Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
MUI menganggap Kementerian Agama tak menepati kesepakatan mengenai logo halal baru.
MUI sempat mempersoalkan biaya sertifikasi halal yang ditetapkan BPJPH.
Biaya sertifikasi halal di MUI diklaim lebih murah ketimbang yang ditetapkan BPJPH.
KEGADUHAN melanda grup WhatsApp Dewan Halal Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Sabtu, 12 Maret lalu. Para penghuni grup riuh membicarakan logo sertifikasi halal baru yang diumumkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami bertanya-tanya, kenapa logo yang belum dibicarakan itu tiba-tiba keluar,” ujar Wakil Ketua Dewan Pelaksana Dewan Halal Nasional MUI Sholahudin Al Aiyub kepada Tempo, Jumat, 25 Maret lalu. Pengurus Dewan Halal Nasional terdiri atas Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI serta Komisi Fatwa MUI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski baru diumumkan hari itu, simbol anyar telah ditetapkan BPJPH pada 10 Februari lalu. Berbentuk gunungan wayang, logo tersebut bertulisan “halal” dalam kaligrafi Arab dan “halal Indonesia”. Tak ada asma MUI sekalipun di logo berwarna ungu tersebut.
Penggunaan logo itu tertuang dalam Surat Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Meski logo baru berlaku mulai 1 Maret lalu, simbol lawas hijau yang dikeluarkan MUI boleh digunakan hingga Februari 2026. “Ada proses penyesuaian,” ucap Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal BPJPH Mastuki, Kamis, 24 Maret lalu.
Gerah terhadap logo baru tersebut, para petinggi MUI saling bergunjing. “Akhirnya kami menjalin komunikasi intens dengan Kementerian Agama dan BPJPH,” ujar Sholahudin Al Aiyub, yang juga Ketua MUI bidang Halal dan Ekonomi.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas juga membenarkan jika logo baru yang dikeluarkan BPJPH disebut diperbincangkan koleganya. Salah satunya kaligrafi yang digunakan dianggap tak mudah dipahami oleh masyarakat. Para pengurus MUI pun mempertanyakan kesepakatan sebelumnya antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan itu.
Menurut Anwar, MUI, Kementerian Agama, dan BPJPH telah menyepakati logo baru berbentuk lingkaran dengan dominasi warna hijau seperti lambang sebelumnya. Nama MUI masih tercantum dalam bahasa Arab di logo tersebut, bersanding dengan Kementerian Agama. Logo itu mendapat hak paten dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada November 2017.
Pegawai Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melayani pengajuan sertifikasi halal, Pondok Gede, Jakarta Timur, 24 Maret 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Anwar menyatakan bahwa Fachrul Razi, yang menjabat Menteri Agama sejak Oktober 2019 hingga Desember 2020, juga menyetujui logo tersebut. “Tiba-tiba Menteri Agama berganti dan logo baru itu muncul,” katanya. Fachrul Razi digantikan oleh Yaqut Cholil Quomas pada Desember 2020.
Fachrul tak membalas permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo. Sedangkan Yaqut irit berkomentar. “Soal perubahan logo, langsung ke Kepala BPJPH saja,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Jumat, 25 Maret lalu. Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham sempat menyetujui permintaan wawancara. Namun hingga Sabtu, 26 Maret lalu, ia tak memberikan jawaban.
Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal Mastuki menjelaskan, pembuatan logo itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Ia mengakui ada sejumlah pertemuan dengan MUI untuk membahas logo tersebut. Mastuki pun membenarkan kabar bahwa logo yang telah disepakati itu sudah beroleh hak paten.
Namun label tersebut tak bisa digunakan karena Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Jaminan Halal tidak memberikan kewenangan kepada BPJPH untuk menetapkan logo halal. Setelah Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal terbit, BPJPH memiliki kewenangan tersebut.
Klausul itu belum diterapkan karena pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang merevisi Undang-Undang Jaminan Produk Halal. RUU Cipta Kerja atau omnibus law disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat pada Oktober 2020. Pada Februari 2021, keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Menurut Mastuki, BPJPH urung mengumumkan logo halal baru karena mendahulukan penyempurnaan sistem kerja dan pendaftaran sertifikasi halal. Lagi pula logo halal sebelumnya masih bisa digunakan. Mastuki membantah jika penyusunan logo baru disebut dilakukan diam-diam. “Semua sudah kami komunikasikan,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan masalah logo juga sampai ke meja Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang juga mantan nakhoda lembaga itu. Anggota Dewan Pembina Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI, Lukmanul Hakim, juga anggota staf khusus Ma’ruf.
“Karena itu, keluarlah ucapan Wakil Presiden bahwa masalah logo harus ditanyakan kepada masyarakat sehingga mudah membacanya,” tutur Anwar. Adapun Ma’ruf belum dapat dimintai tanggapan. Lukmanul Hakim dan juru bicara Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi, tak merespons permintaan wawancara yang dikirim Tempo.
(Baca di Sini: Investigasi Tempo, Transaksi Mahal Label Halal)
•••
PERMASALAHAN logo halal menjadi salah satu persoalan dalam pengurusan sertifikat halal di Majelis Ulama Indonesia. Sebelumnya, lembaga yang didirikan pada 26 Juli 1975 itu menjadi penentu sertifikat halal dari hulu hingga hilir. MUI juga memiliki Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Makanan, yang dibentuk pada Januari 1989.
Kala itu, LPPOM dibentuk untuk menghadapi persoalan kandungan lemak babi dalam sejumlah produk. Lembaga itu menjadi satu-satunya pengkaji kehalalan produk yang menjadi penentu penerbitan fatwa dan sertifikat halal oleh MUI.
Dominasi MUI berakhir setelah keluar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Aturan itu menyebutkan tentang pembentukan badan untuk mengatur jaminan produk halal, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
BPJPH memiliki kewenangan menetapkan kebijakan jaminan produk halal, menertibkan dan mencabut sertifikat serta logo halal, melakukan registrasi sertifikat halal, mengeluarkan akreditasi terhadap lembaga pemeriksa halal, serta mendaftar dan membina auditor halal. Kewenangan serupa masih tertuang dalam revisi Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Kepala BPJPH periode Agustus 2017-Maret 2021, Sukoso, mengatakan lembaga itu baru terbentuk pada 2017. Sesuai dengan undang-undang, BPJPH baru beroperasi lima tahun setelah undang-undang disahkan. “Kami mulai bekerja dan menerima permohonan sejak 17 Oktober 2019,” ujarnya, Jumat, 25 Maret lalu.
Sukoso bercerita, tak mudah menyamakan pandangan untuk membuat sistem sertifikasi halal. Ia mencontohkan, peralihan proses pengujian yang semula hanya satu pintu di LPPOM MUI membutuhkan waktu yang tak sebentar. Begitu pula transisi administrasinya yang berpindah ke BPJPH.
“Itu bukan sesuatu yang mudah. Ada proses komunikasi terus-menerus,” ucapnya. Kini sejumlah lembaga pemeriksa halal (LPH) swasta dan kampus telah terdaftar di BPJPH.
Ketua MUI bidang Halal dan Ekonomi, Sholahudin Al Aiyub, dan Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengakui adanya diskusi yang panjang setelah BPJPH terbentuk. “Kewenangan tidak pindah secara penuh, hanya berubah karena aspek administrasi beralih ke BPJPH,” kata Sholahudin, Jumat, 25 Maret lalu.
Sholahudin Al Aiyub, Ketua MUI bidang Halal dan Ekonomi. halalmui.org
Menurut Sholahudin, MUI tak mempersoalkan hilangnya kewenangan tunggal dalam sertifikasi halal. Sebab, MUI masih dilibatkan dalam proses penerbitan fatwa. Begitu pula mengenai sertifikasi dan akreditasi LPH dan auditor. Sholahudin menyatakan auditor dan LPH harus paham betul apa yang diinginkan oleh Komisi Fatwa MUI agar produk benar-benar terjamin halal.
Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal BPJPH Mastuki menyatakan pembahasan lain yang berjalan cukup alot adalah soal tarif dan batas waktu proses sertifikasi. BPJPH menerima protes dari MUI karena kewenangan penentuan harga tidak lagi dipegang lembaga itu. “Kami intensif komunikasi dan ada komitmen bersama,” ujarnya. Ia tak merinci detail permintaan dari MUI.
Mastuki mencontohkan, untuk permohonan sertifikat halal usaha mikro dan kecil biayanya Rp 300 ribu. Sedangkan biaya untuk sidang Komisi Fatwa MUI sebesar Rp 100 ribu. BPJPH pun menyarankan Komisi Fatwa membahas 10-15 produk dalam satu kali sidang agar lebih efektif.
Untuk produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha menengah hingga besar, Komisi Fatwa hanya mendapat dana sebesar Rp 349.500 per satu kali sidang. Biaya proses untuk usaha menengah adalah Rp 5 juta, sedangkan untuk usaha besar dan luar negeri Rp 12,5 juta. Adapun untuk biaya auditor juga telah diatur oleh Kementerian Keuangan.
Mastuki mengklaim pengaturan pembiayaan ini lebih tertib dibanding sebelumnya. “Semua ada di sistem karena BPJPH merupakan badan layanan umum,” tuturnya.
Ihwal waktu penerbitan sertifikat halal, Undang-Undang Jaminan Produk Halal juga memberikan tenggat. Paling cepat 21 hari kerja sejak produk didaftarkan dan maksimal 40 hari. Komisi Fatwa MUI pun hanya diberi waktu 3 hari, dapat diperpanjang 3 hari lagi, untuk menetapkan kehalalan produk. “Sebelumnya tidak ada kepastian, bisa tiga-enam bulan baru selesai,” ucapnya.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas membantah jika lembaganya disebut mematok harga tinggi. Menurut dia, harga yang ditetapkan MUI sudah meliputi semua layanan. Anwar justru menuding biaya yang disampaikan BPJPH bisa lebih mahal karena belum termasuk biaya lain, seperti tiket pesawat dan hotel. “Ini seperti mendiskreditkan MUI,” katanya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo