Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 30 April 2006, 18 tahun telah berlalu sejak kepergian Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan di Indonesia. Dikenal dengan sapaan Pram, karyanya yang monumental dan kritis terhadap pemerintah Orde Baru telah menjadikannya ikon perlawanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pramoedya Ananta Toer Lahirkan Lebih dari 50 Karya
Pramoedya Ananta Toer, atau yang lebih dikenal dengan nama Pram, adalah salah satu sastrawan legendaris Indonesia yang lahir di Blora pada tanggal 6 Februari 1925. Ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari buku Pramoedya Ananta Toer: biografi singkat (2019) Pram menempuh pendidikan di berbagai sekolah, termasuk Instituut Boedi Oetomo di Blora, Sekolah Teknik Radio Surabaya, Taman Siswa, Sekolah Stenografi, dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta. Kariernya sebagai penulis dimulai pada masa penjajahan Jepang, di mana beliau bekerja sebagai wartawan di Kantor Berita Domei.
Pada 1958, Pram bergabung dengan Lekra, organisasi kesenian yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan ini menjadi awal polemiknya dengan pemerintah dan seniman lain. Pada masa Orde Baru, Pram ditangkap dan dipenjara selama 10 tahun di Pulau Buru.
Meskipun dipenjara, Pram tetap aktif menulis. Karya-karyanya yang terkenal antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik, Arok Dedes, dan Larasati. Beberapa karyanya diterjemahkan ke bahasa Belanda dan Inggris.
Pram dari penjara ke penjara
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan legendaris Indonesia, tak lepas dari kisah kelam masa penahanannya. Sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga era Orde Baru, Pram harus mendekam di balik jeruji besi di berbagai penjara.
Penjara Pertama: Salemba (1947 - 1949)
Penahanan pertama Pram terjadi pada masa penjajahan Belanda, tepatnya setelah Agresi Militer II Belanda pada 1947. Beliau ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Salemba karena dituduh terlibat dalam aksi perlawanan terhadap Belanda.
Penjara Kedua: Bukittinggi (1949 - 1951)
Setelah Agresi Militer Belanda II berhasil ditumpas, Pram dibebaskan dari Penjara Salemba. Namun, masa kebebasannya tak lama. Pada tahun 1949, beliau kembali ditangkap dan ditahan di Bukittinggi, Sumatera Barat, oleh pasukan tentara kolonial Belanda yang masih menduduki wilayah tersebut.
Penjara Ketiga: Glodok (1951 - 1952)
Seiring dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, Pram dipindahkan dari Bukittinggi ke Penjara Glodok di Jakarta. Di sini, beliau mendekam selama kurang dari setahun sebelum dibebaskan pada 1952.
Penjara Keempat: Pulau Buru (1969 - 1979)
Penahanan terpanjang Pram terjadi pada masa Orde Baru. Beliau ditangkap tanpa proses peradilan pada 1969 dan diasingkan ke Pulau Buru, Nusa Tenggara Timur. Di pulau terpencil ini, Pram dan ribuan tahanan politik lainnya dipaksa bekerja keras dan hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Penjara Kelima: Cipinang (1979 - 1980)
Setelah 10 tahun diasingkan di Pulau Buru, Pram dipindahkan ke Penjara Cipinang di Jakarta. Di sini, beliau tetap aktif berkarya dan menyelesaikan beberapa karyanya yang monumental, seperti "Bumi Manusia" dan "Anak Semua Bangsa".
Penjara Keenam: Nirbaya (1980 - 1988)
Pada 1980, Pram kembali dipindahkan ke Penjara Nirbaya (sekarang Lapas Narkotika Jakarta) di Jakarta. Di sini, beliau mendekam selama 8 tahun sebelum akhirnya dibebaskan pada tahun 1988.
Penjara Ketujuh: Cipinang (1995 - 1996)
Kebebasan Pram tak berlangsung lama. Pada 1995, beliau kembali ditangkap dan ditahan di Penjara Cipinang atas tuduhan makar. Beliau dibebaskan setahun kemudian setelah menjalani hukuman 1 tahun.
Kisah perjalanan Pram dari penjara ke penjara merupakan cerminan dari keteguhan dan semangatnya yang tak pernah padam. Meskipun dihadapkan pada berbagai rintangan dan tekanan, Pram tetap berkarya dan menuangkan pemikirannya melalui tulisan-tulisannya yang kritis dan berani.
Kisah hidup Pram menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya kebebasan dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Semangatnya yang pantang menyerah dan karyanya yang abadi akan terus menginspirasi generasi muda untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.
Pramoedya Ananta Toer meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta. Ia meninggalkan warisan karya yang monumental dan terus menginspirasi pembacanya
MICHELLE GABRIELA | NAOMI A. NUGRHAENI