Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENUNTASAN kasus pelanggaran hak asasi manusia berat tak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Apalagi jika tujuannya hanya untuk terbebas dari janji yang disampaikan Presiden pada saat kampanye. Penuntasan pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan pertimbangan politik pastilah sulit memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Sayang, cara instan itulah yang tengah ditempuh pemerintah Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 11 Januari lalu, Jokowi menyatakan pemerintah mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Pernyataan yang tak disertai permintaan maaf itu disampaikan setelah Presiden menerima rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat yang bekerja hanya sekitar tiga bulan. Jokowi berjanji memenuhi hak para korban 12 kasus itu tanpa menegasikan penyelesaian melalui jalur yudisial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengakuan Presiden terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat memang penting. Selama ini pemerintah selalu menutup-nutupi kejahatan tersebut. Namun Jokowi terkesan hendak menyelesaikan secepat-cepatnya sebelum ia lengser pada 2024. Akibat mengejar tenggat itu, sejumlah hal prinsipil terlupakan. Penyelesaian non-yudisial untuk kasus yang terjadi sebelum pengesahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM jelas mensyaratkan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Masalahnya, kini tak ada lagi payung hukum untuk mewujudkan komisi itu. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006, dua tahun setelah disahkan. Tanpa komisi itu yang mengungkap pelaku pelanggaran HAM berat, tak akan pernah ada keadilan bagi korban. Rekonsiliasi pun bakal sulit terwujud. Ujungnya, kasus HAM berat akan terus membebani bangsa ini.
Jokowi pun meloncat terlalu jauh dengan rencana pemberian santunan bagi korban dan keluarganya. Meskipun bermanfaat untuk sebagian korban atau keluarganya, terutama yang telah sepuh, cara transaksional itu tak ubahnya menukar penderitaan mereka dengan duit. Padahal kasus HAM bukanlah masalah yang hanya bisa diselesaikan dengan tindakan bagi-bagi kompensasi. Noda kental kejahatan kemanusiaan tak akan terhapus begitu saja dengan sejumlah uang.
Penyelesaian model Jokowi ini makin menunjukkan rendahnya penghormatan pemerintahan politikus yang banyak didukung kelompok masyarakat sipil pada 2014 itu terhadap hak asasi warga negara. Sejak awal berkuasa, ia menempatkan sejumlah tokoh yang ditengarai terlibat kasus kekerasan hak asasi manusia pada posisi-posisi strategis. Jokowi, misalnya, mengangkat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Wiranto, dan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Prabowo Subianto, sebagai menteri senior. Ia bahkan dalam satu kesempatan menyebut Prabowo sebagai calon penggantinya.
Jika memang berpikir jernih dan berhati tulus, seperti disampaikannya saat mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat, Jokowi semestinya mendorong penyelesaian melalui mekanisme pengadilan. Selama lebih dari delapan tahun berkuasa, ia hampir tak pernah memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hanya kasus Paniai yang terjadi pada 2014 diajukan ke pengadilan dengan cuma menghadirkan satu tersangka yang akhirnya bebas.
Pemerintah Jokowi juga masih punya pekerjaan untuk melaksanakan sepuluh rekomendasi lain dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Tak hanya merevisi catatan sejarah, ia harus memastikan pelanggaran HAM berat tak berulang. Misalnya penghilangan nyawa tanpa henti di Papua. Penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu jelas perlu dibarengi komitmen tidak melakukan kejahatan serupa di masa mendatang.
Baca artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo