Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Tekun Menghidupkan Batik Encim

Santoso Hartono melestarikan batik Lasem dengan budi daya dan pelatihan.

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menularkan keterampilan membatik menjadi kegiatan utama Santoso Hartono. Jadwal pria 45 tahun pemilik usaha batik rumahan di Lasem pada Maret ini, misalnya, sudah penuh dengan pelatihan membatik di berbagai kota. Dia memang demen berbagi ilmu. "Tidak ada yang saya rahasiakan," kata Santoso, Senin pekan lalu.

Ia contoh sukses pengusaha batik pada industri rumahan sehingga meraih penghargaan Upakarti dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Desember 2010.

Batik Lasem disebut pula dengan batik encim. Sebab, dulu pemakainya kebanyakan kaum wanita peranakan Cina yang sudah bersuami—biasa dipanggil encim.

Santoso, generasi ketiga pengusaha batik Lasem, mengawali usaha pada 2006. Kakeknya, Tjian Liok Jang Nio, mulai merintis usaha pada 1950, yang diteruskan J. Frida, ibunda Santoso. Batik tulis produksi Santoso menembus pasar Rembang, Semarang, Jakarta, Banten, Serang, dan Medan, bahkan hingga Malaysia, Singapura, dan pasar luar negeri lain. Semula, untuk mengelola usahanya, Santoso menempati rumah sekitar 300 meter persegi, peninggalan Tjian Liok Jang Nio, di Jalan Jatirogo, Lasem, hanya dengan belasan buruh. Modal usahanya Rp 15 juta berasal dari kredit dana bergulir Kementerian Koperasi.

Waktu itu perajin Lasem mendapat dana bergulir Rp 250 juta dan dibagikan ke sejumlah orang. Suami Andriana Sulistiowati yang dikaruniai tiga anak itu kini punya enam desa lokasi kerja industri rumahan batik. Produksi batik perajin yang ia bina itu disetor ke gerainya di jantung Kota Lasem. Di lokasi pabrik ini, setiap hari buruhnya bekerja: dari pembuatan pola, menyalin pola di baliknya, menutup bagian yang tidak berpola, mewarnai, hingga cuci kain untuk menghilangkan malam.

Santoso kini punya aset Rp 6 miliar. Ia juga punya seorang desainer khusus. Hingga kini ia punya 500 desain, tapi baru terpakai 100. Untuk memenuhi selera anak muda, Santoso membuat desain masa kini, tak terpancang pada batik klasik yang baku. "Kami sesuaikan dengan permintaan pasar," ujarnya.

Prospek pasar batik Lasem cukup bagus. Kendalanya hanya pada minimnya tenaga pembatik dan tidak ada regenerasi pembatik. Banyak kaum muda lebih memilih jaga toko dibanding menjadi tenaga pembatik. Akibat terbatasnya tenaga pembatik, saling bajak tenaga pembatik tak terhindarkan. Sebelumnya, di Lasem terdapat 18 perajin. Mereka tersebar di delapan desa. Beberapa tahun kemudian Lasem punya 88 pembatik, yang menghasilkan 38.938 lembar batik per bulan.

Itulah yang membuat Santoso giat melatih calon pembatik yang sebagian merupakan istri petani dan buruh nelayan di sekitar Lasem. Mereka lalu bekerja di tempat usaha Santoso—kini ada 175 pembatik tetap. Selain itu, dia memiliki 700 pembatik yang bekerja di rumah mereka masing- masing. Sistem kerja mereka borongan. Setiap orang, setelah menyelesaikan satu kain batik, diupah Rp 40-60 ribu, tergantung coraknya.

Santoso memasarkan produknya dengan sistem jemput bola, seperti rajin ikut pameran di Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Satu tahun setidaknya ada lima kali pameran. Setiap pameran bisa membawa pulang sekitar Rp 350 juta. "Kalau hanya Rp 250 juta, baru impas dengan ongkosnya," kata Santoso.

Batik Lasem, merujuk pada sejumlah catatan sejarah, sudah dikenal sejak abad ke-14. Menurut pembuat batik Sigit Wicaksono, batik Lasem pada masa jayanya, pada 1960-an, pernah diekspor ke luar negeri, antara lain ke Suriname. Sedangkan Iwan Tirta, dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades (1996), menyatakan batik Lasem menguasai Nusantara pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Batik Lasem mampu bersaing dengan batik daerah lain karena motif dan bahan kainnya yang halus. Warna khas batik Lasem adalah merah darah ayam. Bahkan, untuk menghindari pemalsuan, pada 1850 batik Lasem sudah diberi inisial cap tinta, semacam merek dagang.

Sunudyantoro (Yogyakarta), Bandelan Amarudin (Rembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus