Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengelolaan wilayah yang dilakukan oleh BP Batam kerap dilakukan tanpa melihat fungsi konservasi kawasan.
Batam kehilangan sekitar 3.000 hektare hutan mangrove selama dua dekade terakhir, paling banyak untuk perumahan selama satu dekade terakhir.
Kota Batam kehilangan kawasan yang mampu mencegah intrusi air laut.
DARI rumah Amin di Kelurahan Tembesi, raungan buldoser yang meratakan tanah menguruk mangrove Sungai Pengabu di Kota Batam, Kepulauan Riau, terdengar begitu keras. Berjarak 20 meter dari sungai itu, laki-laki 45 tahun ini bisa melihat dengan jelas aktivitas penimbunan sungai yang dulu rimbun ini. “Katanya mau jadi kompleks perumahan,” kata Amin.
Sungai Pengabu bercabang menjadi anak-anak sungai. Salah satunya mengalir ke depan rumah Amin. Dari anak sungai itu, Amin biasanya melayarkan sampan untuk melaut. Akibat penimbunan sungai, air tak lagi mengalir. Selain timbunan tanah kuning, badan sungai kini dipenuhi sampah.
Jangankan melaut, kini Amin dan para nelayan di Tembesi tak lagi bisa menangkap udang yang biasanya mengkal-mengkal di pantai dan muara sungai. Ketika bisa melaut pun, kapal tersangkut tanah yang menimbun pantai. Para nelayan harus mendorong perahu hingga ke tengah agar bisa mengayuh.
Pada akhir September lalu, Abdul Ganip baru saja menyandarkan kapalnya. Laki-laki 57 tahun tetangga Amin itu baru pulang setelah seharian melaut. Sambil tersenyum kecut, ia menunjukkan sedikit tangkapan: beberapa ekor udang yang disimpan dalam termos merah. Ketika ditimbang, semua udang itu tak sampai 1 kilogram. “Cuma buat makan orang serumah,” katanya.
Ganip mengingat hasil tangkapannya terus turun dua tahun belakangan sejak sungai-sungai yang bermuara ke laut Batam diuruk untuk dijadikan permukiman atau pergudangan. Ongkos yang ia keluarkan acap tak tertutup oleh hasil tangkapan. Pendangkalan pantai membuat ia makin jauh melaut. Artinya, biaya solar bertambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga melintas di kawasan mangrove yang ditimbun untuk perumahan, di Tembesi, Sagulung, Batam, Kepulauan Riau, 21 November 2022. Tempo/Yogi Eka Sahputra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun lalu, udang dan kepiting masih berlimpah. Ganip bercerita, ia bisa menangkap udang dan kepiting 3 kilogram sehari. Pendapatannya kala itu Rp 250 ribu. Penghasilan itu, dia menjelaskan, cukup untuk biaya kebutuhan keluarga dengan satu istri dan empat anak. “Kini nyari Rp 50 ribu saja susah,” ucapnya.
Ganip tak punya pilihan pekerjaan. Melamar menjadi buruh pabrik di kawasan industri, umurnya sudah lewat untuk jadi karyawan. Nelayan adalah andalannya mencari penghidupan. Dengan empat anak, penghasilannya yang tak menentu setiap hari membuat ia kesulitan memenuhi biaya sekolah.
Ia tak ragu menunjuk alih fungsi lahan itu sebagai penyebab nelayan sulit mendapat pencarian. Penimbunan hutan mangrove di pesisir membuat sedimentasi menebal. Akibatnya, pantai mendangkal. Perahu nelayan pun tak bisa bersandar hingga tepi.
Cerita pilu nelayan Tembesi juga dialami nelayan di Kecamatan Sekupang. Menurut Saparuddin, nelayan Patam Lestari, kehidupan nelayan di Kota Batam makin terjepit. Di tengah harga bahan bakar minyak yang makin meroket, kapalnya justru harus meminum BBM lebih banyak akibat jarak tempuh untuk melaut yang makin jauh. Dulu, dia menambahkan, menangkap kepiting atau udang cukup masuk ke hutan mangrove.
Ganip ataupun Saparuddin sudah patah arang. Saparuddin mengatakan petugas pemerintah acap datang ke rumahnya meminta salinan kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Katanya untuk syarat pemberian bantuan bagi nelayan. Namun sampai kini Ganip dan Saparuddin tak pernah mendapat bantuan sosial, bahkan kompensasi kenaikan harga BBM tahun ini.
Dari rumah Ganip, Tempo menyusuri lokasi penimbunan hutan mangrove sepanjang pesisir laut Kota Batam. Di Sungai Pengabu, Kecamatan Sagulung, kawasan mangrove telah rata dengan tanah dan berubah menjadi tanah lapang. Truk pengangkut tanah hilir-mudik silih berganti, adu cepat menurunkan tanah yang diratakan buldoser.
Ketua Akar Bhumi Indonesia Sony menambahkan informasi dari Ganip dan Saparuddin. Akar Bhumi adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengedukasi dan mengadvokasi mangrove Batam. Sungai Pengabu, dia menerangkan, dulu adalah hutan bakau yang lebat. Sejak penimbunan sungai dimulai tahun lalu, tim Akar Bhumi pernah membuat laporan ke Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), yang dulu Bernama Badan Otorita Batam.
Sony menembuskan laporan itu ke Dinas Lingkungan Hidup Batam hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta. “Penimbunan sempat berhenti begitu dilaporkan,” katanya. “Sekarang mulai lagi.”
Seorang pekerja, ia hanya mau disebut dengan inisial EP, mendatangi saya dan Sony lalu menanyakan tujuan kedatangan. EP mengaku baru empat bulan bekerja sebagai sopir truk pengangkut tanah. Ia mengaku tidak tahu nama perusahaan yang memesan tanah untuk menimbun kawasan mangrove.
Nelayan kecil mendorong sampan di perairan yang tercemar akibat penimbunan mangrove, di Batam, Kepulauabn Riau, Oktober 2022. Tempo/Yogi Eka Sahputra
EP bertugas menimbun lahan seluas 2 hektare. Ia mengatakan area itu kelak akan menjadi kompleks perumahan. Apa nama perumahan dan perusahaannya tak jelas benar. Tak ada papan nama atau plang yang menunjukkan si empunya pekerjaan menimbun ini.
Sony menduga penimbunan tersebut ilegal. Ia mengatakan agak jamak di Batam pengusaha meluaskan wilayah timbunan. Mereka mendapatkan konsesi lahan dari BP Batam dan membangun perumahan atau kawasan industri. Perluasan wilayah timbunan itu menjadi modus umum di Batam untuk mengakuisisi wilayah ini.
Sebetulnya, menurut Sony, penimbunan kawasan mangrove itu sudah masuk kategori reklamasi. Karena itu, semestinya ada rambu-rambu sebelum penimbunan dimulai. Misalnya, pengusaha membangun tanggul di pesisir sebelum mulai menghamparkan tanah di kawasan mangrove yang basah. “Selain itu, ada ganti rugi seluas wilayah mangrove yang diuruk,” ucap Sony.
Sony mengatakan status lahan mangrove ini tak jelas benar. BP Batam memberikan konsesi lahan kepada perusahaan tanpa izin apa pun. Padahal, dari pengecekan ke aplikasi Sigap di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kawasan mangrove Sungai Pengabu masuk wilayah hutan lindung. Artinya, pengusaha yang menimbun harus mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sebelum menguruk kawasan mangrove. Tapi aplikasi itu mengabarkan izin pinjam pakai kawasan hutan di Batam hanya terbit untuk Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Direktur Lahan BP Batam Ilham Hendra Hartawan, yang ditemui pada 24 Oktober lalu, tak bersedia menjelaskan duduk persoalan izin dan penimbunan kawasan mangrove. Ia juga tidak menjawab pertanyaan ihwal siapa yang bertanggung jawab mengawasi aktivitas alih fungsi hutan mangrove yang izinnya dikeluarkan BP Batam.
Jika mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Lahan, pengawasan aktivitas penimbunan itu semestinya tugas Direktorat Pengelolaan Lahan, khususnya Subdirektorat Evaluasi dan Pengawasan Penggunaan Lahan, BP Batam.
Karena penimbunan sungai dan kawasan mangrove begitu telanjang, Kejaksaan Tinggi Riau memeriksa Ilhan pada 20 Oktober lalu. Jaksa curiga ada mafia tanah dalam izin alokasi lahan untuk pengusaha dari BP Batam.
Menurut Ilham, informasi pengelolaan lahan dan pengawasannya hanya diberikan oleh bagian hubungan kemasyarakatan BP Batam. Tapi Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol Ariastuty Sirait malah mengarahkan Tempo untuk meminta penjelasan dari Kepala Seksi Publikasi BP Batam Sazani. Ketika dihubungi, Sazani menolak memberikan keterangan. Hingga tulisan ini terbit, tidak ada tanggapan BP Batam tentang dugaan jaksa ataupun dugaan penimbunan ilegal di hutan mangrove pesisir Batam.
Sama dengan BP Batam, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Batam Herman Rozie juga tak menyahut tentang izin lingkungan penimbunan itu. Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam Amjaya hanya menjawab singkat: “Saya bahas dulu dengan tim DLH.”
Rusaknya hutan mangrove di Kepulauan Riau membuat Ombudsman Kepulauan Riau turun tangan. Belum lama ini Ombdusman menggelar konsinyering bersama instansi pemerintah daerah untuk mencegah meluasnya kerusakan hutan di Kepulauan Riau, termasuk area mangrove. Dalam rapat itu disebutkan ada 47 area hutan di Kepulauan Riau telah beralih fungsi. Angka alih fungsi hutan dan lahan di Batam paling tinggi dalam dua tahun terakhir.
Menurut Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XII Tanjungpinang Budi Setiawan, salah satu penyebab kerusakan hutan mangrove di Kepulauan Riau adalah aturan pengelolaan zona bebas dagang (free trade zone) dengan kawasan hutan.
Menurut Budi, irisan itu membuat kabur kewenangan pemberian izin alih fungsi lahan. Jika alih fungsi dilakukan di kawasan hutan, izin semestinya diterbitkan KLHK seperti diatur Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Masalahnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas, izin pemanfaatan kawasan cukup dikeluarkan oleh BP Batam. Akibat irisan kewenangan ini, penimbunan sungai menjadi wilayah abu-abu.
Dosen hukum di Universitas Internasional Batam, Ampuan Situmeang, menyarankan pemerintah mencabut kewenangan BP Batam mengeluarkan izin alokasi lahan. Sebab, tugas utama BP Batam yang diatur Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Perdagangan Bebas hanya mengatur lalu lintas barang di dalam kawasan industri. “Bukan jadi juragan lahan,” katanya.
Ampuan mengatakan tata kelola wilayah atau kawasan oleh BP Batam ini disebabkan regulasi pemerintah juga. BP Batam bertanggung jawab kepada presiden. Akibatnya, kewenangannya seperti setara menteri. Dengan demikian, pengawasan terhadap BP Batam hanya bisa dilakukan oleh presiden. Itulah penyebab penghancuran area mangrove secara telanjang tak membuat kementerian menyetop atau mempersoalkannya.
Dalam dua tahun terakhir, Akar Bhumi Indonesia melaporkan 20 lebih kasus kerusakan lingkungan di Kota Batam. Dari laporan tersebut, setengahnya adalah laporan kerusakan hutan mangrove dan selebihnya adalah pencemaran laut serta okupansi kawasan hutan secara ilegal. “Dari situ bisa kita simpulkan terjadi kerusakan pesisir yang cukup besar di Batam,” kata Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi.
Dosen kelautan di Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dony Apdillah, mengatakan keberadaan hutan mangrove sangat penting untuk daerah kepulauan seperti Batam. Selain menjadi pendukung kehidupan biota laut, kawasan ini berfungsi sebagai penahan erosi dan intrusi air laut. Kawasan mangrove juga pencegah kenaikan air laut akibat pemanasan global.
Dony mengatakan fungsi hutan mangrove sebagai penahan erosi memang dapat digantikan tanggul. Namun tanggul tak akan menggantikan fungsi ekosistem mangrove. “Jika mangrove hilang, biota laut pasti terancam,” tuturnya. Ia mengatakan rusaknya kawasan mangrove juga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas karang dan padang lamun, ekosistem laut yang banyak menyimpan cadangan karbon.
Yayasan Nusantara Atlas, lembaga swadaya masyarakat sekaligus lembaga riset pemantau hutan dari Prancis, menemukan deforestasi kawasan mangrove di Batam sejak 1990 hingga 2022 seluas 3.377 hektare. Sebanyak 1.984 hektare disebabkan oleh pembangunan perkotaan, sedangkan 1.394 hektare untuk pembangunan waduk. “Ini meliputi semua mangrove, baik sedang, rapat, atau jarang,” ujar David Gaveau, pendiri Nusantara Atlas.
Data Nusantara Atlas tidak jauh berbeda dengan hasil pemantauan satelit peneliti Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang. Sisa tutupan hutan saat ini di pulau utama Batam hanya 2.000 hektare. Kepala Humas Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Didy Wurjadi menjelaskan, area mangrove penting bagi pulau kecil seperti Batam. Tanpa hutan mangrove, dalam jangka panjang pulau ini akan tenggelam karena intrusi air laut tak lagi terhalang.
Untuk sementara, Batam belum akan tenggelam. Yang ada baru abrasi karena penimbunan hutan-hutan mangrove di pesisir yang menyengsarakan para nelayan seperti Amin, Ganip, dan Saparuddin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo