Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK memutuskan menjadi pilot pada medio 1980-an, Mahlup Gozali sadar betul musibah akan senantiasa mengintai. Bahkan belakangan bapak lima anak ini menanggalkan lisensinya sebagai instruktur penerbang. Selain untuk mengurangi kesibukan, ada kekhawatiran karena banyaknya kecelakaan pesawat latih yang selalu menewaskan pelatih dan siswanya. "Berbeda rasanya terbang bersama calon pilot yang belum qualified," katanya.
Siapa menyangka musibah itu akhirnya datang juga, meski ia menumpangi pesawat gres bersama kopilot terlatih. Sabtu tiga pekan lalu, sekitar pukul 15.10 waktu Indonesia tengah, pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-960 yang dikemudikannya jatuh ke laut sesaat sebelum mencapai Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Denpasar. Gozali masih beruntung. Semua penumpang dan kru pesawat lolos dari maut.
Toh, Gozali belum bisa bernapas lega. Sebagai kapten namanya kini disorot. Banyak kalangan menduga kecelakaan tersebut disebabkan oleh kelalaiannya. Apalagi pesawat Boeing 737-800 NG yang nahas itu tergolong canggih di kelasnya dan baru sebulan beroperasi. Hingga kini Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menyelidiki penyebab kecelakaan ini.
Rabu pekan lalu, wartawan Tempo Agoeng Wijaya menemui Gozali di Tangerang City Mall, Banten. Pagi itu dia baru selesai berlatih di salah satu pusat kebugaran langganannya. Dia tak mau menduga-duga penyebab kecelakaan yang dialaminya. "Karena itu kewenangan KNKT," katanya. Didampingi istrinya, Gozali dengan santai menceritakan kronologi sebelum pesawat seharga US$ 80-an juta itu nyemplung ke laut. Sepanjang wawancara, dia sulit mengalihkan pandangan dari layar telepon selulernya. "Saya harus selalu stand-by dari panggilan kantor."
Jadi, berapa kali Anda menggelar acara syukuran setelah kejadian tiga pekan lalu itu?
Tiga kali. Pertama kali bersama anak yatim-piatu dari sebuah yayasan. Kedua dengan keluarga besar. Dan terakhir bersama majelis taklim tempat saya dan istri biasa mengikuti pengajian. Saya betul-betul merasa Tuhan melindungi saya dalam kejadian ini. Jika melihat kerusakan pesawat, orang mungkin tidak akan percaya saya masih bisa selamat.
Apakah Anda tidak mengalami trauma?
Tidak. Kejadian itu pada Sabtu sore. Keesokan harinya, Minggu sore, saya sudah ada di rumah Jakarta. Lalu Senin pagi saya sudah menyetir mobil untuk pergi ke rumah orang tua. Tidak ada masalah pada mental saya.
Apakah bayangan kejadian itu terbawa ke dalam mimpi Anda?
Tidak juga. Bukannya saya menyepelekan kejadian ini, tapi bagi saya musibah ini biasa saja.
Mungkin karena tak ada korban jiwa….
Ya. Seandainya ada korban, mungkin sebagian jiwa saya akan sangat terganggu.
Dalam dua pekan terakhir Anda dilarang terbang. Apa saja yang Anda kerjakan?
Dalam dua minggu ini perusahaan meliburkan saya karena diperlukan untuk investigasi. Saya harus tetap standby. Misalnya kantor tiba-tiba memanggil saya untuk menanyakan sesuatu tentang kejadian tersebut, meski hanya satu pertanyaan, saya harus datang.
Setelah itu, Anda bisa terbang lagi?
Menurut prosedur, saya harus masuk pelatihan lagi, termasuk harus mengikuti simulasi terbang, dan sebagainya. Jadi semuanya mulai dari nol.
Bagaimana respons rekan-rekan Anda di Lion Air terhadap peristiwa ini?
Mereka hanya membaca pasca-kejadian. Mereka memikirkan apakah dalam peristiwa ini semua kru dan penumpang selamat. Jadi kawan-kawan di kantor itu tidak berpikir tentang mengapa musibah itu terjadi.
Manajemen Lion Air pun berpikir begitu?
Ya. Saya bersama semua awak kabin sudah bertemu dengan manajemen. Ada Pak Rusdi dan Pak Edo (Direktur Utama Rusdi Kirana dan Direktur Operasional Edward Sirait). Mereka menanyakan apakah benar semua kru dan penumpang selamat. Mereka bilang kejadian ini musibah. Soal apa penyebabnya, biar KNKT yang menyelidiki. Bahwa yang terpenting bagi Lion adalah semua kru dan manajemen selamat.
Artinya, benar Anda dikabarkan akan memperoleh penghargaan karena musibah ini tak merenggut korban jiwa?
Saya belum mendengar soal itu.
Jadi, bagaimana ceritanya hingga musibah itu terjadi?
Seingat saya, pada saat itu semuanya dalam keadaan normal. Kecelakaan itu tiba-tiba saja terjadi.
Benarkah kopilot Chirag Kalra yang semula menerbangkan pesawat dari Bandung menuju Denpasar?
Benar. Memang kopilot yang membawa pesawat itu dari Bandung menuju Denpasar. Sebenarnya ini tidak ada persoalan. Kami berdua sama-sama seorang pilot, hanya jabatannya yang berbeda. Sebagai kapten, saya adalah pilot in command, yakni orang nomor satu dalam penerbangan tersebut. Tapi, kalau masalah terbang, posisi kami terbagi menjadi dua, yakni pilot flying yang menerbangkan pesawat dan pilot monitoring yang mengawasi serta membantu selama penerbangan. Kedua posisi ini bisa dikerjakan secara bergantian.
Artinya, dalam penerbangan Bandung-Denpasar itu, Anda adalah kapten pilot yang bertindak sebagai pilot monitoring?
Ya. Kopilot yang menerbangkan, saya monitoring.
Apakah Anda sudah biasa melakukan tandem dengan kopilot ini?
Saya berganti-ganti pasangan kopilot. Saya dan Chirag juga pernah terbang bersama. Dia qualified.
Benarkah sesaat sebelum kecelakaan terjadi Anda mengambil alih kemudi untuk pendaratan?
Sesuai dengan standard operation procedure (SOP) perusahaan kami, jika landasan hujan, basah, anginnya kencang, atau kondisi yang tak normal lainnya, kapten harus mengambil alih kemudi. Pada ketinggian sekitar 1.000 kaki, landasan terlihat. Namun di sebelah kanan landasan Bandara Ngurah Rai pada saat itu tampak mendung. Kami tak tahu apakah di bawah hujan atau tidak. Tapi, untuk berjaga-jaga, ketimbang nanti mepet, saya ambil alih kemudi untuk mendaratkan pesawat itu.
Artinya, peralihan kemudi itu sudah dilakukan ketika pesawat masih di ketinggian 1.000 kaki, jauh sebelum musibah terjadi?
Ya. Sebab, kami khawatir di bawah hujan. Jadi kami hanya mengikuti SOP.
Lalu bagaimana proses rencana pendaratannya ketika itu?
Normal saja. Sejak di ketinggian 3.000 kaki semua instrumen pendaratan sudah dikeluarkan. Roda juga sudah keluar.
Berapa kecepatan pesawat saat itu?
Kurang-lebih 140 knot. Normal.
Bagaimana jarak pandang dari kokpit?
Ketika itu saya masih bisa melihat landasan. Jarak pandangnya sekitar 8 kilometer. Beberapa kali sebelumnya saya bisa kok mendaratkan pesawat pada kondisi jarak pandang hanya 1.500 meter. Bagaimanapun buruknya kondisi cuaca, misalnya hujan deras, pendaratan tetap bisa dilakukan sepanjang jarak pandang minimal di bandara tersebut terpenuhi. Kalau tidak salah, syarat minimal jarak pandang di Bandara Ngurah Rai itu sekitar 800 meter.
Apakah saat itu sedang turun hujan?
Mungkin sedikit gerimis. Mungkin juga hujan deras terjadi di sisi kanan runway, yang memang pada saat itu langitnya gelap sekali. Tapi situasinya ketika itu biasa saja. Normal.
Benarkah Runway 09, landasan yang Anda tuju, tak dilengkapi fasilitas untuk menuntun pendaratan sehingga Anda harus mendaratkan pesawat secara manual?
Landasan di Bandara Ngurah Rai itu ada dua sisi. Ujung sebelah barat adalah Runway 09 dan sebelah timur Runway 27. Untuk bagian timur sistem untuk pendaratannya lebih presisi karena menggunakan instrument landing system (ILS). Sedangkan kalau pesawat datang dari barat, misalnya dari Surabaya mendarat di Runway 09, navigasi pendaratannya menggunakan teknologi VOR (VHF omnidirectional range), yang tidak presisi.
Apa yang Anda maksud dengan presisi dan tidak presisi itu?
ILS sangat presisi menuntun pendaratan pesawat. Bahkan pada ketinggian 300 kaki pun pilot masih boleh hanya melihat bagian dalam kokpit ketika akan mendarat. Sedangkan pada landasan yang menggunakan VOR, kami hanya diperbolehkan melihat ke dalam kokpit hingga ketinggian 500 kaki. Jika di bawah itu kami tak bisa melihat landasan, kami tidak boleh mendarat karena alat penuntunnya tidak presisi.
Apakah kondisi tersebut hanya ada di Bandara Ngurah Rai?
Rata-rata bandara di Indonesia memang hanya satu sisi yang dilengkapi ILS. Kecuali Bandara Soekarno-Hatta. Keempat sisi dari dua runway yang ada di Cengkareng itu semuanya menggunakan ILS.
Lalu apakah karena prosedur pendaratan pada Runway 09 tersebut, Anda sempat memutuskan untuk go around—terbang kembali dan batal mendarat?
Seperti saya jelaskan tadi, jika pada ketinggian kurang dari 500 kaki tak terlihat landasan, pesawat harus didorong terbang lagi. Saya sudah berusaha melakukannya.
Pada ketinggian berapa Anda memutuskan go around?
Sekitar 300 kaki. Pada saat itu jarak pandang sudah mulai remang-remang. Sebelumnya di atas masih terang-benderang. Makanya saya memutuskan untuk "mendorong" lagi pesawat.
Namun rencana Anda ternyata tak berhasil karena pesawat malah jatuh ke air. Apakah benar karena pesawat tersedot ke bawah?
Saya tidak tahu. Saya juga bingung bahasa tersedot itu dari mana.
Atau pesawat terempas oleh sapuan angin dari samping?
Angin normal-normal saja. Tidak ada goyangan apa-apa.
Apakah mungkin gara-gara ketinggian dan kecepatan pesawat sudah terlalu rendah sehingga pesawat kurang daya untuk terbang lagi?
Jangankan di ketinggian 300 kaki, pesawat masih bisa melakukan go around pada ketinggian 50 kaki. Saat itu juga tidak terjadi stall—kehilangan daya angkat. Seandainya pesawat terjatuh karena stall, pasti kejadiannya lebih parah.
Tapi salah satunya pejabat di KNKT memperkirakan salah satu penyebab musibah ini adalah pesawat terbang terlalu rendah ketika hendak mendarat (undershoot)?
Saya tidak tahu. Pokoknya, saya sudah memutuskan untuk "mendorong" lagi pesawat itu, tapi adanya malah di air.
Bagian mana yang pertama kali menyentuh air?
Belakang. Saya merasakan glubuk-glubuk, cepat sekali. Saya di depan tidak merasakan apa-apa, bahkan kaca pun tak pecah.
Beruntung pesawat Anda tak menabrak tanggul pemecah ombak di bibir landasan pacu Runway 09….
Ya. Kalau sampai menerabas tepian landasan pacu pasti habis sudah.
Tapi, kalau tidak menabrak tanggul, berarti ketika pertama kali menyentuh laut pesawat masih jauh dari landasan. Apakah Anda terlalu cepat menurunkan?
Saya tidak tahu apakah ketika itu lokasi awal kejadiannya masih jauh atau tidak lokasi dari landasan. Yang saya ingat semuanya terjadi sesaat, cepat sekali… deerrrtttt… lalu berhenti.
Ada juga yang menduga Anda kurang berkonsentrasi karena kelelahan. Apakah benar?
Tidak. Sehari sebelum kejadian, pukul 9 pagi, saya tiba di Palu dari Jakarta. Setelah itu, saya tidur seharian di hotel. Saya hanya keluar pada sore harinya untuk makan di restoran hotel. Setelah makan, balik kamar tidur lagi hingga esoknya terbang menuju Bandung. Dari Bandung terbang ke tujuan akhir, Denpasar.
Berapa hari Anda libur dalam sepekan?
Aturan di perusahaan kami itu lima-satu. Artinya lima hari kerja, satu hari libur. Lima hari kerja itu bukan berarti terbang terus sepanjang hari-hari tersebut. Ada yang terbang pagi hari, lalu pulang sore. Setelah lima hari, maka libur sehari. Setelah libur, kami masuk kerja tapi sifatnya standby, tidak boleh ke luar kota. Kalau saat standby itu tidak ada pekerjaan apa-apa, ya, sebenarnya seperti libur.
Jadi, menurut Anda, beban kerja sebagai pilot tidak terlalu besar?
Pilot selalu mengikuti prosedur dalam bekerja. Beban kerja pun mengikuti standar penerbangan, seperti adanya batasan jam terbang dalam sepekan, sebulan, hingga setahun. Misalnya di Lion itu dibatasi pilotnya terbang maksimal 30 jam sepekan. Saya biasanya malah kurang dari itu. Jadi, kalau dibilang stres, tidak terlalu stres juga. Dibilang enjoy, iya.
Artinya Anda tak perlu narkoba untuk mengurangi tekanan atau menstimulasi tenaga selama bekerja?
Saya merokok saja tidak. Minum kopi saja saya harus pakai creamer. Ketika malam setelah kejadian itu, kepolisian langsung memeriksa urine kami. Kaya tenang saja karena 10 ribu persen saya yakin. Dan saat itu juga dibacakan hasilnya negatif dari narkoba.
Apakah Anda tidak merasa bersalah atas kejadian ini?
Saya menyadari kejadian ini adalah musibah. Setiap orang ketika mengalami musibah pasti ada salah. Tapi salah saya di mana? Makanya nanti kita tunggu hasil dari KNKT. Sekarang saya tenang karena tidak ada korban jiwa dalam musibah ini. Bukan berarti juga saya happy atas kejadian ini.
Tapi pesawat baru Lion Air itu mahal sekali, lho….
Saya tidak tahu harganya, ha-ha-ha….
Mahlup Gozali
Tempat dan tanggal lahir: Banten, 24 Maret 1965 Pendidikan: l Lulus Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Tangerang, Banten (1988) l SMA Negeri 1 Tangerang (1985) Karier: l Kapten pilot Lion Air (Januari 2002-sekarang) l Pilot PT Merpati Nusantara Airlines (1988-2002) Pengalaman: Terbang (12 ribu jam terbang), Boeing 737-900 ER, Boeing 737-800 NG, Pesawat Twin Otter, CN-235, Fokker 28, MD-80, MD-81, MD-82, MD-83. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo