Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Sabatikal Komandan Milisi

Kelompok Egianus Kogeya menjadi aktor sejumlah aksi kekerasan di Nduga. Disokong anak muda yang lincah dan paham teknologi.  

19 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pamor Egianus Kogeya meroket seusai pembantaian 16 pekerja PT Istaka Karya.

  • Egianus Kogeya mulai menggeser prinsip pertempuran dan tak membunuh sembarang orang.

  • Ada anak-anak yang bergabung dengan kelompok Egianus Kogeya.

TUJUH hari tujuh malam, William menyusuri hutan belantara Papua untuk menemui Egianus Kogeya. Bersama lima rekannya, pegiat hak asasi manusia itu berjalan kaki dari Danau Habema, Kabupaten Jayawijaya, menuju Nduga, wilayah yang dikuasai Egianus. Menelusuri pegunungan, yang dikepung pohon menjulang, William berkali-kali kesulitan bernapas saat malam tiba.

“Kami harus tidur dekat api unggun supaya badan tetap hangat,” kata William menceritakan perjalanan empat tahun lalu itu kepada Tempo, Kamis, 16 Februari lalu. Ia meminta namanya disamarkan untuk menghindari pemeriksaan aparat di tengah penyanderaan pilot Susi Air, Phillip Mark Mehrtens, oleh kelompok Egianus Kogeya.

Mendekati markas Egianus, rombongan diperiksa oleh anak buah Panglima Komando Daerah Pertahanan III Ndugama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat itu. William lantas tinggal beberapa pekan di sana. Ia memberikan pelatihan tentang hak asasi manusia kepada Egianus dan kelompoknya sekaligus melatih cara menggunakan kamera.

Saat itu pamor kelompok Egianus Kogeya belum lama tenar. Pada akhir 2018, gerombolan itu menyekap dan membantai para pekerja PT Istaka Karya di Gunung Tabo, Nduga. Sebanyak 16 orang tewas. Enam bulan sebelumnya, Egianus berulah dengan menembaki pesawat di Kenyam, ibu kota Nduga, serta menyandera guru dan tenaga kesehatan di Mapenduma.

Baca: Operasi Militer Jilid Dua di Nduga 

Egianus menata Komando Daerah Pertahanan III Ndugama yang dipimpinnya dengan cukup rapi. Dia membuat sejumlah aturan main yang ketat. Personel yang baru masuk tak boleh langsung memanggul senjata. Mereka berlatih dulu dan kadang diikuti ke mana pun pergi. “Setelah ada rasa percaya, mereka baru dikasih senapan,” ujar William.

Menurut dia, kelompok Egianus pantang bercumbu dengan perempuan sebelum bertempur. Di medan perang, mereka juga dilarang meminta uang atau menjarah barang. Egianus dan pengikutnya meyakini prajurit yang melanggar aturan itu akan segera kehilangan nyawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang milisi disebut-sebut pernah menyeleweng. Tatkala kelompok Egianus menawan guru dan tenaga kesehatan di Mapenduma pada Oktober 2018, ada personel yang merudapaksa seorang guru. Prajurit ini lantas didepak dari kelompok Egianus. Namun Raga Kogeya membantah informasi tersebut. “Yang memperkosa adalah orang di luar pasukan,” kata kakak sepupu Egianus itu.

Setelah bergerilya, Egianus biasanya menggelar pesta. William sempat menghadiri perayaan itu. Ia menyaksikan pasukan Egianus menari Wisisi, tarian adat khas Papua. Hidangannya babi dan ubi jalar yang dibeli dari masyarakat. Pada saat itu anggota pasukan boleh bercengkerama dengan pasangan mereka.

Baca: Bagaimana Upaya TNI Memburu Egianus Kogeya?

Sebagian pengikut Egianus Kogeya adalah bocah-bocah Nduga. William pernah mengingatkan Egianus soal larangan melibatkan anak-anak dalam perang. Tapi Egianus menyatakan tak pernah meminta anak-anak itu bergabung dengan kelompoknya. William kemudian mengetahui bahwa anak-anak itu putus sekolah dan pernah mengalami kekerasan oleh aparat Indonesia.

Prajurit Egianus didominasi anak muda berusia 20-30 tahun. Mereka lincah bergerak, cakap menggunakan gawai, dan menguasai perawatan medis. “Kelompok Egianus ahli bergerilya,” ucap Kepala Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, Frits Ramandey, yang pernah berkontak dengan Egianus lewat perantara.

Memperoleh informasi dari orang dekat Egianus, Frits menyebutkan persenjataan kelompok ini cukup mumpuni untuk menghadapi personel Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Mereka juga berjejaring dengan sejumlah kelompok terpelajar yang tinggal di kawasan perkotaan. Sebagian dari mereka adalah pemuka agama dan perempuan.

Sebelumnya, kelompok itu menganut prinsip bahwa semua orang, baik bersenjata maupun tidak, boleh dibunuh. Belakangan, pandangan itu mulai bergeser. Warga sipil yang tak bersenjata tak boleh dibunuh. Frits bercerita, sebelum penangkapan pilot Susi Air, Phillip Mark Mehrtens, kelompok itu dua kali mengimbau 15 pekerja Pusat Kesehatan Masyarakat Distrik Paro untuk pergi.

Menurut Frits, anak buah Egianus lantas mengantar para pekerja itu ke lokasi penjemputan di Gunung Wea. “Mereka tak disandera,” ujar Frits. Sebelumnya, polisi menyatakan bahwa kelompok Egianus menyandera para pekerja itu.

Baca: Kisah Pengungsi Nduga Melahirkan di Hutan

Egianus melanjutkan perjuangan ayahnya, Silas Kogeya, yang berpulang pada 2011. Silas menyandera tim Lorentz tahun 1995-1996. Versi lain, Egianus putra Daniel Yudas Kogoya, yang juga terlibat penyanderaan itu. Melalui operasi Mapenduma, Komando Pasukan Khusus yang kala itu dipimpin Prabowo Subianto membebaskan para sandera.

Raga Kogeya mengatakan adiknya putus sekolah saat kelas II sekolah menengah atas. Sebabnya, Egianus tak suka pelajaran Pancasila. Menurut Raga, Egianus menjadi salah satu panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat termuda. Ada beberapa versi soal umur pria yang lahir di Nduga itu. Raga menyebut Egianus kelahiran 2001, tapi sejumlah sumber mengungkap bahwa Egianus lahir pada 1999.

Walau umurnya masih muda, Egianus dihormati para prajurit. Selain karena faktor ayahnya yang pernah berjuang bersama Kelly Kwalik—dedengkot militer Organisasi Papua Merdeka—Egianus dinilai pemberani dan nekat. “Dia paling bernyali dan bisa menenangkan jika ada persoalan,” kata Raga.

Baca: Trauma Lama Peristiwa Mapenduma

Selain pembantaian pekerja Istaka Karya, Egianus terlibat dalam sejumlah konflik bersenjata dengan pasukan gabungan TNI dan polisi. Mereka, misalnya, menembaki truk perusahaan dan menyerang pesawat SAM Air di Bandar Udara Kenyam pada 2020. Dua tahun sebelumnya, Egianus memberondong pesawat Dimomim Air dan Trigana Air.

Tahun lalu kelompok Egianus dan kelompoknya cuti sabatikal dari perang. Raga dan William sama-sama menyebutkan gerombolan ini tak aktif sementara lantaran orang dekat Egianus yang berjulukan Rambo tewas tenggelam di sungai. “Orang ini menjabat sekretaris pribadi Egianus,” ujar Raga.

Egianus Kogeya (kedua dari kiri) dan Pemme Kogeya (baju biru), di Markas Kodap III Ndugama Derakma, Papua, Agustus 2022. Dok. TPNPB OPM NDUGAMA

Upaya mengejar Egianus Kogeya berjalan sejak lima tahun lalu. Aparat telah mempersempit ruang gerak kelompok ini serta memotong jalur logistik dan amunisi yang ditengarai berasal dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Tapi Egianus sampai sekarang masih bergerilya di hutan Papua yang terkenal ganas.

Baca: Kenapa Jeda Kemanusiaan Papua Tak Berjalan

Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Faizal Ramadhani memperkirakan anggota kelompok Egianus tak lebih dari 60 orang. Hanya separuh dari jumlah personel itu yang diprediksi menenteng senjata api. “Semua senapan dari hasil rampasan dan tak pernah beli,” kata Faizal.

Menurut Faizal, kondisi geografis Papua yang ekstrem, dengan tebing yang curam dan dikepung pepohonan setinggi puluhan meter, menjadi tantangan dalam menangkap Egianus. Operasi itu tak sekadar menerjunkan pasukan elite, tapi memerlukan teknologi persenjataan yang mumpuni.

Adapun Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Cenderawasih Kolonel Herman Taryaman mengatakan Egianus Kogeya dan pengikutnya unggul dalam penguasaan medan tempur. Herman memperkirakan jumlah amunisi kelompok itu menipis seiring dengan pemotongan jalur logistik yang dilakukan TNI dan Polri. “Dalam waktu dekat akan segera tuntas,” ujar Herman.

HUSSEIN ABRI DONGORAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus