Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI hadapan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM), Presiden Joko Widodo mengungkapkan keraguannya. Dalam pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 11 Januari lalu, itu, Jokowi bertanya tentang pengakuan dan penyesalan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau saya menyatakan penyesalan, ini enggak jadi masalah, ya?” kata anggota Tim PPHAM yang juga mantan Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kiki Syahnakri, menirukan ucapan Presiden itu kepada Tempo, Rabu, 18 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kiki, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menjawab bahwa langkah itu merupakan kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah. Mahfud pun beralasan 12 kasus itu telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat oleh Komisi Nasional atau Komnas HAM, lembaga yang bertanggung jawab kepada presiden.
Baca: Di Balik Ide Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat
Jokowi yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno menerima penjelasan itu. Ia kemudian mencermati sepuluh rekomendasi lain yang dibuat oleh Tim PPHAM. Dari usul penulisan ulang sejarah sebagai narasi versi negara hingga pemulihan hak para korban.
Seusai pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu, Jokowi membuat pernyataan publik. Ia mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 pelanggaran HAM berat. “Dengan pikiran jernih dan hati yang tulus, sebagai kepala negara saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu,” ucap Jokowi.
Dua hari kemudian, Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa mengapresiasi sikap Jokowi. Juru bicara HAM PBB, Liz Throssell, menyebutkan pernyataan itu menjadi langkah awal dalam proses keadilan transisional. Ia berharap sikap Jokowi membuka jalan untuk menghentikan impunitas terhadap pelaku kejahatan HAM yang berlangsung berpuluh tahun lamanya.
Di dalam negeri, pernyataan Jokowi mendulang kritik dari pegiat hak asasi. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan Jokowi tak meminta maaf. “Pengakuan negara tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat hanya menambah garam pada luka korban dan keluarganya,” ujar Usman.
Pembentukan TPPHAM
BERULANG kali pemerintah Presiden Joko Widodo berupaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat tanpa jalur pengadilan. Pada April 2016, pemerintah menggelar simposium bertema “Membedah Tragedi 1965” yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional. Saat itu muncul penolakan dari purnawirawan Tentara Nasional Indonesia.
Dua bulan kemudian, para purnawirawan TNI mengadakan simposium tandingan bertajuk “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain”. Penanggung jawab acara itu adalah Kiki Syahnakri, yang namanya kerap disebut dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur—kini Timor Leste.
Periode pertama pemerintahan Jokowi pun berlalu tanpa kepastian penuntasan pelanggaran HAM berat. Pada Agustus 2022, Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu. Kiki Syahnakri menjadi salah satu anggotanya.
Pembentukan tim ini menuai kritik karena pemerintah dianggap mendorong penuntasan kasus HAM tanpa mekanisme pengadilan. Kekhawatiran lain, anggota tim ada yang terkait dengan pelanggaran HAM. Ujungnya, dosa pelaku kejahatan HAM berpeluang diputihkan. Dua pegiat HAM, Usman Hamid dan Marzuki Darusman, menolak bergabung dengan Tim PPHAM.
Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan keterangan pers usai menyampaikan hasil temuan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) kepada Presiden Joko Widodo, di Kantor Presiden, Jakarta, 16 Januari 2024. ANTARA/Sigid Kurniawan
Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden yang masuk Dewan Pengarah Tim PPHAM, Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan upaya penyelesaian non-yudisial bentuk komitmen negara untuk menyelesaikan amanat reformasi. “Presiden ingin masalah pelanggaran HAM berat selesai karena menghabiskan energi bangsa ini,” kata Siti kepada Tempo, Kamis, 19 Januari lalu.
Di tengah hujan kritik, Tim PPHAM merumuskan pelanggaran yang akan ditelisik. Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono mengatakan mereka mengacu pada penyelidikan Komnas HAM. Awalnya ada 13 kasus yang masuk daftar. Kasus tertua adalah pembantaian 1965-1966, yang diduga menewaskan lebih dari 30 ribu orang yang dituding simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Tim PPHAM mengkonsultasikan daftar kasus itu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. “Pak Mahfud bilang, kalau nanti ada kasus lain, ya dibuat lagi tim lain. Kami mulai dari yang ada,” ujar mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa itu dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 19 Januari lalu.
Belakangan, kasus Paniai yang terjadi pada 2014 terpental karena dibawa ke pengadilan HAM ad hoc pada September tahun lalu. Tiga kasus lain, yaitu Tanjung Priok, Abepura, dan Timor Timur, juga tak masuk daftar karena telah diadili oleh pengadilan HAM. Sama seperti pelaku kasus Paniai, para pelaku dalam tiga kasus pelanggaran HAM berat itu divonis bebas.
Baca: Kenapa Kasus Paniai Bisa ke Pengadilan
Mulai Oktober 2022, Tim PPHAM yang beranggota 12 orang dibagi menjadi 6 kelompok. Mereka mendata dan menemui para korban pelanggaran HAM berat. Pembagian kasusnya disesuaikan dengan latar belakang anggota.
Mantan pelaksana tugas Gubernur Aceh, Mustafa Abubakar, misalnya, berpasangan dengan Sekretaris Tim PPHAM yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki. Mereka menemui korban tiga kasus pelanggaran HAM berat di Aceh dan keluarganya, yaitu peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Simpang KKA (1999), serta Jambo Keupok (2003).
Bekas Wakil Kepala Badan Intelijen Negara yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, As’ad Said Ali, berduet dengan mantan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Keduanya mengurus kasus 1965-1966 dan pembantaian dukun santet (1998-1999) yang melibatkan pemuda dan tokoh Islam.
Menemui para korban, Tim PPHAM juga mendengar kritik dari korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya. Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono bercerita, 12 anggota Paguyuban Keluarga Korban Talangsari, Lampung, yang ditemuinya di Desa Sidorejo pada 14 November 2022 menyatakan menolak penyelesaian melalui mekanisme non-yudisial.
Jalur Kilat Pelanggaran HAM Berat
Perwakilan korban dan keluarga, Edi Arsadad, khawatir upaya non-yudisial bakal melegitimasi penyelesaian kasus Talangsari. Ia juga menyayangkan upaya itu muncul menjelang akhir jabatan Presiden Joko Widodo. “Seharusnya bisa dilakukan pada periode pertama dia menjabat,” kata Edi kepada Tempo.
Makarim yang datang bersama dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, tak berkomentar. “Kami mendengar aspirasi mereka dan memasukkannya dalam laporan tim,” ujar Makarim.
Penolakan juga datang dari Koalisi Keadilan untuk Semanggi I dan II. Dalam forum focus group discussion dengan Tim PPHAM di Hotel Sari Pacific, Jakarta, pada 15 November 2022, mereka memutuskan walkout. Salah satu yang dipersoalkan adalah pencantuman nama Yun Hap sebagai salah satu narasumber.
Yun Hap, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia, tewas ditembak dalam peristiwa Semanggi II yang terjadi pada September 1999. “Ini menunjukkan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat tak cermat melaksanakan tugas Presiden dengan didasari pengetahuan dan data yang minim,” begitu menurut Koalisi dalam pernyataan sikap resminya.
Rujukan TPPHAM
PERDEBATAN sengit muncul dalam pertemuan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu di Hotel Merumatta Senggigi-Lombok, Nusa Tenggara Barat, pertengahan Desember 2022. Saat itu anggota tim yang telah tiga bulan bekerja memulai pembahasan tentang temuan dan rekomendasi untuk Presiden Joko Widodo.
Wakil Ketua Tim PPHAM Ifdhal Kasim bercerita, tim bersepakat bahwa 12 kasus yang mereka dalami merupakan pelanggaran HAM berat. Dengan begitu, opsi penyangkalan tersingkir. Mereka pun merekomendasikan Presiden mengakui kejadian tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.
“Pembahasan berikutnya adalah merekomendasikan sikap untuk meminta maaf atau hanya menyesal,” tutur Ifdhal kepada Tempo, Jumat, 20 Januari lalu. Sejumlah peserta yang ditemui Tempo mengatakan sikap Tim PPHAM terpecah. Ada yang menolak rekomendasi agar pemerintah meminta maaf. Sebagian lagi menganggap Presiden cukup menyatakan penyesalan.
Kiki Syahnakri tak membantah jika disebut berada di kubu yang menolak permintaan maaf. Ia berargumen bahwa permintaan maaf bukan meringankan, tapi justru menambah panjang masalah. Sebab, berbagai kelompok, seperti purnawirawan TNI, akan mempersoalkan sikap tersebut.
“Kelompok yang tidak setuju utamanya dari Nahdlatul Ulama dan purnawirawan. Mereka pasti akan mempermasalahkan,” ujar Kiki. Menurut dia, para purnawirawan TNI Angkatan Darat yang ditemuinya pada September 2022 bersama Ketua Tim Makarim Wibisono mempertanyakan kemungkinan pemerintah meminta maaf soal kasus 1965-1966.
Baca: Derita Bayi Pengungsi Papua yang Terjebak Konflik
Para purnawirawan juga menyinggung kemungkinan ada mantan perwira yang diseret ke pengadilan. Juga kemungkinan bangkitnya komunisme jika pemerintah meminta maaf. Bekas Panglima Penguasa Darurat Militer Timor Timur itu menyatakan para purnawirawan akhirnya mengerti bahwa Tim PPHAM berfokus pada korban.
Kekhawatiran juga datang dari kalangan kiai. Saat anggota Tim PPHAM, As'ad Said Ali, mendatangi Pesantren Darussalam Omben, Sampang, Jawa Timur, pada Oktober 2022, sebanyak 57 kiai dari kalangan asosiasi ulama Madura mempertanyakan nasib kasus 1965-1966. “'Gak minta maaf, kan, Pak As'ad?' Saya bilang tak ada permintaan maaf kepada PKI,” kata As'ad pada Rabu, 18 Januari lalu.
Anggota Tim PPHAM, Komaruddin Hidayat, mengatakan permintaan maaf oleh Presiden sangat sensitif untuk kasus seperti pembantaian 1965-1966. “Implikasinya besar,” ucap Komaruddin.
Perdebatan di Mataram tak selesai dalam pembahasan rekomendasi selama tiga hari. Tim PPAHM melanjutkan kembali penyusunan rekomendasi di Hotel Sari Pacific, Jakarta, pada 19 Desember 2022. Lagi-lagi pembahasan berlangsung alot. Sejumlah anggota tim bercerita, sempat muncul opsi voting.
Menurut Ifdhal Kasim, salah satu argumentasi agar negara meminta maaf adalah pernyataan serupa Raja Belanda atas perbudakan di Indonesia. Tim PPHAM memang melihat proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di negara lain. Wakil Ketua Tim PPHAM itu termasuk yang menganggap permintaan maaf tak menyelesaikan persoalan.
Ifdhal mengklaim berkaca pada kasus di El Salvador dan Afrika Selatan. Permintaan maaf oleh negara diikuti dengan proses menutup kasusnya. “Permintaan maaf selalu diikuti proses impunitas. Negara mengambil alih kesalahan pelaku,” tutur Ifdhal.
Padahal kerja Tim PPHAM seharusnya tak mengganggu proses yudisial kasus-kasus tersebut. “Makanya dalam drafting untuk presiden, kami menyatakan hasil kerja tim ini sama sekali tak menegasikan proses yudisial,” kata Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono.
Pertemuan di Jakarta tak mencapai kesepakatan. Baru pada 27 Desember 2022, dalam perumusan di Hotel JW Marriott, Surabaya, tim bersepakat mengusulkan Presiden cukup mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran HAM berat. Meski begitu, dalam laporan untuk Jokowi, Tim PPHAM mencantumkan keterangan tentang dua pandangan tersebut.
Baca: Kisah Marzuki Darusman, Menyelidiki Kematian Benazir Bhutto Hingga Kasus Rohingya
Sebelas rekomendasi pun disepakati. Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden yang juga bagian dari Dewan Pengarah Tim PPHAM, Siti Ruhaini Dzuhayatin, menyebutkan rekomendasi itu berupaya mencakup semua yang ditetapkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR), yaitu pengungkapan kebenaran, keadilan, reparasi , dan jaminan tak berulang.
Adapun Makarim Wibisono mengatakan laporan dan rekomendasi itu tak otomatis menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Tak sepenuhnya puas, ia menyebut Tim PPHAM yang dipimpinnya telah bekerja maksimal selama tiga bulan.
FRANCISCA CHRISTIE ROSANA, RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo