Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir*
Ada perdebatan seru mengenai bahaya harga properti yang melambung dalam dua tahun terakhir ini. Di satu sisi ada kekhawatiran bahwa pecahnya gelembung alias bubble properti akan menyusahkan sektor perbankan. Tayangan deretan gedung perkantoran dan apartemen tanpa penghuni di Spanyol dan Cina terbayang bakal terlihat juga di sini.
Di sisi lain ada yang balik bertanya bubble apa. Argumennya adalah bahwa peningkatan harga properti yang pesat sangat wajar di negara yang kelas menengahnya berkembang. Akibatnya, permintaan akan kebutuhan properti yang sudah lama terpendam timbul ke permukaan menghadapi persediaan yang terbatas. Dengan rasio harga properti dibanding produk domestik bruto yang masih rendah ketimbang negara tetangga yang lebih makmur, masih ada ruang untuk naiknya harga properti sebelum tingkat bahaya tercapai.
Jadi siapa yang benar? Realitas biasanya berada di antara kedua kubu ini, tapi saya lebih cenderung memihak kepada yang kurang takut terhadap bubble properti. Sejumlah alasan menjadi dasarnya.
Pertama, peningkatan harga properti yang tajam tidak terjadi bersamaan di semua lokasi dan terbatas pada segmen properti tertentu. Memang ada busa yang mulai timbul, tapi bubble properti terlihat masih di tingkat awal. Kecemasan akan menggelembungnya bubble ini wajar. Tingkat harga properti di semua segmen yang tadinya mengikuti tingkat inflasi tiba-tiba melonjak naik pada 2011-2012.
Harga jual apartemen, yang tiap tahun naik 6-10 persen sebelum 2011, meningkat dua kali lipat menjadi 12-25 persen mencapai Rp 25 juta per meter persegi. Kenaikan harga itu terlihat di apartemen yang berlokasi di daerah elite Central Business District (CBD) Jakarta.
Untuk sewa kantor, naiknya harga sewa jauh lebih tinggi, yaitu di level 45 persen, dan sudah mencapai US$ 31 per meter persegi untuk ruang kantor kelas primer. Biaya parkir juga naik 50 persen mengikuti peraturan baru yang dikeluarkan Gubernur Jakarta yang baru, Joko Widodo. Tapi meninggalkan kawasan CBD ke harga perumahan, peningkatannya masih 5-8 persen. Singkatnya, peningkatan harga terjadi di semua segmen properti, tapi ciri bubble-nya masih bergantung pada lokasi dan segmennya.
Kedua, dampak terhadap sektor perbankan yang masih terkendali, jika pecahnya bubble properti terjadi. Di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa, bubble properti dibiayai oleh pinjaman bank. Jadi, ketika bubble properti pecah dan harga properti jatuh, nilai aset bank tergerus dan akhirnya modal perbankan termakan. Bank dengan modal tipis akan terpuruk sehingga membutuhkan bantuan pemerintah.
Di sini proporsi pinjaman yang terkait dengan properti sebagai persentase dari total pinjaman bank hanya mencapai 14 persen. Berdasarkan data Bank Indonesia, 43 persen dipinjamkan ke rumah kecil (di bawah 70 meter persegi), 31 persen ke rumah menengah dan besar (di atas 70 meter persegi), serta 10 persen ke apartemen dan perkantoran.
Kredit pemilikan rumah (KPR) lebih dominan (70 persen) pada penjualan rumah kecil dengan sisanya dibiayai oleh uang cicilan selama pembangunan atau uang tunai. Untuk perumahan menengah dan besar hanya 50 persen yang dibiayai bank dan sisanya dibayar tunai atau dicicil selama masa pembangunan. Sedangkan untuk penjualan apartemen, porsi yang dibiayai bank hanya 20 persen.
Penyebab kenyataan ini adalah jumlah uang panas yang beredar cukup besar dan biasa mengalir ke rumah yang lebih besar atau apartemen. Selain itu, tingkat bunga dari KPR masih relatif tinggi dibanding tingkat keuntungan dari investasi di properti. Bunga KPR berkisar 9-12 persen dan porsi bunga tetap (fixed) biasanya berlaku hanya untuk dua-tiga tahun dengan sisa masanya bunga diambangkan. Saat ini KPR memiliki masa pembayaran kembali selama 5-15 tahun. Dengan kata lain, sebagian besar penjualan properti dibiayai oleh uang tabungan atau uang tunai.
Dalam skenario terburuk, jika penurunan harga properti mencapai 50 persen, porsi pinjaman properti 14 persen dari total pinjaman sektor perbankan, dan tingkat modal bank 18 persen, masih cukup kuat untuk menghadapi musibah.
Ketiga adalah pertanyaan seberapa jauh tingkat permintaan untuk tipe properti dan dengan lokasi favorit dapat berlanjut.
Di sektor apartemen, ini terefleksi pada tingkat prajual yang tinggi untuk beberapa waktu. Tren prajual yang menurun menunjukkan tingkat permintaan yang melemah, sedangkan untuk ruang perkantoran tingkat hunian yang disorot.
Kedua ukuran itu saat ini memperlihatkan tanda positif dengan prajual di tingkat 65 persen untuk penjualan apartemen dan tingkat huni di atas 90 persen untuk sewa kantor serta 75 persen untuk apartemen. Untuk segmen perumahan, hasil survei Bank Indonesia untuk perumahan di sekitar Jabodetabek mencatat tingkat huni dari rumah yang sudah dijual (87 persen dari rumah yang terbangun terjual) berkisar 80-85 persen.
Yang menarik, sumber permintaan dari ruang sewa perkantoran dan penjualan apartemen kebanyakan berasal dari pembeli lokal. Pada apartemen, kenyataan ini wajar mengingat adanya batasan kepemilikan asing. Tapi, untuk ruang sewa kantor, ternyata perusahaan lokal di bidang pertambangan batu bara dan perkebunan sawit yang banyak menghuni atau membeli.
Untuk segmen kawasan industri, pembeli asing masih dominan. Tingkat permintaan di segmen ini per tahun di atas 500 hektare, kembali ke tingkat yang sama sebelum krisis moneter 1998. Tingkat ini masih di bawah tahun sebelumnya, akibat terbatasnya lahan.
Kebanyakan permintaan di segmen kawasan industri berasal dari perusahaan Jepang, terutama dari sektor otomotif. Situasi politik dan banjir di Thailand membantu mengalihkan investasi perusahaan otomotif Jepang ke Indonesia. Tapi gempa dan tsunami yang menyusul serta meledaknya pembangkit listrik nuklir di Fukushima membuat industri Jepang mencari lokasi lain yang dapat memberikan sumber energi yang lebih pasti.
Terakhir adalah usaha pemerintah untuk menciutkan bubble properti tahun lalu. Pada 2011, pemerintah telah melihat pertumbuhan kredit properti jauh di atas pertumbuhan kredit perbankan keseluruhan. Setahun kemudian mereka dengan tepat menusuk bubble yang menggelembung dengan meningkatkan uang muka 30 persen pada kredit perumahan. Dampak penurunan suhu pada pasar perumahan untuk semester kedua 2012 cukup terasa dan terus berlangsung sampai awal tahun ini.
Pada Agustus 2012, sebulan sesudah persyaratan itu berlaku, tingkat KPR menurun ke Rp 347,8 triliun dari Rp 368,5 triliun sebulan sebelumnya. Beberapa bulan kemudian tingkat pinjaman ini kembali meningkat ke level Rp 370 triliun pada akhir tahun. Sedangkan tingkat kredit bermasalah masih berkisar di tingkat 1,8-2 persen. Developer juga bereaksi terhadap peningkatan uang muka KPR dengan menurunkan tingkat pembangunan rumah baru.
Permintaan properti sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan melamban seperti kebanyakan ahli telah meramalkan ke 6,2 persen untuk 2013, tantangan buat otoritas keuangan adalah bagaimana mengatur agar penurunan pertumbuhan ini dapat mendarat secara mulus ketimbang mengalami banyak guncangan.
Segmen properti, walaupun tak berada pada tingkat yang mencemaskan, hanya merupakan satu bagian dari ekonomi dan kekhawatiran mengenai memanasnya (overheating) ekonomi justru bersumber dari tempat lain. Bunga SBI di tingkat 5,75 persen terasa terlalu rendah dengan tingkat inflasi bulan Maret yang sudah mencapai 5,9 persen. Tak perlu jadi ahli ekonomi untuk melihat dampak dari peningkatan tarif listrik 15 persen, naiknya UMR 40 persen, dan potensi naiknya harga BBM Premium 44 persen terhadap tingkat harga di masa depan.
Tantangan buat Gubernur Bank Indonesia yang baru, Agus Martowardojo, untuk memperhatikan apakah penurunan tingkat ekonomi, akibat melemahnya ekspor dan investasi yang biasanya terjadi menjelang pemilu, sudah cukup untuk menurunkan tingkat inflasi. Jika inflasi tidak kunjung turun, perlu dipikirkan untuk menaikkan suku bunga. Masih jadi tanda tanya saat memasuki Pemilu 2014, seberapa jauh suku bunga perlu dinaikkan agar penurunan pertumbuhan ekonomi dapat melandas secara mulus.
*) Komisaris Independen Bank Danamon
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo