Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Realitas Kedua Nestapa Manusia

Pameran tunggal seniman Bandung, Diyanto, menyajikan kenestapaan dalam kanvas-kanvas besar. 

18 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEMBAR kanvas Diyanto menyajikan sepotong fragmen. Seorang lelaki bermantel cokelat dengan topi fedora telah siap pergi. Kedua tangannya tertutupi tas dan barang bawaan lain seperti dalam adegan drama Menunggu Godot. Di belakangnya, dua sosok berkepala kanguru duduk sambil memakai jubah berwarna kulit manggis dan seseorang bertopeng putih. Mereka tampak sedang menyimak ucapan seseorang yang berdiri dengan kostum jas panjang berwarna cokelat. Di hadapannya, seorang pengendara sepeda beroda empat duduk membungkuk dengan tubuh terikat tali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ruang pengadilan yang terbuka itu, sekelompok orang menonton persidangan. Aksi badut-badut berkaki panjang dan seniman butoh, seni gerak tari dari Jepang, ikut mewarnai fragmen itu. Saat itu mereka tengah hidup dalam situasi kehancuran bersama puing-puing. Dalam lukisan berjudul Kangaroo Court (2013) itu, Diyanto menyoroti soal drama hukum dan pengadilan yang vonisnya telah ditetapkan sebelum sidang berlangsung. Kisahnya dibentangkan pada kanvas jembar berukuran 2,5 x 2,7 meter di galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran tunggal seniman Diyanto bertajuk "Simfoni Patetik" ini berlangsung selama 31 Mei-17 Juli 2023. Seniman Bandung 61 tahun itu membuat belasan karya seri dengan judul besar Untuk dan Atas Nama Orang Ramai. Selama 16 tahun pengerjaan sejak 2007, tema itu menghasilkan 16 lukisan berukuran besar. Namun, karena keterbatasan tempat, hanya separuhnya yang bisa dipajang di ruang galeri. Dua lukisan awalnya telah berada di tangan kolektor.

Dalam sebuah karya lain bertarikh 2017, Diyanto membuat instalasi yang memadukan lukisan dengan sepotong jembatan kayu yang ambruk. Di kolong kaki jembatan yang masih tegak, terhampar ratusan sendok dan garpu. Karya itu terinspirasi dua lakon drama yang turut melibatkan Diyanto sebagai penata artistik alias skenografer, yaitu Mangkuk Bakkhus Blah Blah Blah oleh Bandar Teater Jakarta pada 2015 serta Yang Berdiam Dalam Marahnya Sunyi oleh kelompok teater Actors Unlimited dari Bandung pada 2010. “Irisan adegan itu terefleksi dalam lukisan dan berbaur sebagai konfigurasi imajinasi,” kata Diyanto, Kamis, 15 Juni lalu.

Awalnya, ketika memulai kekaryaan lukisnya itu yang telah dirancang berseri dan berukuran besar pada 2007, Diyanto menggunakan perspektif realitas pertama. Dia menggambarkan kenyataan hidup dari apa yang disaksikannya secara langsung. Guru besar Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, dalam teks pengantar pameran mencontohkan, Diyanto menjadikan ruang gawat darurat Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin, Bandung, sebagai tempat pengamatan derita dan ketidakberdayaan manusia. Periode itu dilakoninya pada 1987-1989 atau semasa karya Kasidah Izrail.

Cara tersebut, menurut Bambang, dilakukan Diyanto untuk melepaskan diri dari ketatnya aturan formalisme lukisan yang saat itu berlaku di kampus tempatnya kuliah, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Lulusan 1991 yang memilih gaya lukisan ekspresionisme itu memerlukan modal ekspresi yang autentik dan mendalam hingga menjauh dengan konsep keindahan serta cenderung mengubah bentuk. “Sikapnya yang mengutamakan emosi dan gelegak bawah sadar membuat kuas bagai pisau yang menyayat-nyayat daging,” katanya. 

Selain itu, Diyanto pernah beberapa kali menyambangi Pulau Galang di Batam, Kepulauan Riau. Perjalanan inisiatifnya itu bertujuan melihat langsung kehidupan di bekas kamp pengungsi dari Vietnam yang kemudian dituangkan lewat seri karya awalnya yang dibuat pada 2008-2010. Sebagian pengungsi telah menikah dengan warga setempat. “Sebagian lagi terpaksa membakar diri di perahu karena menolak pulang ke negaranya,” ujar Diyanto. Observasi ketika itu ia nilai penting sebagai seniman untuk mengalami langsung peristiwa hingga mengerahkan segenap pancaindra. 

Diyanto mengaku terpengaruh oleh kredo jiwa kethok atau jiwa yang terlihat dari pelukis S. Sudjojono. Dalam proses itu, Diyanto mengumpulkan semua pengalaman empiris sebagai modal untuk emosinya. Namun, karena sadar dirinya bukan seorang pelukis realis tulen yang mengangkat suatu masalah apa adanya, figur pada lukisannya kemudian dirusak. “Seperti mengalihkan reaksi terhadap absurditas para korban,” tuturnya. Judul karyanya baru disematkan setelah lukisannya selesai.

Instalasi dan lukisan yang terdiri dari dua panel besar di pameran tunggal perupa Diyanto di Lawangwangi Creative Space di Bandung, Jawa Barat, 15 Juni 2023. Tempo/Prima Mulia

Dari realitas pertama, persepsi Diyanto pada kenyataan keseharian beralih ke realitas kedua. Alasannya adalah ingin berjarak dari persoalan dan terkait dengan efek psikologis. Faktor yang mempengaruhinya antara lain teks puisi Afrizal Malna, juga pertunjukan drama yang digelutinya bersama beberapa kelompok teater di Bandung dan Jakarta. “Dengan realitas kedua, saya kemudian merumuskan realitas melalui bahasa,” ucapnya. Diyanto menjadi terpancing melukis setelah merumuskan judul karyanya di awal, atau kebalikan dari kebiasaan sebelumnya. 

Pilihan berkaryanya dengan cara itu lantas membuatnya keluar-masuk dunia lukisan dan pertunjukan sambil menerabas batas atau konvensi dua kesenian tersebut. “Batas tegas konvensi tidak lagi saya pegang teguh saat melukis,” katanya. Lukisan Diyanto yang tidak taat pada dunia piktorialnya itu sempat ditempeli batu, dan sekarang disertai alat makan. Dia menepis dugaan orang yang menilai lukisannya tidak percaya diri sehingga harus ditambahi benda lain. “Karena obyek benda itu berhubungan dan tidak terpisahkan, selain mau memperluas takdir lukisan di bidang kanvas,” ujar Diyanto. 

Diyanto. Dok. Bale Seni Barli

Sejak muda, seniman yang lahir di Majalengka, Jawa Barat, pada 23 Februari 1962 itu ikut bergelut di kelompok teater. Setamat kuliah, Diyanto sempat mendalami tata pentas teater arahan Wolf Wanninger di Augsburg, Jerman, yang mendapat dukungan dari Goethe-Institut pada 1992. Selain melukis dan melakukan performance art, sejak 1989 dia terlibat dalam penataan artistik pertunjukan sejumlah kelompok teater, seperti Studiklub Teater Bandung, Teater SAE, Bandar Teater Jakarta, Actors Unlimited, Laskar Panggung Bandung, dan Neo Theater. 

Dari pertunjukan itu, dia melihat ada kelompok teater yang menjadikan pemain sebagai aktor untuk memerankan tokoh cerita atau orang lain. Tapi ada pula kelompok yang memang ingin mengasah kemampuan pemainnya. Kontradiksi seperti itu turut mempengaruhi Diyanto ketika melukis. Inspirasi lain yang terkait dengan pewarnaan antara lain berasal dari Michelangelo Merisi da Caravaggio. Pelukis naturalis Italia (1571-1610) itu kerap memakai warna gelap, cokelat, dan merah.  

Dalam konteks yang lebih sempit, Diyanto mengangkat masalah tentang pergeseran status dari subyek pada lukisannya yang ditonton menjadi penonton orang yang melihatnya di ruang pameran. Lukisannya menjadi semacam cermin.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus