Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kontroversi pelepasan nyamuk berbakteri Wolbachia di Denpasar dan Buleleng membuat Adi Utarini, peneliti Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada, menjadi juru penerang dadakan.
Adi Utarini menjadi penyelidik utama pada World Mosquito Program Yogyakarta yang mengimplementasikan penelitian pelepasan nyamuk ber-Wolbachia untuk mengendalikan demam berdarah dengue di Yogyakarta sejak 2011 hingga 2022.
Bakteri Wolbachia bukan hasil rekayasa genetika, melainkan bakteri alami yang biasa terdapat pada 60 persen jenis serangga. Bakteri ini bisa mengeblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti.
JURU penerang menjadi pekerjaan tambahan Adi Utarini, 58 tahun, sejak merebaknya kontroversi pelepasan nyamuk untuk penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) di Bali. Penolakan terhadap nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia pipientis itu terjadi karena dianggap sebagai penelitian asing yang mengusik kedaulatan Indonesia. Informasi tentang nyamuk Wolbachia pun kian simpang-siur. Ada yang menyebutnya transgenik atau nyamuk bionik yang menyisipkan chip, yang lain menuduhnya menyebarkan penyakit ensefalitis Jepang dan kaki gajah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adi Utarini, peneliti Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pun harus meluruskan misinformasi itu. “Wolbachia bukan hasil rekayasa genetika, melainkan bakteri alami yang ada di tubuh 60 persen jenis serangga di sekitar kita,” katanya dalam pengarahan media secara online, Senin, 20 November lalu. “Wolbachia di nyamuk Aedes aegypti tidak bisa pindah ke nyamuk jenis lain, maupun manusia,” tutur penyelidik utama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ketua Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan UGM itu, berdasarkan serangkaian riset sebelum melakukan uji coba pelepasan secara acak nyamuk ber-Wolbachia di Kota Gudeg, timnya menemukan bakteri itu pada lebih dari 50 persen serangga di Yogyakarta. Wolbachia ada di lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu, tapi tidak ada di Aedes aegypti. “Nyamuk Aedes aegypti yang dimasukkan Wolbachia tak berbeda dengan Aedes aegypti liar,” ujar peneliti yang akrab disapa Uut itu.
Adi juga membuktikan bahwa Wolbachia tak bisa berpindah antar-spesies nyamuk dan dari nyamuk ke manusia. “Kami meneliti Aedes aegypti yang hidup berdampingan dengan nyamuk Culex, ternyata Wolbachia-nya tidak berpindah,” ucapnya. “Begitu pula berdasarkan pemeriksaan terhadap manusia, tak ditemukan antibodi Wolbachia,” ujar perempuan peneliti yang masuk daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia 2021 versi majalah Time tersebut. Sedangkan, “Vektor ensefalitis Jepang itu nyamuk Culex, bukan Aedes aegypti.”
Menuduh masyarakat Bali sebagai kelinci percobaan, menurut Adi, adalah salah besar. Sebab, uji coba telah digelar di Yogyakarta 12 tahun lalu. Dia menerangkan, riset kolaborasi UGM dengan WMP di Monash University, Australia, dan didanai Yayasan Tahija itu dilakukan dalam empat tahap. Fase pertama (2011-2012) berfokus pada studi keamanan dan kelayakan teknologi ini di laboratorium. Pada fase kedua (2013-2015), nyamuk mulai dilepaskan dalam skala kecil. “Di dua dusun di Bantul dan dua dusun di Sleman,” tuturnya.
Selanjutnya, pada fase ketiga (2016-2020), dilakukan analisis risiko. “Yang melakukan adalah tim independen yang terdiri atas 20 pakar dari berbagai bidang yang dibentuk oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi,” kata Adi. “Hasilnya, risiko dari teknologi Wolbachia ini dapat diabaikan sehingga kami berani melakukan pelepasan skala besar.” Adapun pada fase keempat (2021-2022) dilakukan studi model implementasi.
Ketua tim analisis risiko pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Yogyakarta, Damayanti Buchori, membenarkan perihal hasil penilaian risiko yang dapat diabaikan itu. Dia mengatakan tim ahli inti terdiri atas lima orang, yakni ia sendiri; Upik Kesumawati Hadi dari Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat; Hari Kusnanto Joseph dari UGM; Aryanti dari Universitas Airlangga, Surabaya; dan Irawan Yusuf dari Universitas Hasanuddin, Makassar. “Ada tambahan 20 ilmuwan dari berbagai bidang,” tutur Damayanti saat ditemui di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Senin, 20 November lalu.
Tim ahli inti, Damayanti menambahkan, mendapatkan pelatihan metode Bayesian Belief Network (BBN) dari Commonwealth Scientific Industrial Research Organization (CSIRO), Australia. Dalam laporan bertajuk “Risk Assessment on the Release of Wolbachia-Infected Aedes aegypti in Yogyakarta, Indonesia”, yang dipublikasikan di jurnal Insects pada 12 Oktober 2022, tim menyatakan memakai metode BBN itu. “Teorema Bayesian menunjukkan bahwa kejadian di masa depan dapat diprediksi menggunakan kejadian yang telah terjadi,” tulis Damayanti dalam laporannya.
Menurut Damayanti, saat berdiskusi, tim ahli dibagi menjadi empat kelompok, yakni grup dampak ekologi, efikasi manajemen nyamuk, standar kesehatan publik, serta dampak ekonomi dan sosial-budaya. Mereka mengidentifikasi 56 bahaya yang bakal terjadi pada 30 tahun setelah 2016. Misalnya, apakah Wolbachia berevolusi menjadi bakteri yang membahayakan manusia? “Untuk menjawabnya, kami melakukan studi literatur atas publikasi-publikasi dari seluruh dunia. Selain itu, ada penilaian ahli dari Ary A. Hoffmann dan Scott O’Neill,” ucapnya.
Damayanti mengaku sudah dikontak Yayasan Tahija pada 2010. “Mahasiswa S-2 yang bekerja di Yayasan Tahija mengikuti kuliah saya mengenai Wolbachia. Dia berkesimpulan, saya ahli mengenai bakteri itu sehingga saya diminta memberikan pendapat,” ujar Damayanti. “Pada waktu itu tim peneliti Monash University datang. Saya mengkritik mereka yang menggunakan Wolbachia dan nyamuk dari Australia. Rupanya, pertanyaan itu dibawa pulang dan mereka melakukan pengujian,” katanya.
“Mereka menguji Wolbachia Australia dan Indonesia. Berdasarkan pengurutan genom dan sebagainya, diketahui Wolbachia Indonesia sama dengan Wolbachia Australia. Bahkan, diduga Wolbachia Australia datang dari Indonesia,” tutur Damayanti. Adapun untuk nyamuk Aedes aegypti, ucap dia, peneliti melakukan persilangan balik (backcrossing) selama lima generasi. Persilangan balik ini dilakukan untuk menggantikan latar belakang genetik Australia dengan latar belakang genetik Indonesia.
Riris Andono Ahmad, peneliti pendamping dalam WMP Yogyakarta, mengatakan, pada 2011, mereka mengimpor telur nyamuk dari WMP Australia yang waktu itu bernama Eliminate Dengue Program. “Telur ditetaskan oleh peneliti UGM dan menjadi nyamuk betina ber-Wolbachia yang kemudian dikawinsilangkan dengan nyamuk jantan lokal hingga lima generasi secara turun-temurun,” ucap Riris saat dihubungi pada Selasa, 21 November lalu. “Generasi keenam itu sudah menjadi nyamuk Indonesia.”
Menurut Riris, peneliti UGM bisa saja mengambil Wolbachia dari lalat buah di Indonesia atau memasukkan Wolbachia ke tubuh nyamuk Aedes aegypti Indonesia. “Tapi itu memerlukan investasi yang besar dan berisiko dengan tingkat kegagalan yang tinggi,” ujarnya. Menurut Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM ini, bagian paling sulit dari teknologi ini adalah memasukkan bakteri Wolbachia ke telur nyamuk menggunakan teknik mikroinjeksi embrionik.
Riris menjelaskan, bakteri Wolbachia digunakan untuk pengendalian DBD karena sifatnya yang bisa mengeblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Karena virus dengue tak bisa bereplikasi, nyamuk tidak memiliki kemampuan menularkan mikroorganisme penyebab DBD itu ketika menggigit manusia. “Bakteri ini tidak mengubah materi genetik dari inangnya sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai hasil rekayasa genetika.”
Ihwal pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Denpasar dan Buleleng, Bali, kata Riris, tidak melibatkan UGM. Dia mengungkapkan, kerja sama antara UGM dan WMP Australia telah berakhir Maret lalu. Adapun di Bali, WMP global bekerja sama dengan Save The Children Indonesia, Yayasan Kerti Praja, dan Pemerintah Provinsi Bali dengan dukungan dana dari pemerintah Australia dan Gillespie Family Foundation.
Kementerian Kesehatan telah mengevaluasi hasil studi WMP Yogyakarta. Kementerian memutuskan bahwa cukup bukti untuk meningkatkan metode ini guna melindungi jutaan orang di Indonesia setelah penyebaran nyamuk di Yogyakarta serta Sleman dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu terbukti efektif menurunkan jumlah kasus DBD hingga 77 persen. Pemerintah mau mereplikasi metode ini di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang. “Peneliti UGM terlibat dalam asistensi program Kementerian itu,” tutur Riris.
Riris menjelaskan, “Bila hendak mereplikasi riset itu di sejumlah tempat, UGM mesti memberi tahu WMP global dan Monash University untuk memenuhi prinsip etik atau kepatutan.” Ihwal hak paten teknologi nyamuk ber-Wolbachia, Riris mengimbuhkan, sebagai sebuah ilmu, temuan itu berasal dari peneliti Australia. Namun organisme di alam tidak bisa dipatenkan. UGM dan WMP global terlibat dalam publikasi riset secara bersama-sama. “Risetnya bukan dalam area hak paten, tapi hak kekayaan intelektual dalam publikasi ilmiah yang kami miliki bersama.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Simpang-Siur Wolbachia"