Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Entelekey Media Indonesia (EMI) bersama Relate Films memperkenalkan karya horor perdananya berjudul Pernikahan Arwah (The Butterfly House). Film yang disutradarai oleh Paul Agusta ini menawarkan lebih dari sekadar adegan menyeramkan, namun juga mengangkat sebuah tradisi unik dalam budaya Tionghoa yang jarang tersentuh, yaitu pernikahan arwah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konferensi pers film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) yang diselenggarakan pada Selasa, 8 Oktober 2024 di Jakarta dihadiri oleh Patricia Gunadi selaku Direktur Utama EMI, produser Perlita Desiani, sutradara Paul Agusta, penulis skenario Aldo Swastia, dan jajaran pemeran, termasuk Morgan Oey, Jourdy Pranata, dan Brigitta Cynthia.
Film Horor dengan Sentuhan Budaya Tionghoa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) membawa sesuatu yang baru dalam dunia perfilman Indonesia, dengan menggali unsur tradisi Tionghoa yang mungkin asing bagi sebagian besar penonton. "Film ini membawa elemen horor yang tidak hanya berfokus pada ketegangan, tetapi juga tentang budaya peranakan Tionghoa, terutama ritual pernikahan arwah," ungkap Paul Agusta, sang sutradara.
Meskipun film ini bergenre horor, namun Morgan Oey yang berperan sebagai Salim mengungkapkan bahwa Pernikahan Arwah (The Butterfly House) tidak seperti film horor pada umumnya. Hal ini juga yang menjadi alasan utama ia memutuskan untuk ambil peran dalam karya ini.
“Jarang banget ada film horor yang mengangkat tradisi budaya Tionghoa. Saya sendiri jarang ambil film horor karena rata-rata menjual jumpscare, tapi film ini berbeda. Yang bikin spesial adalah tradisi budayanya tentang pernikahan arwah,” ujar Morgan.
Morgan Oey dan Zulfa Maharani membintangi film Pernikahan Arwah (The Butterfly House). Foto: Instagram/@entelekeymediaid
Meskipun menggabungkan elemen-elemen budaya, kesan horor dari film tidak berkurang. Malah kata Paul ternyata hal tersebut bisa meningkatkan potensi teror yang sangat besar.
“Peranakan dari budaya Tionghoa memiliki banyak aspek untuk dieksplor. Ada banyak tradisi-tradisinya. Dengan menggunakan elemen-elemen seperti lilin, altar, dupa, elemen-elemen visual itu bisa menaikkan suhu horor,” ungkapnya.
Pemilihan Lokasi Syuting di Lasem
Selain alur cerita yang kental dengan tradisi Tionghoa, film ini juga berusaha untuk memberikan atmosfer yang autentik. Proses syuting yang berlangsung selama 18 hari itu, tidak hanya bertempat di Jakarta, namun juga dilakukan di Lasem, Jawa Tengah, sebuah kota yang terkenal dengan sejarah dan budaya peranakan Tionghoa.
Paul Agusta menyebut bahwa lokasi syuting sangat membantu dalam membangun nuansa mistis dan historis yang kuat. "Lasem itu setiap sudutnya punya cerita, rumah yang dipakai juga punya ceritanya tersendiri. Bahkan semenjak (kami) menginjakkan kaki di rumah itu, sejarah dan kisah-kisah rumah itu terasa,” ucap Paul.
Produser film, Perlita Desiani menambahkan bahwa pemilihan Lasem sebagai lokasi syuting karena kota tersebut masih mempertahankan sejarah dan budaya Tionghoa-nya.
“Lasem dipilih karena punya banyak sejarah yang masih dipertahankan sampai saat ini. Lasem itu daerah yang tua, masih banyak banget bangunan-bangunan yang dipertahankan,” ucap Desi.
Pernikahan Arwah (The Butterfly House) yang direncakanan akan tayang di bioskop pada 2025, berkisah tentang sepasang calon pengantin, Salim (Morgan Oey) dan Tasya (Zulfa Maharani), yang tanpa sengaja terlibat dalam ritual pernikahan arwah leluhur Salim.
WILNA LIANA AZ ZAHRA