Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Info Event - Ada yang berbeda dari panggung Teater Besar Taman Ismail Marzuki pada akhir September 2024 ini. Bukan hanya deretan aktor dan aktris andal yang biasa menghuni panggung, tapi juga hadirnya sebuah cerita yang mengusik rasa nasionalisme, dibalut dengan kisah horor yang tak biasa. Indonesia Kita kembali dengan pementasan ke-42 mereka, kali ini dengan lakon berjudul “Si Manis Jembatan Merah.” Sekilas, judulnya seperti menawarkan cerita seram yang menggugah adrenalin. Namun, di balik judul itu tersimpan sebuah refleksi mendalam tentang perjalanan bangsa, tentang jembatan-jembatan tak kasatmata yang selama ini mungkin telah kita lupakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditulis oleh Agus Noor dan Joind Bayuwinanda, serta disutradarai oleh Agus Noor sendiri, lakon ini tidak sekadar menjual sensasi horor. Pementasan yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini membawa penonton menyelami makna nasionalisme dengan cara yang berbeda. Dibawakan oleh aktor kawakan seperti Butet Kartaredjasa, Cak Lontong, hingga Inaya Wahid, cerita ini membangkitkan nostalgia tentang jembatan merah di suatu kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—dari perjuangan veteran, kehidupan kaum marjinal, hingga rumor hantu perempuan yang menangis di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah ini bertambah menarik ketika jembatan yang penuh sejarah tersebut dikabarkan akan digantikan dengan jembatan untuk kereta super cepat. Konflik pun bermunculan, baik di antara warga maupun di dalam diri mereka sendiri. Ketika banyak orang mulai jatuh sakit dan mati, rumor tentang tumbal bagi penunggu jembatan semakin menggema. Tetapi, apakah ini sekadar cerita horor, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang hendak diungkapkan?
Dalam pengantarnya, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menulis bahwa lakon ini mengajak kita berkaca pada sejarah untuk melihat kondisi bangsa saat ini. Jembatan Merah menjadi simbol dari perjuangan yang harus dipertahankan. "Ada banyak Jembatan Merah yang gagal kita jaga," tulis Hilmar. Sebuah pengingat bahwa cita-cita kemerdekaan mungkin terancam, jika kita abai menjaga tonggak-tonggak penting dalam perjalanan kita sebagai bangsa.
Agus Noor sendiri mengungkapkan bahwa penggunaan mitos horor dalam cerita ini bukanlah tanpa alasan. Jembatan Merah dalam lakon ini menjadi simbol perlawanan rakyat dalam merebut kemerdekaan. “Kehadiran sosok si manis yang menangisi jembatan merah adalah lambang dari suara-suara yang tak tersampaikan oleh mereka yang telah berjuang untuk kita,” ujar Agus. Sentuhan magis dari mitos ini seakan menjadi cermin dari betapa mudahnya kita melupakan sejarah yang membentuk republik ini.
Butet Kartaredjasa, pendiri Indonesia Kita, menyampaikan apresiasinya atas dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap pementasan kali ini. Bagi Butet, pentas ini adalah bentuk upaya terus-menerus untuk mengingatkan publik agar tidak pernah lelah mencintai Indonesia. “Indonesia Kita sudah lama berkomitmen menyebarkan rasa kebangsaan melalui seni pertunjukan, dan pekerjaan ini belum selesai,” ungkapnya.
Dengan iringan musik dari Orkes Sinten Remen dan tarian dari DvK Art Movement, pementasan “Si Manis Jembatan Merah” bukan sekadar hiburan. Ia adalah sebuah ajakan untuk kembali merasakan makna kebangsaan, untuk merefleksikan perjalanan sejarah yang kita tempuh, dan untuk mengingatkan bahwa di balik setiap jembatan—baik yang terlihat maupun yang tidak—tersimpan cerita yang tak boleh kita lupakan. (*)