Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Maskapai Singapore Airlines menyatakan bahwa puluhan penumpang cedera dan satu orang meninggal dunia di dalam pesawat Boeing 777 yang mengalami turbulensi di dekat Myanmar pada Selasa, 21 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antara mengutip laporan Sputnik, menyebutkan bahwa penerbangan tersebut sedang dalam perjalanan dari London ke Singapura, dan tiba-tiba mengalami turbulensi ekstrem di Cekungan Irrawaddy. Menyusul insiden itu, pilot terpaksa melakukan pendaratan darurat di Bangkok, Thailand, pada Selasa pagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesawat tersebut mengangkut 221 penumpang dan 18 awak, kata maspakai tersebut, seraya menambahkan bahwa sebagian besar penumpang berasal dari Australia dan Inggris.
Diketahui, turbulensi menjadi salah satu fenomena cuaca yang sering terjadi dalam dunia penerbangan. Turbulensi penyebab utama dalam banyak kasus flight-injuries karena menyebabkan berbagai kerugian dalam penerbangan, seperti terlukanya penumpang selama penerbangan, kerusakan pesawat, hingga terjadinya kecelakaan fatal pada pesawat terbang.
Umumnya peristiwa turbulensi terjadi secara tiba-tiba dan dapat terjadi pada semua fase kegiatan penerbangan, seperti pada fase menaikkan ketinggian awal (intial climbing), fase jelajah pesawat (cruising), maupun pada fase penurunan ketinggian menuju pendekatan (descending).
Penyebab Turbulensi
Dikutip dari publikasi Mengenal Fenomena Turbulensi dalam Dunia Penerbangan oleh Diana Hikmah, turbulensi kerap dirasakan penumpang pesawat tebang ketika kondisi cuaca buruk, namun ternyata turbulensi juga dapat terjadi pada saat cuaca cerah. Sehingga dapat terjadi kapan dan di mana saja.
Arus konveksi menyebabkan ketidakstabilan yang dialami oleh pilot yang terbang di ketinggian rendah dalam cuaca hangat. Pada penerbangan rendah di berbagai permukaan, pilot akan menghadapi aliran udara ke atas di atas trotoar atau tempat tandus dan aliran udara ke bawah di atas tumbuhan dan air.
Biasanya, hal ini dapat dihindari dengan penerbangan di ketinggian yang lebih tinggi. Ketika arus konveksi yang lebih besar membentuk awan kumulus, pilot akan selalu menemukan udara lancar di atas permukaan awan.
Sementara itu, turbulensi yang sering terjadi saat cuaca buruk merupakan jenis turbulensi konvektif. Umumnya turbulensi konvektif terjadi saat awan Cumulonimbus (Cb) dalam fase matang, di mana arus udara naik (updraft) dan arus turunnya (downdraft) terjadi secara bersamaan. Turbulensi terkuat pada awan Cb ditemukan di dekat area hujan lebat.
Bahaya Turbulensi
Dikutip dari laman Weather.gov, turbulensi, yang terkait dengan badai petir, bisa sangat berbahaya, berpotensi menyebabkan tekanan berlebih pada pesawat atau hilangnya kendali. Arus vertikal badai petir mungkin cukup kuat untuk menggeser pesawat ke atas atau ke bawah secara vertikal sebanyak 610 meter hingga 1.829 meter.
Turbulensi terbesar terjadi di sekitar aliran udara naik dan turun yang berdekatan. Beban hembusan angin bisa cukup parah untuk menghentikan pesawat yang terbang pada kecepatan udara kasar (manuver) atau melumpuhkannya pada kecepatan jelajah yang direncanakan. Turbulensi maksimum biasanya terjadi di dekat tingkat tengah badai, antara 3.657 meter dan 6.096 dan paling parah di awan dengan perkembangan vertikal terbesar.
Turbulensi hebat tidak hanya terjadi di dalam awan. Badai diperkirakan terjadi hingga 32,19 kilometer dari badai petir hebat dan akan lebih besar melawan arah angin daripada melawan angin. Turbulensi hebat dan angin kencang juga mungkin terjadi saat terjadi badai petir. Ledakan mikro bisa sangat berbahaya karena adanya pergeseran angin yang parah.