Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIZA Oktavin Nugraheni dengan hati pedih menceritakan kembali malam nahas ketika tanah longsor merenggut nyawa bayinya. Kepada Tempo yang menemuinya saat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah dr Tjitrowardojo, Purworejo, perempuan 24 tahun itu berkisah tentang kecemasannya ketika hujan dan angin menghajar desanya selama tiga jam, Sabtu dua pekan lalu.
Tatkala jarum jam menunjuk angka tujuh, Riza, yang tinggal di Desa Donorati, Purworejo, Jawa Tengah, keluar dari rumah untuk mengecek kanan-kiri. Ia khawatir karena rumahnya persis menghadap tebing setinggi 40 meter. "Sekeliling rumah saya banyak pohon," katanya. Lantaran tak melihat sesuatu yang aneh, Riza kembali masuk ke rumah. Dia beranjak mengambil camilan untuk bayi perempuannya, Elnaya Yoselin Qyla, yang baru berusia 1 tahun 4 bulan.
Pada saat bersamaan, ibunda Riza, Herlina, 50 tahun, mengintip keadaan luar dari jendela. Setelah itu dia membalikkan badan, menatap Riza. Tiba-tiba terdengar gemuruh: bruk..., bruk…, bruk.... Longsoran tanah basah dengan cepat menghantam rumahnya. Seketika itu pula tubuh Herlina, Riza, dan Elnaya tumbang diterjang lumpur.
Herlina terlempar keras dan segera terpendam lumpur. Riza dan Elnaya terdorong ke belakang. Ketika itu Riza masih tersadar. Tubuhnya belum penuh tertutup tanah. Ia masih merasakan genggaman tangan Elnaya dan suara tangis anak semata wayangnya itu. "Saya berteriak minta tolong. Tuhan, tolong saya," kata Riza.
Tak lama berselang, longsor susulan menenggelamkan tubuh Riza. Badannya tertindih, pandangannya gelap. Tanah dan lumpur yang menutup wajah dan hidung membuat Riza sulit bernapas. Berulang kali material longsoran hampir masuk ke tenggorokannya. Di tengah situasi itu, Riza kehilangan jejak Elnaya. Riza berupaya merangsek keluar dari timbunan tanah dengan menggerakkan badan. Tapi, apa daya, tanah dan lumpur begitu kuat menahan badan Riza. Ia pasrah. "Kalau Tuhan mau panggil saya, ambil sekarang," kata Riza. Setelah itu, dia tak sadarkan diri.
Tak ada pertolongan untuk Riza pada malam itu. Tubuh Riza baru ditemukan warga Desa Donorati keesokan harinya, sekitar pukul tujuh pagi. Riza tertimbun longsoran tanah dengan posisi badan menyamping. "Bagian yang terlihat hanya perutnya, kembang-kempis," kata Kepala Desa Donorati, Paryoto, yang ikut menemukan Riza.
Menurut dia, wajah Riza saat itu berlumur lumpur. Di atasnya ada jasad Elnaya, putri Riza, yang tak selamat dari hantaman tanah longsor. Riza, kata Paryoto, bisa lolos dari maut karena "dilindungi" jasad anaknya. "Di antara wajah dan jasad bayi ada rongga sempit yang membuat Riza bisa bernapas, meski satu lubang hidungnya sudah terisi lumpur," ujarnya.
Selama proses evakuasi, Riza mengaku pikirannya melayang ke Elnaya. Sejak itu, dia sudah merasa Elnaya tak mungkin selamat dari bencana longsor. Dia berkeyakinan lantaran tangisan Elnaya menghilang tatkala longsor susulan mulai menimbun tubuhnya. "Banyak orang bilang anak saya tidak apa-apa, tapi saya punya firasat, anak saya telah tiada," katanya.
Setelah diangkat dari timbunan tanah, tubuh Riza dibersihkan dan digantikan baju. Kemudian ditandu selama hampir dua jam menuju lokasi ambulans. Mobil itu mengantarnya menuju Rumah Sakit Umum Daerah dr Tjitrowardojo. Riza mengalami memar di kaki, tangan, dan kepala. "Dia butuh perawatan medis karena tubuhnya agak kaku," ujar Paryoto.
Suami Riza, Yohanca Gusti Darma, 30 tahun, baru mengetahui bencana longsor di Donorati satu jam setelah Riza ditemukan. Ketika itu Yohanca sedang tidak berada di Purworejo. Sudah bertahun-tahun dia merantau bekerja di Cikampek, Jawa Barat. "Pulang ke rumah setiap dua pekan atau sebulan sekali," ucapnya. Sebenarnya Yohanca berniat pulang ke Donorati pada akhir pekan petaka itu. "Kata istri saya tidak usah. Tanggung, sekalian saja pulangnya pas Lebaran."
Mendengar kabar itu, Yohanca segera pulang ke Purworejo dengan naik bus dan tiba pada malamnya. Ia langsung menuju Gereja Pentakosta Purworejo dan menyaksikan Elnaya, anaknya, terbujur kaku di peti mati. Elnaya merupakan satu dari 16 warga Donorati yang tewas akibat tanah longsor. Selain itu, hingga Jumat pekan lalu, masih ada dua warga desa yang belum ditemukan.
Longsor ini juga mengakibatkan 1.046 orang harus dievakuasi. Paryoto mengatakan 30 anggota tim Search and Rescue Jawa Tengah baru tiba di Donorati satu hari setelah bencana. Menurut dia, tim SAR terlambat karena akses menuju Donorati terisolasi akibat tanah longsor. Selain itu, tim SAR mengalami kendala oleh banyaknya daerah di Jawa Tengah yang juga diterpa bencana. Kedatangan tim SAR diikuti bantuan alat berat untuk mengevakuasi korban. "Sebelumnya kami hanya menggunakan cangkul dan kayu," tutur Paryoto.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, hujan merata di wilayah Jawa Tengah pada hari itu telah menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor yang juga merata di 16 kabupaten di Jawa Tengah, antara lain Purworejo, Banjarnegara, Kendal, Sragen, Purbalingga, dan Banyumas.
Korban jiwa paling banyak di Purworejo. Di kabupaten ini, banjir dan tanah longsor terjadi di 30 desa dan 16 kecamatan. Hingga Rabu pekan lalu, tercatat 47 orang tewas dan 15 orang hilang. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Purworejo Budi Harjono mengatakan tim penyelamat masih mencari delapan orang yang tertimbun tanah longsor di Desa Karangrejo dan Donorati. Selain di kedua desa itu, Budi mengatakan, pencarian dilakukan di Desa Jelok, Pacekalan, dan Sidomulyo. "Kami berfokus melakukan evakuasi," kata Budi.
Prihandoko (Jakarta), Betriq Kindy Arrazy (Purworejo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo