usman, pernyataan Presiden Jokowi itu nantinya belum cukup bagi para keluarga korban. Sebab, keluarga korban tetap menuntut tanggung jawab negara untuk menegakkan hukum dan keadilan sepenuhnya, yaitu menuntut pelaku pelanggaran HAM berat diadili melalui pengadilan.
 
Kemarin, Ketua Tim PPHAM, Makarim Wibisono, menyerahkan laporan dan rekomendasi mengenai penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Rekomendasi itu akan diteruskan kepada Presiden Jokowi, pekan depan.

Mahasiswa yang tergabung dalam Papua Itu Kita menggelar unjuk rasa perihal peristiwa Paniai di depan gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2015. TEMPO/Imam Sukamto

Keluarga korban kasus Paniai, Papua, Yones Douw, berpendapat, penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui non-yudisial menunjukkan bahwa negara tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM lewat proses pengadilan. Ia mencontohkan kasus Paniai yang sudah masuk pengadilan ad hoc. Namun majelis hakim justru memvonis bebas pelaku, Mayor Infanteri (Purnawirawan) Isak Sattu, pada 8 Desember lalu.

"Kami menilai penyelesaian non-yudisial ini untuk menutupi pelanggaran HAM berat dan bagian dari pelindungan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat itu," kata Yones, yang juga pendamping keluarga korban kasus Paniai, kemarin.

Ia mengatakan negara tidak cukup hanya mengakui adanya pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah juga harus mendorong adanya proses hukum yang benar sesuai dengan fakta lapangan. Lalu, setelah ada putusan dari pengadilan, barulah Presiden meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat. "Tapi ketika putusan pengadilan juga tidak betul dan melindungi para pelaku, baru mengakui kesalahan, itu tidak benar," kata dia.

Menurut Yones, pemerintah semestinya mengutamakan kepentingan keluarga korban sebagai warga negara Indonesia. Karena itu, negara seharusnya mengacu pada hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Di samping itu, kata dia, negara seharusnya bertindak secara cepat saat ada peristiwa yang mengarah ke pelanggaran HAM berat. Misalnya, pemerintah bergegas membentuk tim untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut. "Tidak boleh negara menunda sampai puluhan tahun, baru pura-pura ada perhatian," ujarnya.

Ia juga berharap negara tidak melindungi para pelaku pelanggaran HAM. Negara, menurut dia, seharusnya transparan untuk mengadili para pelaku sesuai dengan fakta lapangan dan berdasarkan hasil penyelidikan.

Yones mencontohkan penanganan kasus Paniai. Insiden ini berawal dari demonstrasi masyarakat akibat penganiayaan warga oleh prajurit TNI di lapangan Karet Gobai, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014. Lalu TNI bertindak represif kepada para demonstran. Akibatnya, empat orang tewas tertembak dan puluhan orang lainnya terluka.

Namun, dalam penyidikan, Kejaksaan Agung hanya menetapkan Isak Sattu sebagai tersangka. Saat itu, Isak berperan sebagai perwira penghubung.

Yones menganggap seharusnya empat komandan TNI dan kepolisian dari kesatuan berbeda ikut bertanggung jawab dalam kasus Paniai. Sebab, pelaku pelanggaran HAM berat semestinya tidak tunggal.

HENDARTYO HANGGI 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus