Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Melestarikan Mangrove dengan Batik

Seorang aktivis lingkungan membuat motif batik dengan pewarna alami dari limbah mangrove. Berbisnis sekaligus melestarikan hutan bakau.

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaran kain batik itu terpajang di teras Griya Karya Tiara Kusuma. Berbagai warna alam mendominasi koleksi koperasi di Kedung Baruk, Rungkut, Surabaya, itu. Desain dan coraknya pun berbeda satu sama lain.

"Satu desain batik untuk satu orang," kata Lulut Sri Yuliani, perintis Griya Karya Tiara Kusuma, di rumahnya di Jalan Wisma Kedung Asem Indah J-28, Kedung Baruk, Ahad dua pekan lalu. Itu bukan batik biasa. Bahan pewarnanya dibuat khusus dari limbah buah, daun, dan batang mangrove. Semua motifnya juga bertemakan ekosistem mangrove dan laut.

Yang istimewa, setiap pembeli kain batik akan mendapat sertifikat kepemilikan dengan keterangan motifnya. Lulut, 48 tahun, menuturkan sertifikat itu sebagai penanda keaslian batik sekaligus bukti sang pelanggan telah berperan melestarikan ekosistem mangrove. Sebab, ujar dia, sebagian laba penjualan batik disisihkan untuk penanaman mangrove. "Saya tidak ingin hanya manfaat ekonomi, tapi juga konservasi," kata pencipta batik mangrove itu.

Lulut mengatakan motif batik mangrove tak boleh meniru motif batik yang sudah ada. Karena itu, perempuan yang dikenal sebagai aktivis lingkungan ini rajin mengeksplorasi corak-corak baru di rumahnya, yang dijadikan pusat perajin batik mangrove.

Batik mangrove merupakan pendatang baru di kancah perbatikan Indonesia. Sejak dikembangkan pada 2007, batik jenis ini telah memiliki ribuan pakem desain dengan formula pewarna mangrove. Pakem-pakem itulah yang menjadi acuan terciptanya beragam motif turunannya. Bekas Kepala SMA/SMK Panglima Sudirman Surabaya itu mengatakan ada desainer khusus yang bertugas menemukan motif dan pakem baru setiap hari.

Saking cintanya pada mangrove, Lulut mencantumkan jenis mangrove beserta nama ilmiahnya dalam bahasa Latin pada setiap motif yang dirilis. Misalnya motif Aegiceras corniculatum (kacang-kacang), Avicennia alba (api-api hitam), Bruguiera cylindrica (bakau putih), Lumnitzera racemosa (teruntum putih), Acanthus ilicifolius (jeruju putih), Xylocarpus granatum (nyirih), Pandanus tectorius (pandan laut), dan Acrostichum aureum (paku laut). "Sekarang sudah ada 1.010 pakem," ujarnya.

Ide kreatif Lulut muncul ketika ia gelisah melihat mangrove yang rusak. Pada 2000, dia mulai bereksperimen membuat produk olahan mangrove. Awalnya Lulut berkutat pada sabun dan minuman.

Tujuh tahun kemudian, ketika penebangan mangrove sedang parah-parahnya di pantai timur Surabaya, dia menemukan formula pewarna kain dari buah bakau. Ia hanya memanfaatkan buah mangrove yang sudah jatuh. Komunitas perajin batik binaan Lulut harus berpegang pada pakem itu. Yang menyalahi pakem dikenai denda menanam 250 pohon mangrove.

Pembuatan batik mangrove berhasil menggugah masyarakat dan pemerintah untuk terlibat upaya konservasi. Setidaknya, kata Lulut, bisa membuat mereka sadar bahwa mangrove perlu diselamatkan. Atas kegigihannya melestarikan mangrove di kawasan pantai timur Surabaya, Lulut dianugerahi Kalpataru kategori perintis lingkungan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011.

Kini ada 100 pengusaha batik di bawah binaan Lulut, yang melibatkan 400 perajin. Mereka tersebar di Mojokerto, Malang, Bangkalan, Probolinggo, Pasuruan, dan Surabaya. Setiap binaan wajib membentuk plasma di sekitar tempat tinggal mereka.

Batik mangrove pun sudah mendunia. Kini pembelinya bukan cuma warga lokal. Kedutaan Amerika Serikat dan Prancis pun belajar dan membeli batik mangrove. Lulut punya target dalam tiga tahun ke depan dia ingin membangun usaha tekstil sendiri.

Selama ini, ujar dia, Surabaya dianggap tak punya tradisi batik yang benar-benar menjadi warisan Kota Pahlawan. Mangrove memang tumbuh di sejumlah daerah, tapi hanya di Surabaya limbah mangrove dimanfaatkan untuk batik. Komunitas Kedung Baruk juga memanfaatkan mangrove untuk membuat produk lain, seperti mi pangsit, sirop, sabun, sampo, pembersih lantai, dan kerajinan tangan.

Pemerintah Kota Surabaya sangat antusias membantu promosi batik mangrove sebagai batik khas Surabaya. "Sejak tiga tahun lalu, kami sudah melakukan pembinaan, pameran, dan promosi supaya batik ini lebih dikenal," ucap Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya Eko Agus Supiadi.

Namun, kata dia, pemasarannya masih terbatas. Selain baru, harga batik mangrove relatif mahal. Harga per lembar batik berkisar Rp 400 ribu-Rp 3 juta. Secara rutin Dinas Perdagangan menampilkan batik mangrove dalam pameran kerajinan di berbagai daerah, bahkan sampai ke Timur Tengah dan Belanda. "Targetnya tahun depan batik mangrove Surabaya bisa dipasarkan dalam bentuk pameran fashion."

Agus Supriyanto, Agita Sukma Listyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus