Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal perupa senior Nunung W.S.
Perupa yang konsisten berkarya pada aliran abstrak.
Rentang perjalanan kariernya sejak 1970.
USIANYA sudah 75 tahun, tapi dia masih sanggup menyelesaikan lukisan dalam dimensi yang besar. Tenaganya seperti para pelukis muda yang masih bergelora semangatnya. Dalam lukisan abstrak, Nunung W.S berkontemplasi di kanvas dan kertas serta meramu campuran warna. Rentang karier seninya dimulai sejak 1970-an. Dia telah menjelajah aneka gaya dan digoreskan dalam ratusan karya. Namun dia melabuhkan pilihannya pada gaya abstrak, seperti gurunya, Nashar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran bertajuk "The Spirit Within", yang digelar di Gedung A Galeri Nasional Indonesia pada 8-26 Juni 2023, perupa senior ini unjuk karya. Pameran retrospektif ini dihelat oleh D Galerie bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia. Chabib Duto Hapsoro mengantarkan catatan kurasi pameran. Karya-karya terbaru Nunung digoreskan pada 2020-2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kanvas berdimensi dengan warna-warna seperti tenun di sebidang dinding yang diberi judul An Nisa membuktikan tenaga prima Nunung. Perempuan sepuh ini seperti tak ingin kalah dengan usianya. Jika dilihat sepintas, karya ini cukup panjang hingga lima meteran. Karya baru ini ternyata merupakan karya yang dibagi dalam lima panel.
An Nisa
Perjalanan seninya bisa ditelusuri dari periodisasi yang dilaluinya. Seperti dalam catatan kuratorial Chabib, periode awal kekaryaan Nunung disebut periode Nashar. Salah satu karyanya adalah lukisan berwarna dominan kuning dan oranye dengan sepasang sandal dengan garis horizontal diagonal berjudul Awal Perjalanan menjadi penanda. Gayanya berbeda dengan blok-blok warna dalam kotak dan garis. Hal ini terlihat pada karya berjudul Bunga di Taman. Ia mulai menjelajah warna-warna cerah dengan gaya yang berbeda, seperti sketsa sapuan krayon pada kertas. Masih pada periode Nashar, Nunung juga menjelajah medium kertas dengan tinta, seperti goresan kaligrafi untuk melukis obyek. Terlihat seperti kapal-kapal dan lanskap.
Penjelajahan karya dengan blok warna mulai terlihat pada tema bidang di atas bidang. Bidang kotak dengan warna biru menimpa bidang putih dan hitam berjudul Biru dan Hitam. Atau pada kotak biru yang bersisian dengan kotak kuning berjudul Biru, Kuning, Putih. Ada pula karya berjudul Garis-garis Merah Hitam yang memperlihatkan jajaran garis vertikal merah seperti pagar di atas bidang hitam dengan selarik garis putih dan biru. Lalu karya Horison dengan bidang hitam mendominasi hampir dua pertiga kanvas, di bawahnya garis krem dan cokelat dan biru terlukis horizontal. Goresan kuas dengan blok dan bidang ini dilukis pada 2020-2022.
Garis-garis Merah Hitam
Kontemplasi warna yang tercurah di kanvas seperti warna tenunan. Di bidang dinding lain, lima panel berukuran 150 x 100 sentimeter dan 150 x 500 sentimeter memperlihatkan penjelajahan kaligrafi. Judulnya An Nisa dengan warna dominan hitam dan garis merah. Sebuah titik merah terlihat di bagian bidang putih. Goresan warna lain terlihat di kanvas seperti kain tenun Sumba dengan warna hitam, merah, dan abu-abu dengan ukuran rata-rata 140-160 x 200 sentimeter. Hal ini memperlihatkan konsistensi dan kekuatan Nunung di usianya. Karya Verzon (2009) juga memperlihatkan konsistensi dan kekuatan Nunung. Karya berdimensi 150 x 150 sentimeter sebanyak tujuh panel itu dipajang di sebidang dinding.
Eksplorasi Nunung juga merambah medium kertas, masih dengan sapuan warna pada kertas. Beberapa karya dengan kertas ini seperti menunjukkan ada lapisan-lapisan dan tekstur. Pada periode ini Nunung menunjukkan eksplorasi pada garis dan bidang diagonal. Sebuah lukisan membentuk segitiga dengan judul Gunungan merupakan salah satu karya Nunung. “Itu eksplorasi yang dalam. Saya mendalami soal gunungan cukup lama, hampir dua tahunan,” ujar Nunung kepada Tempo pada Kamis, 8 Juni lalu.
Nunung memulai perjalanan sebagai seniman setelah belajar di Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya pada 1969. Dua tahun berikutnya, ia unjuk karya dalam pameran bersama di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Di sanalah ia berkenalan dengan pelukis Nashar. Perkenalannya dengan Nashar mengubah jalan hidup Nunung. Ia memutuskan tidak melanjutkan studi di Aksera dan memilih belajar seni rupa lebih lanjut kepada Nashar. Pada 1973, Nunung menjadi project officer di Dewan Kesenian Surabaya.
Belajar melukis dengan Nashar membuat Nunung lebih sering berinteraksi dan berkarya bersama gurunya itu. Periode 1970-1980, Nunung sering ke Bali dan berkarya bersama. Karya sketsa berwarna Nunung mulai tampak menonjol. Nunung menuturkan sempat ragu-ragu untuk ikut belajar dan meneguhkan dirinya sebagai seniman. Ia mengaku tak mempunyai uang. “Pak Nashar bilang tidak usah dipikirkan, kalau mikir itu kamu tidak akan jalan. Pergi atau enggak, itu sikapmu,” ujar Nunung menirukan ucapan gurunya.
Nashar pula yang meyakinkannya saat ia merasa galau dan curhat kepada sang guru ihwal kekaryaannya. Ini muncul ketika Nunung merasakan lukisannya makin lama makin mirip dengan karya gurunya. Nashar minta untuk terus melukis tanpa memikirkan gaya, aliran, atau kemiripannya dengan lukisannya.
Nunung menikah dengan Sulebar Soekarman, seniman sekaligus pengajar seni rupa di Institut Kesenian Jakarta. Nunung terus berkarya sehingga mendapatkan penghargaan dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 3 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di TIM pada 1978. Ia meneruskan laku seninya dengan gaya abstraknya. Hingga pada 1985, bersama perupa perempuan lainnya, Titis Jabaruddin dan Farida Srihadi, Nunung mendirikan Nuansa Indonesia, kelompok perupa perempuan. Tujuannya adalah memperjuangkan kedudukan seniman perempuan Indonesia sambil meningkatkan martabat seni Indonesia sebagai profesi. Mereka menggelar pameran perdananya di TIM. Karya-karya Nunung terus bergulir dan menghiasi banyak pameran menjelang 1990-an. Seperti pameran di Japan Foundation, Jakarta, lalu di Pameran Nuansa Indonesia III bersama seniman perempuan lain, seperti Dolorosa Sinaga dan Hildawati Sidharta.
Nunung WS saat pembukaan pameran Retrospektif " The Spirit Within" di Galeri Nasional, Jakarta, 7 Juni 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Kiprah Nunung tercatat mulai menjejak kancah internasional sepanjang 1990-an. Nunung pun menunjukkan karyanya di berbagai pameran tunggal, pameran dan perjalanan budaya bersama di Malaysia, serta perjalanan di Amerika bersama perupa perempuan lain. Ia pun berkesempatan menjalani residensi di Academie Minerva Groningen, Belanda, bahkan mengajar serta berpameran bersama Els Wiegel, seniman Belanda, sebagai hasil residensi di Belanda dan Indonesia.
Ia mendapat penghargaan karya terbaik dari Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Hingga 2022, ia masih melukis dan berpameran, meski tak sesering sebelumnya. Ia juga menjadi juri salah satu ajang penghargaan seni serta meraih penghargaan dari Biennale Jogja. Perjalanan seni Nunung terlihat dalam lini masa pada sebidang dinding di ruang belakang Gedung A.
Chabib memberikan kurasinya terhadap tiga periode kekaryaan Nunung. Yang pertama adalah manifestasi artistik pencerapan Nunung terhadap alam di sekelilingnya. Dari belajar di Aksera, kebimbangan, hingga pameran dan pertemuannya dengan Nashar yang telah lama ia kagumi. Di bawah bimbingan Nashar, kesadaran Nunung mulai berubah, dari benda, obyek, pemandangan, hingga sejumlah penyederhanaan yang bebas. Juga ketika Nunung melanggar kaidah bentuk dan anatomi figuratif.
Ia juga bereksperimen dengan cat air, arang, dan tinta cina. Gambarnya banyak mewujud dalam tarikan-tarikan kuasnya. Muncul pula periode karya yang merujuk pada sejumlah lokasi, seperti Bali, Candi Borobudur, dan Maninjau. Periode selanjutnya disebut lirisisme. Chabib juga melihat Nunung berkutat pada ekspresi gestural yang tecermin dalam sapuan kuasnya. “Pada periode ini Nunung makin menghayati alam secara mendalam, menjauhi bentuk atau figur,” ujarnya. Nunung mulai 1990-an hingga kini makin dalam pencarian spiritual, mewujud dalam warna dan kaligrafi.
Bagi Nunung, melukis adalah hidup dan sikapnya sebagai pelukis perempuan. Ia terus bergerak dan mengeksplorasi segala gaya dan medium. Ia meramu warna yang ditorehkan sebagai bentuk kontemplasi. Biasanya ia membuat rancangan garis-garis warna di kertas. “Di kertas garis besar warna merah misalnya. Tapi di kanvas mengolah warna itu harus mikir, merahnya ini merah seperti apa,” ujar Nunung. Dengan medium yang besar, Nunung merasakan hal itu sebagai aktivitas yang positif. “Olah raga dan olah rasa,” katanya lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo