Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pramoedya Ananta Toer masuk dalam kategori Sastrawan Angkatan 45, satu angkatan dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Idrus. Angkatan ini memiliki karya dengan corak sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika mengenal salah satu buku Pram, sapaan akrab Pramoedya Ananta Tour yaitu Bumi Manusia, maka Anda akan selangka lebih maju untuk membuka rasa penasaran tentang karya-karyanya yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pram sendiri merupakan sastrawan asal Blora, yang memiliki banyak sekali karya buku dan novel. Sebelum meninggal di usia 81 tahun pada 2006 lalu, ia meninggalkan 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.
Berikut buku Pram yang harus anda ketahui, yang bercerita tentang sejarah perempuan Indonesia di masa penjajahan Jepang-Belanda. Tak sedikit, buku-buku Pram dijegal oleh Kejasaan Agung pada 1981 hingga dibakar oleh Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965.
1. Gadis Pantai
Gadis Pantai merupakan novel karya Pramoedya Ananta Toer pada 1962 yang dikenal dengan nama The Girl from the Coast. Buku ini menceritakan kisah pernikahan dini dan kritik terhadap situasi sosial yang didasari pada kisah pernikahan neneknya sendiri.
Dikutip dari Gramedia, novel ini menceritakan tentang seorang gadis pantai yang masih berumur empat belas tahun. Sehari-harinya gadis tersebut bekerja menumbuk udang, dan membenahi jala untuk mencari ikan di laut.
Suatu waktu, ada seorang utusan menemui ayah gadis pantai karena diutus untuk meminta anaknya dinikahkan dengan Bendoro. Ayah gadis pantai menyetujuinya, dan dinikahkan dengan keris karena Bendoro berhalangan hadir. Hari berikutnya, gadis pantai diajak ke istana di daerah Jepara dengan pakaian kebaya dan kalung tipis menghiasi lehernya. Gadis pantai tersebut terlihat sangat anggun.
Novel ini memberikan gambaran mengenai situasi feodalisme di daerah Jawa. Feodalisme sendiri diartikan sebagai struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik (sosial politik) yang dijalankan di kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra.
2. Hikayat Siti Mariah
Tak hanya Gadis Pantai, ada juga Hikayat Siti Mariah yang juga bisa Anda temukan di Perpustakaan Nasional atau Ipusnas. Buku karya Pramoedya Ananta Toer ini juga bisa dibaca secara gratis di website dan juga aplikasinya.
Buku Hikayat Siti Mariah ini menceritakan kondisi Indonesia di masa pra-kebangkitan nasional atau sekitar tahun 1830-1890. Buku ini menceritakan tentang romansa dan pertikaian yang diceritakan dalam pabrik gula dan tebu yang selalu menjadi objek cerita dalam setiap kisah-kisah pra kebangkitan nasional, juga enggambarkan kejamnya kolonialisme.
Dikutip dari Perpustakan Nasional atau Ipusnas, novel Hikayat Siti Mariah yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, merupakan satu dari beberapa dokumen klasik yang penting pra-Indonesia dan merekam secara baik sepak terjang sejarah tanam paksa di teritori kolonial india pada pertengahan abad ke-19 hingga menjelang peralihan abad ke-20, khususnya masyarakat gula di Jawa Tengah (Sukoraja).
Namun tidak semuanya bercerita tentang Belanda totok itu jahat, ada juga diceritakan dengan perilaku baik seperti halnya Multatuli yang mengkritik Pemerintahan Hindia Belanda dengan sistem tanam paksanya untuk menggunakan politik balas budi.
Kisah Siti Mariah yang juga bernama Urip, Mardi, Jongos Salimin, Babu Salimah, Nyonya Janda Esobier menjadi fokus utama cerita yang berlika-liku dengan sebagian serba kebetulan adanya dibuat oleh Haji Mukti yang dalam buku ini juga menjadi salah satu tokoh.
3. Larasati
Kemudian, setelah Gadis Pantai dan Hikayat Siti Mariah, ada juga buku Larasati, yang bisa Anda dapatkan di Perpustakaan Nasional atau Ipusnas. Anda juga bisa meminjam buku yang berjumlah 180 halaman ini secara gratis.
Buku ini bercerita tentang sebuah gejolak revolusi Indonesia pasca proklamasi dari sudut padang perempuan biasa bernama Larasati. Ia adalah seorang aktris panggung dan bintang film. Awalnya ia seorang yang apatis terhadap republiken dan revolusi karena baginya hidup adalah uang. Namun di dalam perjalanan hidupnya ia menyaksikan kesatriaan kaum muda merebut hak merdeka dari tangan-tangan orang asing.
Dikutip dari Goodreads, buku ini bercerita tentang pemuda-pemuda Indonesia yang rela membaktikan jiwa raga demi proklamasi kemerdekaan. Kisah-kisah tentang para pahlawan sejati dan pahlawan munafik, pertarungan di daerah republik dan daerah pendudukan Belanda dengan wanita sebagai tokoh utama – bintang film tenar yang dengan caranya sendiri memberikan diri dan segalanya untuk kemenangan revolusi.
Revolusi Semasa yang menghidupkan kembali sepenggal sejarah di tahun-tahun awal proklamasi kemerdekaan, sebuah potret jujur gaya Pramo Potretedya tentang kebesaran dan kekerdilan, kekuatan dan kelemahan revolusi.
4. Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer
Terakhir, buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer yang diterbitkan pada Maret 2001 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku dengan 250 halaman ini masih bisa dibaca dan dibeli dengan harga kisaran Rp 60.000 saja.
Buku ini merupakan catatan Pramoedya Ananta Toer tentang derita yang dialami oleh gadis-gadis Indonesia yang menjadi korban kekejaman tentara Jepang pada masa Perang Dunia II.
Dikutip dari Gramedia, pada 1943, Pemerintahan Pendudukan Balatentara Dai Nippon di Jawa mengeluarkan perintah kepada para remaja perempuan untuk melanjutkan sekolah di Tokyo dan Shonanto. Perintah ini tidak pernah diumumkan secara resmi, juga tidak masuk dalam Lembaran Negara atau Osamu Serei.
Jepang sengaja melakukannya untuk menghilangkan jejak. Dan para perawan remaja yang telah diberangkatkan meninggalkan kampung halaman dan keluarga, menempuh perjalanan yang berbahaya.
Nyatanya bukan untuk disekolahkan, mereka dipaksa untuk memenuhi impian seks serdadu Jepang. Kajian kiwari menyebut mereka sebagai jugun ianfu atau comfort woman. Dan kenyataannya, para Jugun Ianfu bukan hanya sekadar perempuan penghibur, tetapi juga budak seks secara brutal, terencana, dan kita bisa menganggapnya sebagai kejahatan perang.
“ ... kalian para perawan, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu. Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…” tulis kutipan Pramoedya Ananta Toer dalam buku tersebut.