Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Mudarat Mengganti Sistem Pemilu Sekarang

Penentuan sistem pemilu tidak boleh dilakukan di tengah jalan, menjelang Pemilu 2024. Merusak demokrasi.

23 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEDERHANANYA, sistem pemilu merupakan mekanisme mengkonversi suara pemilih dalam pemilihan umum menjadi kursi yang dimenangi partai politik dan kandidat. Ada tiga variabel kunci. Pertama, formula pemilihan, apakah menggunakan sistem pluralitas/mayoritas, proporsional, campuran, atau lainnya; dan rumus matematis menghitung alokasi kursi. Kedua, struktur surat suara (ballot structure): apakah pemilih memberikan suara untuk kandidat atau partai, membuat satu pilihan atau mengungkapkan serangkaian preferensi. Ketiga, besaran daerah pemilihan yang menyangkut jumlah perwakilan legislatif di suatu daerah pemilihan.

Sistem pemilu juga berkaitan dengan metode pencalonan, ambang batas perwakilan, formula perolehan kursi, penetapan calon terpilih, serta penjadwalan pemilu. Mengingat cakupannya, pilihan atas sistem pemilu menjadi keputusan paling penting dalam sistem politik demokrasi karena menyangkut kepentingan langsung partai politik untuk mengakses kekuasaan melalui perolehan kursi di pemilu.

Sistem pemilu dapat menguatkan demokrasi, mencapai tujuan bernegara, dan menghindari kaum penjahat menguasai pemerintahan. Ada sepuluh pertimbangan dalam memilih sistem pemilu, yaitu perhatian pada representasi (keterwakilan), kemudahan digunakan, memungkinkan perdamaian, memfasilitasi pemerintahan yang efektif dan stabil, akuntabilitas pemerintahan yang terpilih, pengawasan oleh pemilih terhadap wakil rakyat, dorongan agar partai politik bekerja lebih baik, mempromosikan oposisi di legislatif, membuat proses pemilu berkesinambungan, serta memperhatikan standar internasional (Andrew Reynolds dalam “Merancang Sistem Pemilihan Umum”, Juan J. Linz dkk, 2001).

Karena itu, sistem pemilu tidak boleh diputuskan tergesa-gesa apalagi parsial.

Sistem pemilu punya sifat partisan yang sangat kuat. Ia menjadi isu krusial dan lama diputuskan. Dalam sejarah pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu, Dewan Perwakilan Rakyat tiga kali gagal mencapai konsensus dan harus menggelar voting, yaitu pada 2008, 2012, dan 2017. Substansi yang menemui jalan buntu antara lain alokasi kursi, metode penghitungan sisa suara dan perolehan kursi, serta ambang batas parlemen dan presidensial.

Setelah Undang-Undang Pemilu ditetapkan, biasanya langsung diikuti serbuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Baik oleh partai politik (terutama yang tidak memiliki kursi DPR), organisasi masyarakat sipil peduli pemilu, kelompok perempuan, maupun tokoh-tokoh politik yang berkepentingan langsung terhadap pengaturan norma dalam Undang-Undang Pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pragmatisme politik

Akhirnya, untuk pertama kali setelah Reformasi 1998, Undang-Undang Pemilu tidak mengalami penggantian. Pada 9 Maret 2021, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah bersepakat mencabut Rancangan Undang-Undang Pemilu dari daftar Program Legislasi Nasional Prioritas. Keputusan tidak melanjutkan RUU Pemilu diambil di tengah banyaknya tuntutan perbaikan berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Khususnya soal manajemen dan penegakan hukum pemilu. Kritik muncul dari para akademikus serta pegiat dan pemerhati pemilu.

Pembatalan RUU Pemilu dianggap bentuk pragmatisme partai dan elite politik, cerminan kompromi politik yang mempertaruhkan mutu dan kredibilitas Pemilu 2024. Sementara partai-partai diuntungkan oleh ketiadaan perubahan, penyelenggara dan pemilih harus berjibaku dengan kompleksitas teknis seperti pada Pemilu 2019.

Cara satu-satunya (lagi-lagi) mengganti substansi Undang-Undang Pemilu adalah melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan data MK, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menempati peringkat pertama undang-undang yang paling banyak diuji materi, yaitu 99 kali. Fenomena yudisialisasi politik (judicialization of politics) menguat. Hakim dan peradilan makin ditarik masuk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik yang seharusnya berada di tangan politikus Senayan dan pemerintah.

Baca Opini TempoMudarat Koalisi Besar Jokowi

Sistem pemilu juga tak lepas dari upaya uji materi tersebut. Pada pertengahan November 2022, enam pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas delapan norma dalam Undang-Undang Pemilu yang berkaitan dengan sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka. Argumentasinya, sistem proporsional terbuka mengakibatkan kerumitan, memboroskan anggaran negara, mendorong praktik jual-beli suara, memicu tindak pidana korupsi, melemahkan kelembagaan partai, serta melahirkan masalah multidimensi yang kompleks.

Para pemohon ingin kembali ke sistem proporsional dengan daftar tertutup sebagaimana pernah diterapkan pada masa Orde Lama hingga Pemilu 1999. Pemilih hanya mencoblos gambar partai dan tidak memilih calon legislator secara langsung di surat suara.

Respons atas pengujian sistem pemilu di MK sangat luar biasa. Pertama kali dalam sejarah politik Indonesia, delapan dari sembilan partai parlemen secara terbuka menyatakan penolakan atas sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Pengujian sistem pemilu juga membuat 13 pihak mengajukan diri dalam perkara ini karena berkepentingan langsung dengan substansi yang diuji, baik perorangan, kelompok, organisasi, maupun partai politik.

Meskipun ada desakan agar hakim konstitusi bisa cepat mengambil keputusan, MK tampaknya berhati-hati dan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk didengar. Kiranya itu sikap yang tepat dengan menimbang bahwa sistem pemilu merupakan hal krusial yang bisa mempengaruhi banyak aspek dalam penyelenggaraan pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Partisipasi bermakna

Konstitusi tak mengatur secara eksplisit sistem pemilu legislatif. Kebijakan itu semestinya diputuskan pembentuk undang-undang sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dengan mempertimbangkan keseluruhan aspek pemilu dan implikasinya. Mayoritas putusan Mahkamah Konstitusi juga menempatkan variabel sistem pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang seperti penentuan ambang batas parlemen dan presidensial serta keserentakan pemilu. Toh, pengaruh MK tetap besar dengan memberikan panduan untuk pembentuk undang-undang seperti rumusan soal pemilu serentak 2019.

Apa pun pilihan sistem pemilu, tertutup atau terbuka, sama-sama mensyaratkan demokrasi internal partai dan penegakan hukum yang efektif. Sayangnya, keduanya tidak tersedia hari ini.

Baca: Politik Kartel dan Kemunduran Demokrasi dalam Pemilu 2024

Melompat langsung ke sistem tertutup tanpa ada skema terukur soal tata kelola partai yang terbuka, transparan, akuntabel, dan demokratis sama saja dengan mengantarkan pemilih untuk masuk jurang hegemoni elite partai. Sistem ini pun baru bisa efektif jika ada kebebasan dan kemudahan mendirikan partai seperti pada 1999. Dengan begitu, terjadi pertarungan identitas partai secara fair. Namun mendirikan partai sekarang begitu sulit. Partai-partai di DPR pun setengah hati membuka kesempatan itu.

Kini sistem proporsional terbuka dengan segala kekurangannya menjadi satu-satunya veto pemilih atas keputusan eksklusif elite partai. Namun publik masih menghadapi wakil rakyat yang tanpa malu mengaku lebih patuh kepada juragan partai ketimbang mewujudkan aspirasi dan suara konstituennya.

Banyak hal masih perlu ditata dari sistem proporsional terbuka. Misalnya beban penyelenggaraan dan kerumitannya bisa diminimalkan dengan memisahkan pemilu nasional (memilih presiden serta anggota DPR) dan pemilu lokal (kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah). Penegakan hukum atas praktik transaksional perlu diperkuat melalui aturan yang lebih operatif sesuai dengan modus mahar politik, jual-beli suara, atau suap politik lain dan melibatkan lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Lalu bagaimana dengan kepastian sistem pemilu untuk 2024? Pada 1-14 Mei 2023, Komisi Pemilihan Umum akan membuka pendaftaran calon anggota DPR dan DPRD disertai nama dan nomor urutnya. Sepanjang tidak terdapat perubahan ketentuan, pengajuan calon legislator tetap akan dilakukan dalam konteks sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur Pasal 167 ayat 2 Undang-Undang Pemilu.

Sistem pemilu tak hanya berkaitan dengan desain surat suara dan penentuan calon terpilih. Tapi juga mempengaruhi penentuan nomor urut calon legislator dan strategi pemenangan. Misalnya ada calon yang memilih nomor urut sama dengan nomor urut partai agar memudahkan kampanye. Namun para calon legislator saat ini menanti kepastian sistem pemilu yang digunakan. Sebagian berpikir, untuk apa menjadi calon dengan nomor urut buncit jika yang berlaku adalah sistem proporsional tertutup. Sebab, peluang mereka untuk menang nyaris mustahil.

Baca: Presidential Threshold Sebagai Biang Kemunduran Demokrasi

Maka, kalau ingin mengevaluasi sistem pemilu, lakukanlah dengan pertimbangan jernih dan holistik, menghitung implikasinya secara menyeluruh, tidak tergesa-gesa, dan jangan di tengah tahapan pemilu. Apalagi ketika pemain sudah siap masuk ring untuk bertanding. Dampaknya bisa buruk bagi teknis kepemiluan ataupun kualitas demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Sistem Pemilu dan Keadilan Kompetisi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus