Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Apa Saja Bahaya Penyebaran Nyamuk Wolbachia

Masyarakat Bali menolak nyamuk Wolbachia untuk mencegah demam berdarah. Penyebaran cacar monyet tidak berkembang.

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARUSNYA Pemerintah Provinsi Bali menyebarkan sekitar 200 juta telur nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia pada Senin, 13 November lalu. Program yang sudah mendapat restu Kementerian Kesehatan ini bertujuan menekan angka kasus demam berdarah dengue (DBD) akibat gigitan nyamuk Aedes aegypti. Rencana itu ditunda karena masyarakat Bali menolaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain di Bali, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, nyamuk Wolbachia akan disebar di lima kota, yaitu Bontang, Kupang, Bandung, Semarang, dan Jakarta Barat. Di lima daerah itu, tidak ada penolakan masyarakat. "Saya lihat di Bali memang koordinasi di lapangan kurang,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Maxi, rencana pelepasan nyamuk Wolbachia ini melanjutkan keberhasilan program serupa di Yogyakarta. Nyamuk Wolbachia hasil penelitian Universitas Gadjah Mada dalam program itu bisa menurunkan angka kasus demam berdarah dengue hingga 70 persen. "Angka kematian sangat rendah,” ucap Maxi kepada Abdul Manan dan Iwan Kurniawan dari Tempo.

Pada musim pancaroba seperti sekarang, Maxi melanjutkan, ada tren kenaikan jumlah kasus dan kematian akibat DBD. Kementerian Kesehatan mencatat pada 2021 ada 73.518 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 705. Pada tahun berikutnya, angka itu naik menjadi 131.265 kasus dengan 1.183 orang meninggal. Pada tahun ini, hingga Oktober lalu, ada 68.996 kasus dengan 498 orang meninggal.

Wawancara dengan Maxi dilakukan dua kali pada 3 dan 24 November lalu. Selain menerangkan nyamuk Wolbachia, ia menjelaskan infeksi cacar monyet (monkeypox) yang sampai Jumat, 24 November lalu, tercatat ada 59 kasus, naik dari 33 kasus pada awal November. Ada satu pasien dengan komorbid yang meninggal.

Penyebaran nyamuk Wolbachia ini satu-satunya cara mencegah demam berdarah?

Ada beberapa penanganan DBD, dari pemberantasan sarang nyamuk, pemantauan jentik, sampai koordinasi lintas sektor dan inovasi. Inovasi ada dua, memakai Wolbachia dan vaksinasi. Di Kota Yogyakarta, Wolbachia sudah dipakai lebih dari delapan tahun. Hasilnya sangat bagus, sangat signifikan. Jumlah kasus DBD turun 60-70 persen. Angka kematiannya sangat rendah. Dari situ, kami berkoordinasi dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO). WHO memberikan rekomendasi hingga pada 2020 rencana aksi nasional DBD masuk strategi nasional. Menteri Kesehatan datang langsung ke Yogya melihat cara pembuatan telurnya. Sesudah itu, kami memetakan daerah di luar Yogya yang waktu itu tingkat DBD-nya sangat tinggi. Kami dapat lima kota: Semarang, Bontang, Kupang, Jakarta Barat, dan Bandung.

Bagaimana akhirnya diterapkan di Bali?

Petugas menunjukkan sampel nyamuk aedes aegypti yang sudah disuntikkan bakteri Wolbachia di Denpasar, Bali, 6 Juni 2023. Antara/Nyoman Hendra Wibowo

Ada tawaran bantuan dari World Mosquito Program (WMP). Ia bekerja sama dengan Kedutaan Australia. Mereka minta Bali.

Kenapa memilih Bali?

Karena kami sudah di lima kota. Mereka pilih Bali. Waktu itu Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan memberikan rekomendasi berdasarkan persetujuan daerah. Kami selalu melakukannya dengan pemerintah daerah untuk mempersiapkan masyarakatnya. Mereka bekerja sama dengan WMP dan menunjuk salah satu pelaksana di sana.

Persetujuan dari pemerintah daerah Bali sudah ada?

Sudah. Ketika WMP mengganti rekanan, muncul lembaga swadaya masyarakat yang menolak. Silakan saja kalau ada basis ilmiahnya, karena nyamuk Wolbachia sudah dipakai di negara-negara lain.

Negara mana saja?

Singapura, tapi dengan metode lain. Nyamuk yang dilepas jantan, di sini betina. Brasil dan India juga. Malah kedua negara ini berbeda dalam cara menetaskan nyamuknya.

Di Yogya berhasil, seperti apa di lima kota itu?

Belum. Kami berharap populasi nyamuk di wilayah yang kami lepas itu sudah berganti dengan populasi yang mengandung Wolbachia 80 persen. Nyamuknya tetap sama, Aedes aegypti. Cuma, sudah ada bakteri Wolbachia. Bakteri ini dari nyamuk lalat. Kalau sudah di atas 80 persen, akan ada survei melihat sampel. Kalau sudah 80 persen, sudah pasti akan mempengaruhi tingkat kejadian seperti di Yogya. Jadi perkiraannya enam bulan baru bisa dilihat hasilnya.

Masyarakat di sana tidak menolak?

Tidak ada karena kami mempersiapkannya. Memang di Bali Kementerian Kesehatan kurang mendapat laporan kemajuan. Tapi metode yang dipakai sama.

Penolakan ini terjadi karena kurang sosialisasi atau ada informasi salah tentang Wolbachia?

Kalau saya lihat, koordinasi di lapangan kurang. Kurang melibatkan pemerintah sampai di kecamatan, kelurahan, kepala desa, sampai kader. Di lima kota lain kami mempersiapkan masyarakat cukup panjang.

Berapa lama?

Paling sedikit empat bulan.

Di Bali berapa lama?

Kurang saya pantau, karena ini pelaksananya WMP dengan mitranya. Ke depan akan kami ambil alih. Kementerian Kesehatan nanti yang bertanggung jawab penuh. Saya melihat koordinasinya kurang.

Kapan di Bali akan dilanjutkan?

Saya perkirakan tahun depan.

Ada kekhawatiran mengenai efek sampingnya karena ada yang menuduh terdapat unsur rekayasa genetik?

Tidak ada rekayasa genetik karena bakterinya masih sama, nyamuknya masih sama.

Soal cacar monyet yang juga sedang mewabah, menurut Kementerian Kesehatan ada satu orang yang meninggal....

Kami belum memasukkan itu sebagai kasus kematian cacar monyet. Pasien ini memang terkena cacar monyet, tapi meninggal bukan karena itu. Cacar monyetnya ringan. Kami baru mengadakan rapat dengan dokter yang merawatnya. Pasien ini masuk rumah sakit dengan keluhan di bagian perut, tidak buang air besar. Ternyata ususnya tersumbat. Yang memberatkan itu dia juga terkena HIV/AIDS. Jadi meninggal karena itu, bukan cacar monyet. Kalau pasien cacar monyet meninggal, seperti kebanyakan di Afrika, itu karena infeksi otak.

Berapa jumlah kasus infeksi saat ini?

Ada 59 kasus. Itu hampir semua LSL, lelaki suka lelaki.

Bagaimana cacar monyet masuk ke Indonesia?

Tahun lalu ada pasien dengan riwayat perjalanan ke luar negeri, ke Belanda, lalu singgah di Singapura. Waktu itu di Belanda dan Singapura ada kasus ini, tapi enggak berkembang. Di sini juga enggak berkembang karena waktu itu masih ada Covid-19. Jadi pasien ini mungkin enggak aktif melakukan hubungan seks.

Akhirnya dia sembuh?

Dia terkonfirmasi positif. Dia sembuh sendiri. Enggak perlu dibawa ke rumah sakit. Cuma menjalani isolasi di rumah karena gejalanya ringan.

Dari mana penularan kasus pertama cacar monyet itu?

Dari Belanda. Karena masa inkubasi seminggu, saat dia pulang dari sana. Dia mengaku ada kontak di sana. Ada pasangan kontak.

Kapan kasus berikutnya ditemukan?

Kasus pertama Oktober 2022. Begitu kasusnya sudah lebih dari 10 pasien, mesti ada penyelidikan epidemiologi. Ternyata ada satu yang sudah kena dari Agustus tapi tidak terekspos. Dia sudah sembuh. Tapi dia tidak mau diperiksa. Dari hasil wawancara, pasien pertama yang baru dari Belanda dan pasien Agustus itu melakukan kontak seksual.

Penyebarannya dari kontak seksual?

Iya. Hampir semua.

Anda menyebut jumlah kasus sebenarnya sekitar 3.000. Bagaimana kalkulasinya?

Kami kumpulkan para epidemiolog. Ada profesor dari Universitas Indonesia menyampaikan, kalau dilihat dari tingkat serangan, di Inggris 0,21 persen. Kemudian dihitung dengan jumlah populasi LSL. Di data kami dan teman-teman komunitas yang bergerak di bidang itu, ada 761 ribu lebih di seluruh Indonesia. Kalau tingkat serangannya 0,21 persen, lalu dikalikan dengan 761 ribu, kita dapat angka 3.100.

Karakteristik korbannya seperti apa?

Umumnya berusia muda. Paling banyak 20-26 tahun. Semua laki-laki.

Dari cara penularan, ada kesamaan dengan virus lain?

Yang paling utama kontak seksual. Di luar itu, bisa karena kontak lama. Kalau lawan kontaknya ada lesi di kulit, bisa saja tertular. Tapi paling banyak kontak seksual.

Seperti apa penanganannya?

Rata-rata mereka datang ke fasilitas kesehatan. Hampir semua dirawat di rumah sakit. Ada beberapa yang melakukan isolasi mandiri.

Berapa lama sembuhnya?

Ini virus, semestinya sembuh sendiri. Yang kami khawatirkan infeksinya. Kalau paling fatal, bisa terjadi infeksi di otak. Itu yang banyak mengakibatkan kematian. Jadi pasien diberi antibiotik, diperbaiki imunitasnya. Dan mereka juga rata-rata positif HIV. Jadi obat HIV mereka juga diteruskan.

Yang terinfeksi berapa lama bisa sembuh?

Paling cepat dua minggu. Karena lesi kulit itu.

Obat yang diberikan apa saja?

Obat suportif, berdasarkan gejala. Kalau panas, diberi obat panas. Ada luka, lesi kulit, diberi antibiotik. Itu saja. Kalau dia merasa gejala awalnya sakit tulang, sakit otot, obatnya antinyeri.

Gejalanya mirip Covid-19?

Ya, awalnya flu, rasa panas, mual, muntah. Sebab, ini virus.

Di negara lain seperti apa penularan cacar monyet ini?

Di catatan kami, sudah ada 115 negara. Sampai akhir September, ada 91.123 kasus. Yang paling banyak di Amerika Serikat, Brasil, dan Spanyol. Di Asia paling banyak di Cina, Thailand, dan Jepang.


Maxi Rein Rondonuwu

Tempat dan tanggal lahir:

  • Mundung, Sulawesi Utara, 20 Mei 1964

Pendidikan

  • S-1 Dokter Umum Universitas Sam Ratulangi, 1990
  • S-2 Magister Administrasi Rumah Sakit DHSM Australia, 1994
  • S-2 Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Sam Ratulangi, 2013
  • S-3 Pendidikan Doktoral Entomologi Universitas Sam Ratulangi, 2019

Karier

  • Wakil Direktur Medis dan Pendidikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Dr R.D. Kandou, Manado, 2003-2005
  • Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUP Prof Dr R.D. Kandou, 2005-2007
  • Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, 2007-2009
  • Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, 2009-2013
  • Direktur Utama RSUP Prof Dr R.D. Kandou, 2013-2018
  • Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2018-2021
  • Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2020
  • Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, 2021
  • Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan, 2021-sekarang

Di negara-negara itu sudah ada pasien meninggal?

Ada dua clade (kelompok asal virus), Afrika Barat dan Afrika Timur. Yang paling berat clade Afrika Timur. Tingkat fatalitasnya 3-5 persen.

Bagaimana penilaian WHO?

Di awal tahun lalu WHO sempat menjadikannya public health emergency of international concern. Tapi pada Mei 2023 sudah dicabut.

Statusnya sekarang?

Sama seperti Covid-19.

Dari data Kementerian Kesehatan, apakah cacar monyet masuk kategori perlu diwaspadai?

Semua penyakit menular harus diwaspadai dan dicegah supaya tidak berkembang. Upaya yang kami lakukan, mengedukasi kelompok-kelompok tertentu dan masyarakat umum. Termasuk upaya preventif paling murah, yaitu vaksinasi. Vaksinasi sudah jalan. Begitu tahun lalu enggak berkembang, kami lakukan vaksinasi. Kebetulan kami punya 1.000 dosis.

Siapa sasaran utama vaksinasi?

Kelompok kontak erat pasien. Sebenarnya semua kelompok punya risiko, termasuk penderita HIV, atau immunocompromised, yang memiliki masalah sistem kekebalan. Tapi vaksin kami terbatas. Kami sudah mengajukan permintaan tambahan. Kalau melihat kemungkinan ada sekitar 3.000 kasus itu, dikali dua dosis, vaksin minimal 7.000 dosis. Itu sudah dipesan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sebanyak 4.500 dosis akan ada bantuan dari ASEAN.

Vaksin untuk cacar monyet hanya Jynneos atau ada yang lain?

Hanya itu. Kita yang lahir sebelum 1980-an sudah mendapat vaksin cacar (smallpox). Semestinya generasi itu sudah punya kekebalan. Cacar kita sudah dieradikasi. Sudah enggak ada lagi. Tapi ini familinya. Famili virus smallpox.

Artinya, kalau dulu pernah mendapat vaksin cacar, kecil kemungkinan kena cacar monyet?

Lebih kecil karena dia punya daya tahan. Tapi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menganjurkan bagi kelompok berisiko tinggi mendapat satu dosis vaksin lagi.

Apa yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk mengatasi kasus cacar monyet ini?

Pertama, perkuat surveilans. Setiap kasus diperlakukan seperti Covid-19, yaitu ada penyelidikan epidemiologi, penelusuran (tracing), pencarian kontak erat. Kalau dia positif, disuruh menjalani isolasi agar tidak menyebar. Kemudian tentu perawatan (treatment). Kami persiapkan obat-obatannya, fasilitas kesehatan, kami beri tahu standar pengobatan, tata laksananya.

Bagaimana tren kasus cacar monyet sekarang?

Satu-dua bulan ini rata-rata dua-tiga kasus per hari. Di daerah belum ada. Jadi tidak akan berkembang banyak.

Apa yang harus dilakukan masyarakat untuk menghadapinya?

Kalau ada orang yang kena, minta mereka ke fasilitas kesehatan. Tentu jangan berkontak dengan mereka. Kalau ada yang sakit, datang ke fasilitas kesehatan. Jangan melakukan kontak atau berhubungan seksual supaya tidak tertular.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah "Tidak Ada Rekayasa Genetik Nyamuk Wolbachia"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus