Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Tersebab Sedan Menjadi Truk

Peneliti Universitas Airlangga mengingatkan soal potensi bahaya mutasi dan dampak lain virus dan vaksin Covid-19. Bio Farma optimistis sudah mengantisipasi fenomena antibody-dependent enhancement.

31 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penelitian tim penelitia Universitas Airlangga menemukan bahwa mutasi virus Covid-19 yang menghasilkan strain baru D614G merupakan manifestasi dari fenomena antibody-dependent enhancementi (ADE).

  • Antibody-dependent enhancement adalah kondisi di mana antibodi tidak efektif menetralisir virus dan malah membuat infeksi di dalam sel menjadi lebih parah.

  • Vaksin Sinovac Biotech memang dikembangkan dari virus SARS-Cov-2 yang belum mengalami mutasi D614G. Namun Bio Farma optimis bahwa soal mutasi dan ADE ini sudah diantisipasi.

Saat masyarakat dunia tengah menunggu kedatangan vaksin Covid-19, muncul kabar penemuan strain atau tipe baru virus SARS-CoV-2 yang dinamakan D614G. Virus hasil mutasi ini sangat berbeda dengan strain virus Wuhan, tempat awal terdeteksinya virus corona pemicu Covid-19 pada akhir tahun lalu. Strain mutasi ini sempat dilaporkan membuat penyebaran penyakit 10 kali lebih cepat dan dikhawatirkan membuat berkurangnya efektivitas sejumlah vaksin yang tengah dikembangkan.

Peringatan soal bahaya dari virus strain D614G ini disampaikan oleh tim peneliti yang dipimpin oleh guru besar biokimia pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Chairul Anwar Nidom. Mereka mengingatkan bahwa mutasi D614G adalah manifestasi dari fenomena antibody-dependent enhancement (ADE), yakni kondisi ketika antibodi tidak efektif menetralkan virus dan malah membuat infeksi di dalam sel menjadi lebih parah.

Kajian Nidom dan tim mengenai bahaya mutasi virus dan potensi ADE ini membuatnya dianggap kurang setuju atas pengembangan vaksin untuk mengatasi virus yang kini menginfeksi lebih dari 44 juta orang di dunia dan menewaskan lebih dari 1,7 juta jiwa itu. “Padahal saya ini penganut vaksinasi,” ucapnya, Selasa, 27 Oktober lalu. “Pencegahan penyakit yang paling efisien ya melalui vaksin.”

Soal mutasi virus Covid-19 yang menjadi D614G dan ancaman ADE itu dituangkan Nidom dan timnya dalam makalah berjudul “Investigation of the D614G Mutation and Antibody-Dependent Enhancement Sequences in Indonesian SARS-CoV-2 Isolates and Comparison to Southeast Asian Isolates”. Kajian itu dimuat dalam jurnal Systematic Reviews in Pharmacy edisi 8, Volume 11, Agustus-September 2020.

Dalam makalah itu, Nidom dan tim mengidentifikasi adanya mutasi D614G dari isolat SARS-CoV-2 Indonesia dan isolat dari enam negara Asia Tenggara lainnya. Selain itu, diidentifikasi adanya motif ADE pada isolat yang bermutasi baru-baru ini. Mereka menyimpulkan bahwa mutasi D614G dapat mempengaruhi aktivitas ADE. Tapi ada catatan: perlu penelitian lebih lanjut untuk validasi hasil tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Nidom, SAR-CoV-2 berbeda dengan karakter virus asam ribonukleat (RNA) lainnya, seperti influenza dan ebola yang bermutasi karena kecelakaan. Virus Covid-19 ini, kata Nidom, bisa memperbaiki diri dan bermutasi untuk mempertahankan diri. Meski ada pandangan bahwa mutasi membuatnya lebih lemah, dia menambahkan, yang terjadi malah bisa saja sebaliknya. “Sebelumnya ada informasi bahwa mutasi D614G itu membuat virus ini menular 10 kali lebih cepat. Hal ini dibantah oleh ahli imunologi bahwa proses mutasi itu tidak mempengaruhi respons imun,” ujar Nidom.

Yang membuat Nidom risau adalah pada fenomena ADE, virus masuk ke sel inang bukan melalui reseptor ACE2 yang menjadi target vaksin, melainkan melalui makrofag—satu dari dua jenis sel darah putih. Setelah merusak makrofag, virus kemudian masuk ke organ lainnya. Ketika vaksinasi dilakukan, antibodi yang ditimbulkan vaksin tidak mampu menetralkan virus sehingga virus yang menginfeksi berikutnya lebih ganas. Artinya, adanya motif ADE bisa membuat virus menjadi lebih ganas. “Saya khawatir motif ADE itu,” tuturnya sembari menambahkan, ADE belum ditemukan pada Covid-19, tapi ada pada MERS, demam berdarah dengue, zika, dan HIV.

Manajer Senior Integrasi Riset dan Pengembangan PT Bio Farma Neni Nuraeny mengatakan, pemodelan molekul mengenai mutasi D614G dan motif ADE oleh tim Nidom itu masih memerlukan validasi, baik melalui in vitro (dalam tabung) maupun in vivo (terhadap organisme). Mutasi D614G dihipotesiskan lebih terkait dengan patogenesitas—proses perkembangan patogen—virus. Dalam hal ini mutasi itu memudahkan masuknya virus ke reseptor sel di tubuh kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut publikasi terbaru Nature Microbiology pada Oktober 2020, Neni Nuraeny menambahkan, data klinis dari MERS, SARS, dan SARS-CoV-2 sejauh ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan peran ADE dalam patologi Covid-19. Karena itulah ia menilai kajian Nidom perlu dibuktikan dengan penelitian lanjutan soal apa dampak mutasi ini terhadap aspek klinis, beratnya penyakit, ataupun tingkat penularannya. “Menurut saya dampaknya semua masih hipotetis,” kata Neni dalam keterangan tertulis kepada Tempo, 8 Oktober lalu.

Menurut Nidom, calon vaksin Sinovac yang akan dijual ke Indonesia itu memang sudah diuji coba di Cina. Tapi ia mengingatkan bahwa virusnya sudah berbeda dengan yang tersebar di Indonesia. “Apa salahnya menunda dulu kemudian menguji di Indonesia? (Strain mutasi) ini sudah beda 60 persen dari virus Wuhan. Dari situ bisa diketahui apakah vaksin ini menimbulkan ADE atau tidak,” katanya.

Pengujian ADE, Nidom melanjutkan, bisa dilakukan dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)—teknik biokimia untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Caranya, relawan yang sudah disuntik dengan calon vaksin antibodinya telah terbentuk. Antibodi itu lalu diuji dengan virus (SARS-CoV-2) yang ada di Indonesia. “Kalau tidak muncul motif ADE, ya alhamdulillah kita jalankan. Tapi, kalau muncul ADE, harus dipertimbangkan lagi apakah dibuat reformulasi atau ada kebijakan lain,” ucap Nidom.

Nidom mengingatkan perlunya kehati-hatian untuk memproduksi vaksin agar peristiwa di Filipina pada 2017 lalu tidak terulang. Saat itu ada pengembangan vaksin demam berdarah yang sudah lolos uji klinis tahap ketiga. Hasil vaksin itu lantas dipakai untuk program vaksinasi demam berdarah untuk anak-anak. “Ternyata anak-anak yang belum pernah terinfeksi oleh demam berdarah, ketika mendapatkan vaksin demam berdarah, malah berakibat fatal. Sampai ada korban meninggal,” tuturnya.

Ia juga merasa cemas soal perlombaan untuk membuat vaksin tapi mengabaikan bahaya ADE itu. “Kalau tidak diuji ADE tapi tetap dipaksakan, sudah tak bisa ditarik lagi. Bukan hanya vaksinnya telanjur dibeli, tapi sudah disuntikkan. Ini kan menyangkut nyawa manusia,” ucap Nidom. Dampak lainnya adalah pada kepercayaan publik. Kalau terjadi hal buruk akibat vaksin, misalnya ternyata motif ADE terjadi, orang akan antipati terhadap vaksin.

Bio Farma optimistis bahwa soal mutasi dan ADE ini sudah diantisipasi. Menurut Neni Nuraeny, rancangan vaksin biasanya menggunakan daerah antigen spike, yakni bisa full S, S1, atau S2 serta bisa juga hanya daerah reseptor binding domain. Mutasi D614G ini berada di luar daerah RBD. Antibodi pada RBD akan menahan masuknya virus ke reseptor ACE-2 pada sel manusia. “Dengan demikian rancangan vaksin masih tidak terganggu dengan mutasi ini,” katanya. Sejauh ini, dari uji klinis beberapa calon vaksin, belum terbukti adanya ADE.

Neni Nuraeny mengatakan, vaksin Sinovac memang dikembangkan dari virus SARS-CoV-2 yang belum mengalami mutasi D614G. Alasannya, semua vaksin yang dikembangkan oleh beberapa produsen vaksin di dunia didasari pada sequence yang diumumkan pertama kali oleh Cina pada Januari 2020, yaitu strain Wuhan-Hu 1. “Fenomena ADE untuk SARS-CoV-2 sudah diantisipasi dan diselidiki sejak percobaan praklinis pada hewan uji hingga dinyatakan aman dan baik,” ujarnya.

Ketua Tim Uji Klinis Vaksin Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil menambahkan, mutasi virus itu bisa saja terjadi. Semua virus akan bermutasi karena itu adalah caranya mempertahankan diri. “Virusnya itu kan baru ditemukan di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Sampai sekarang juga belum setahun sehingga mutasinya enggak begitu besar. Obatnya masih efektif lah, minimal di atas 80 persen,” tutur Kusnandi.

Kusnandi menilai mutasi virus yang baru berusia setahun itu belum mengubah bentuk virus secara drastis. “Kalau diumpamakan mobil, pada waktu awalnya sedan ya (setelah mutasi) masih sedan, belum jadi truk. Mudah-mudahan masih ter-cover sama vaksin yang baru,” ucapnya. Tapi setelah beberapa lama vaksin ini mungkin sudah tidak cocok lagi. “Kayak influenza itu kan vaksinnya tiap tahun ganti.” Saat ditanya soal kemungkinan Covid-19 bisa seperti virus influenza, dia mengatakan, “Saya masih meneliti itu.”

Dari pengalamannya selama ini, Kusnandi menambahkan, dalam berapa tahun virus memang sudah berubah bentuk. Tentu hal ini bergantung pada jenis virusnya. Ia mencontohkan virus polio. Meski berubah, vaksinnya bisa saja tetap sama. “Sampai sekarang vaksin polio yang dikirim ke seluruh dunia itu dari Indonesia, 70 persen kiriman dari Bio Farma. Sampai sekarang, walau virusnya berubah, vaksinnya masih tetap digunakan sudah beberapa puluh tahun,” ujarnya. Ia menambahkan, vaksin difteri, tetanus, dan pertusis yang dipakai di puskesmas juga tidak berubah.

ABDUL MANAN, ANWAR SISWADI (BANDUNG) 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus