Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BRIN menyiapkan penelitian untuk mengidentifikasi tumbuhan yang telah punah di Kebun Raya Bogor.
Penelitian itu menggunakan sampel air dan sedimen Kolam Gunting.
Sampel itu mengandung DNA berbagai jenis tumbuhan.
KOLAM Gunting, yang terletak tak jauh dari gerbang utama Kebun Raya Bogor di Jawa Barat, menjadi sasaran penelitian Irfan Martiansyah. Peneliti ahli muda di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu tengah menyiapkan riset untuk mengidentifikasi tumbuhan yang punah. “Saya ingin mendapatkan asam deoksiribonukleat (DNA) purba yang terakumulasi di air dan sedimen Kolam Gunting,” kata Irfan di Gedung Utara Kebun Raya Bogor, 9 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DNA yang terserak di lingkungan atau environmental DNA (eDNA) purba, Irfan menjelaskan, jika berhasil ia peroleh, dapat memberitahukan jenis tumbuhan yang pernah ditanam di kebun raya yang berdiri sejak 1817 itu, yang kini koleksinya sudah musnah. Irfan merujuk pada riset tim peneliti dari Denmark, Inggris, Prancis, Swedia, Norwegia, Amerika Serikat, dan Jerman yang dipimpin Eske Willerslev dan Kurt H. Kjær dari University of Copenhagen, Denmark. Tim itu berhasil menemukan ekosistem berumur 2 juta tahun di dalam formasi Kap København di Greenland Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam makalah yang terbit di jurnal Nature edisi 7 Desember 2022, para peneliti mengkonfirmasi keberadaan DNA kelinci dan DNA mitokondria dari hewan-hewan, termasuk mastodon, rusa, tikus, dan angsa, yang merupakan leluhur hewan masa kini dan kerabat Pleistosen Akhir. Juga ada bukti keberadaan pohon birch dan poplar. “Temuan ini membuka area baru penelitian genetik. Pelacakan ekologi dan evolusi komunitas biologis dari 2 juta tahun lalu menggunakan eDNA purba mungkin dilakukan,” tulis peneliti dalam makalahnya.
Willerslev, Direktur Lundbeck Foundation GeoGenetics Centre University of Copenhagen, mengatakan DNA dapat terdegradasi dengan cepat. “Tapi kami menunjukkan, dalam keadaan yang tepat, kita dapat kembali ke waktu yang lebih jauh dari yang siapa pun berani bayangkan," ujarnya seperti dikutip EurekAlert!, 7 Desember 2022. Kjær menambahkan, sampel DNA purba itu terkubur di dalam sedimen yang telah terbentuk lebih dari 20 ribu tahun. “Sedimen itu terawetkan dalam es atau lapisan tanah beku (permafrost).”
Mesin pengurutan DNA MinION dari Oxford Nanopore Technologies/nanoporetech.com
Irfan menjelaskan, DNA yang dilepaskan oleh tumbuhan ke lingkungan atau eDNA botani bisa bersumber dari organisme dan produknya, seperti serangga, herbivora, madu, dan feses; fragmen bunga dan serbuk sari (pollen); buah dan biji; fragmen daun; serta sistem akar. DNA lingkungan botani bisa dikumpulkan dari udara, air, dan tanah. “DNA itu ada yang telanjang, ada yang masih di dalam sel, atau yang terakumulasi di dalam organ atau jaringan suatu organisme,” tuturnya.
Berbeda dengan ekstraksi DNA dari jaringan hidup, Irfan menambahkan, pengambilan eDNA tidak melukai atau merusak organisme yang diambil sampelnya sehingga disebut metode pengumpulan sampel non-invasive non-destructive. “Kalau mau mengekstrak DNA dari pohon A, saya harus memotongnya atau setidaknya mengambil daunnya. Sedangkan eDNA diekstrak dari sampel air, sampel tanah, sampel air di kantong Nepenthes, ataupun menangkap serbuk sari yang terbang di udara,” ucap Irfan.
DNA lingkungan dari udara tampaknya terlahir khusus untuk dunia botani. Hal ini terbukti dengan makin banyaknya riset yang menggunakan serbuk sari yang ditangkap dari udara. Awalnya riset eDNA botani juga berfokus pada sistem akuatik. Tapi studi yang menyelidiki tanda tangan taksa tumbuhan ini lebih sedikit dibanding studi eDNA akuatik metazoa (hewan). Penelitian pertama yang menyelidiki kemungkinan penggunaan eDNA untuk memantau tumbuhan air invasif adalah riset Michelle Scriver dari Trent University, Kanada, pada 2015.
Tiga tahun sebelum Scriver, sebenarnya Silvia Folloni dari Institut Kesehatan dan Perlindungan Konsumen Komisi Eropa di Italia sudah melakukan penelitian dengan pengambilan sampel genetik botani di udara. Tapi penelitian Folloni berfokus pada deteksi serbuk sari dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Begitu pula riset Ken Kraaijeveld dari Universiteit Leiden, Belanda (2015); Helena Korpelainen dari University of Helsinki, Finlandia (2017); dan Rashmi Prava Mohanty dari University of Tulsa, Amerika Serikat (2017).
Mark D. Johnson dari Tech Texas University, Amerika Serikat, pada 2019 memperluas studi untuk mengeksplorasi eDNA di udara sebagai sampel lingkungan massal. Hasil studi Johnson mengkonfirmasi dugaan bahwa eDNA di udara tak hanya berasal dari serbuk sari, tapi juga dari fragmen daun dan bunga. Hal itu terbukti dari keberhasilannya mendeteksi spesies tumbuhan tak berbunga yang diserbuki serangga. Temuan ini menjadi fondasi bagi perluasan pemanfaatan eDNA di udara, seperti untuk memantau beragam spesies dan komunitas tanaman, mendeteksi spesies invasif, serta melindungi spesies yang kritis dan spesies terancam punah.
Iskandar Z. Siregar, peneliti genetika kehutanan dan profesor di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, mengaku merintis pengembangan pengurutan genom pohon hutan dan pengurutan DNA barcode tumbuhan vaskuler untuk membangun basis data sumber daya genetika. “Keberadaan basis data itu penting untuk mendukung penerapan metode eDNA dalam penelitian dan pemantauan keanekaragaman hayati tumbuhan di Indonesia. Salah satu pemanfaatan basis data itu untuk survei biodiversitas cepat melalui DNA dari sampel serbuk sari,” tutur Iskandar di kampus Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB University, 18 Januari 2024.
Menurut Iskandar, dengan eDNA, penilaian cepat ataupun penyaringan keanekaragaman hayati bisa dilakukan lebih cepat dari metode konvensional melalui survei lapangan. “Tidak perlu menurunkan banyak orang ke lapangan yang biayanya mahal. Setelah pengambilan sampel di beberapa titik, dilakukan ekstraksi DNA, amplifikasi dengan reaksi berantai polimerase (PCR), pengurutan DNA, dan analisis data langsung di lokasi,” ujar doktor kehutanan dari University of Göttingen, Jerman, ini.
Iskandar mengaku merintis penggunaan mesin pengurutan DNA yang portabel untuk tanaman di IPB University sejak tiga tahun lalu. “Kami menggunakan alat yang namanya MinION dari Oxford Nanopore Technologies. Kalau mesin sequencing harganya miliaran. Enggak ada yang sanggup beli. Tapi yang portabel ini startup package harganya US$ 5.000 (sekitar Rp 78 juta),” kata Iskandar mengenai alat seukuran stapler itu. Menurut Iskandar, mesin sequencing portabel ini digunakan untuk mewujudkan demokratisasi teknologi DNA, “Sehingga makin banyak data sekuens yang dihasilkan peneliti di dalam negeri.”
Iskandar menguraikan upaya kelompok risetnya dalam mewujudkan basis data sumber daya genetik. “Dulu di IPB ada kesepakatan awal di antara peneliti tumbuhan, hewan, dan mikrobiologi untuk membangun database yang dinamakan Genomics Nusantara (Gennus)," ujarnya. Pembicaraan juga dilakukan dengan inisiatif global seperti Earth Biogenome Project dan Ocean Census untuk berkolaborasi sesuai Protocol Nagoya. "Data penelitian kami upload ke database global sebagai syarat publikasi jurnal ilmiah mahasiswa doktoral melalui kerja sama riset internasional CRC90-EFFoTS yang melibatkan konsorsium IPB, Universitas Jambi, Universitas Tadulako, dan University of Göttingen. Misalnya, penelitian di Sumatera itu menghasilkan 1.207 barcode rbcL yang mewakili 441 spesies dan 2.376 barcode matK yang mewakili 750 spesies.”
Keberadaan basis data itu, Iskandar menambahkan, sangat penting sebagai perpustakaan referensi untuk para peneliti. "Apalagi Indonesia sebagai negara megabiodiversity seharusnya memiliki basis data yang bagus. Boleh jadi data tumbuhan Indonesia belum ada di Barcode of Life Data (BOLD) atau di International Barcode of Life dan bahkan di National Center for Biotechnology Information karena tidak ada yang mencatatkannya," ucapnya. Dia mengungkapkan, berbeda dengan satwa tertentu yang bisa bermigrasi lintas negara sehingga dapat diteliti peneliti lain, untuk tumbuhan Indonesia sebaiknya dikaji oleh peneliti lokal yang bisa berkolaborasi dengan peneliti internasional.
Menurut Iskandar, dengan DNA barcoding dapat dibedakan mana DNA hewan, tumbuhan, dan bakteri. DNA barcoding merupakan metode untuk mengidentifikasi spesies menggunakan bagian pendek DNA dari gen atau beberapa gen tertentu. Untuk hewan, gen yang menjadi penanda (barcode) adalah cytochrome c oxidase I. Adapun untuk tumbuhan ada dua penanda yang universal, yakni gen ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxygenase atau rbcL dan maturase K atau matK. Sedangkan penanda untuk bakteri yang dipakai adalah internal transcribed spacer.
Untuk riset eDNA, kata Iskandar, bisa menggunakan teknik DNA metabarcoding yang memungkinkan untuk identifikasi simultan banyak taksa dalam sampel yang sama. DNA metabarcoding tidak berfokus pada satu organisme tertentu seperti DNA barcoding, melainkan bertujuan menentukan komposisi spesies dalam suatu sampel serta mengetahui fungsi-fungsi ekosistemnya. “Kalau mau melihat ada komunitas apa saja di dalam sampel itu, pakai metabarcoding. Kalau sampel yang akan dianalisis selembar daun, bisa dengan barcoding saja,” tutur Iskandar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Melacak Tumbuhan Punah di Kebun Raya"