Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bersama Luhut Pandjaitan dan Erick Thohir, Arsjad Rasjid terseret dalam polemik bisnis tes PCR.
Arsjad menggagas pembentukan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) dan mengajak Luhut dan kakak Erick, Boy Thohir, sebagai pendiri.
Arsjad membentuk GSI sebagai perseroan terbatas ketimbang yayasan dengan alasan sebagai perusahaan sosial.
MOHAMMAD Arsjad Rasjid sedang berada di Eropa ketika pemberitaan tentang bisnis tes polymerase chain reaction (PCR) menghebohkan publik. Di sela konferensi iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, awal November lalu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia itu bertemu dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. “Dia tertawa dan bilang, ‘Pak Arsjad, tanggung jawab kau’, he-he-he....” tutur Arsjad, 51 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 5 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Arsjad dan Luhut disebut dalam laporan utama majalah Tempo edisi 1-7 November 2021 mengenai keputusan pemerintah yang mewajibkan tes PCR bagi penumpang penerbangan. Publik mempersoalkan keputusan itu meski pemerintah sudah menurunkan harganya. Tempo menemukan nama Luhut, Arsjad, hingga Garibaldi Thohir—kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir—terjun dalam bisnis tes usap tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arsjad membenarkan bahwa ia menggagas pembentukan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) pada April 2020. Perusahaan ini menjalankan unit bisnis GSI Lab yang bergerak di bidang layanan tes usap PCR dan antigen. Dalam mendirikan perusahaan itu, Ketua Dewan Pembina Yayasan Indika untuk Indonesia ini mengajak kolega bisnisnya, antara lain Boy Thohir—sapaan Garibaldi; pendiri firma investasi Northstar Group, Patrick Sugito Walujo; hingga Luhut, yang disampaikan melalui keponakannya, Pandu Patria Sjahrir. Yayasan Indika untuk Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas PT GSI. “Saya enggak ngerti mengapa bisa meledak seperti ini. Saya benar-benar kaget dan saya merasa bersalah karena saya yang memulainya,” ujar Arsjad.
Melalui konferensi video, Arsjad yang sedang berada di Dubai, Uni Emirat Arab, menerima wartawan Tempo, Bagja Hidayat, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan. Presiden Direktur PT Indika Energy Tbk ini menceritakan awal mula pembentukan PT GSI, terseretnya nama Luhut dan Erick, hingga dugaan konflik kepentingan dalam bisnis tes PCR.
Bagaimana ceritanya Anda terjun ke bisnis tes PCR?
Saya pertama kali menjalani tes PCR pada Maret 2020. Itu pertama kali dalam hidup saya. Waktu itu kebetulan setelah ibu saya meninggal. Memang sudah ada nuansa Covid-19. Banyak orang yang menghadiri acara tujuh harian ibu saya. Oleh anggota staf kantor, saya disarankan untuk menjalani tes PCR. Saya dan pemimpin Indika menjalani tes di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana, Jakarta Pusat. Saat itu harganya, kalau tidak salah, Rp 4 juta. Hasilnya baru keluar tujuh atau sepuluh hari. Malah ada salah satu anggota direksi Indika setelah dites, hasilnya belum keluar, dia masuk rumah sakit. Sudah pakai ventilator baru keluar hasil tes PCR-nya. Waktu saya tanya kenapa hasilnya lama, ternyata kita tidak punya banyak (laboratorium) PCR.
Apa tindak lanjutnya setelah itu?
Suatu hari saya ngobrol dengan Pak Doni Monardo (mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19). Saya tanya apa saja tantangan dalam menghadapi pandemi. Kami mencoba membantu. Salah satunya waktu itu enggak ada laboratorium PCR. Kalau tidak salah kapasitas seluruh Indonesia hanya 10 ribu sampel per hari. Pak Doni bilang ke saya, “Misalnya Mas mau bantu, bangun laboratorium untuk PCR karena kita perlu untuk testing.” Ceritanya bermula dari situ.
Berapa kapasitas laboratorium tes PCR yang dibutuhkan saat itu?
Pak Doni menjawab kalau bisa 10 ribu membantu banget. Kita perlu testing semuanya. Tapi khususnya di Jakarta dulu. Idenya berawal dari situ. Tadinya juga saya enggak tahu yang namanya PCR. Kebetulan kami punya perusahaan Medika Plaza. Ada dokter Nino Susanto di situ. Saya tanya tentang PCR. Dari situ saya mulai mengerti. Saya juga berdiskusi dengan seorang profesor lulusan Harvard University, Amerika Serikat, yang kuliah di University of Oxford, Inggris. Kebetulan waktu itu dia mengunjungi Indonesia. Saya diajari tentang PCR.
Bagaimana ide awal pembentukan PT Genomik Solidaritas Indonesia?
Itu inisiasinya oleh Yayasan Indika untuk Indonesia. Kebetulan saya Ketua Dewan Pembina Yayasan Indika untuk Indonesia. Saya minta dokter Nino dan profesor dari Oxford mencari mesin dan reagennya. Waktu itu mesinnya rebutan. Ada dari Cina, Korea Selatan, Amerika Serikat, hingga Jerman. Akhirnya kami mendapatkannya dari Korea Selatan. Tidak mudah karena semua orang di dunia ingin mendapatkan mesin PCR. Dari situ saya terpikir untuk mengajak teman-teman yang lain.
Mohammad Arsjad Rasjid saat wawancara dengan Tempo via konferensi video, 5 November 2021/Tangkapan Layar: TEMPO/ Jati Mahatmaji
Siapa saja yang Anda ajak?
Pertama saya telepon Pak Boy (Thohir). “Boy, ayo bantu.” Setelah itu, saya telepon Pandu (Sjahrir). Pandu mengajak Pak Luhut. Terus ada Patrick Walujo yang ikut membantu. Bapak-bapak ini ikut-ikutan saja semua. Saya terbuka karena konsepnya adalah solidaritas. Makanya namanya PT Genomik Solidaritas Indonesia. I actually created that name. Karena dalam konteks solidaritas, saya ingin ini adalah solidaritas kita bersama. Sambil berjalan akhirnya kami mendirikan perseroan terbatasnya.
Berapa modal yang terkumpul untuk membangun infrastruktur laboratorium dan menyiapkan tenaganya?
Cukup untuk belanja modal. Harga barangnya pada waktu itu mahal. Mesin-mesin PCR kami bisa untuk genomic sequencing guna mendeteksi varian-varian virus. Kami adalah salah satu laboratorium terbesar yang bisa mendeteksi varian delta di Indonesia. Bisa tanya Pak Budi (Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin). Saat itu enggak ada yang menanyakan bagaimana balik modalnya. Saya mengatakan, “Tolong, ya, kita perlu membangun ini. Kita perlu modal sekian.”
Kapan persisnya PT GSI beroperasi?
Kalau tidak salah April 2020. Saya masih ingat waktu itu ada diskusi Pak Presiden bicara ingin target tes PCR sebanyak 20 ribu atau 30 ribu per hari.
Sejak kapan GSI Lab mulai melakukan pengetesan PCR?
Mulai Agustus 2020. Kami inginnya lebih cepat lagi, tapi mencari barangnya susah.
Ketika mengajak Luhut Pandjaitan, apakah Anda tidak terpikir bahwa hal ini kelak bisa menimbulkan persoalan?
Saya sama sekali tidak kepikiran. Semua hanya bilang, ayo bantu. Saya tidak melihat Pak Luhut sebagai seorang menteri dan segala macam. Mungkin ini memang salah saya. Saya terus terang enggak mikirin itu. Kami chip in sama-sama.
Dua perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut Panjaitan, yaitu PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi, disebut menjadi pemegang saham PT GSI. Berapa persen andilnya?
Nanti saya akan berikan struktur persahamannya.
Dalam akta PT GSI tercatat para pendiri menyetorkan modal Rp 2,960 miliar ekuivalen dengan 2.969 lembar saham. Benarkah Yayasan Indika untuk Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas PT GSI dengan 932 lembar saham senilai Rp 932 juta?
Saya nanti kasih data exact-nya supaya enggak salah.
(Melalui pesan WhatsApp, anggota staf Arsjad Rasjid, Kiki Paruntu, menyebutkan seluruh modal awal, persentase kepemilikan saham, dan jumlah tes PCR yang telah dilakukan GSI sudah pernah diterbitkan dalam berita berjudul “Staf Khusus Erick Thohir: Kalau Tidak Pakai PCR, BUMN Untung” di Tempo.co, 2 November 2021. Kiki menyebutkan informasi mengenai revenue dan profit GSI yang merupakan perusahaan terbatas tidak dapat diungkapkan ke publik.)
Kapan Anda pertama kali mengetahui pemberitaan ini?
Saya waktu itu sedang muter di Eropa. Dari Roma, saya ke London, lalu ke Glasgow.
Apakah Anda sempat berkomunikasi dengan Luhut Pandjaitan atau Erick Thohir ketika persoalan ini muncul di media massa dan ramai diperbincangkan publik?
Kebetulan kami bertemu di Glasgow.
Apa reaksi Pak Luhut sewaktu bertemu dengan Anda?
Dia ketawa dan bilang, “Pak Arsjad, tanggung jawab kau.” He-he-he…. Kami memang sudah tidak pernah lagi ngomongin ini sejak awal mendirikan PT GSI.
Bagaimana dengan Erick Thohir?
Pak Erick tanya, “Sjad, ini gimana?” “Gua juga enggak tahu,” kata saya. Saya waktu awal itu enggak mengajak ngomong Pak Erick. Saya cuma berbicara dengan Boy. Malah saya ngomong sama Erick gara-gara (pemberitaan) ini.
Luhut dan Erick dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan terlibat bisnis tes PCR. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya bilang ini gila. Sorry to say, tapi berlebihan, lah. Ya, ampun. Ya, Allah.
Jika tujuan pendirian GSI untuk membantu meningkatkan pengetesan, mengapa bentuknya perseroan terbatas?
Kalau mungkin dulu tahu bakal begini, saya bilang ke teman-teman bikin yayasan saja. Karena waktu itu tarik-menariknya mau bikin yayasan atau PT. Saya yang minta PT supaya sustainable tapi sosial. Saya berpikir ini soal giving back, it's not taking back. Saya dari awal ngomong ke karyawan bahwa ini adalah perusahaan sosial. Salah saya, entitasnya memang belum ada.
Mengapa tidak dibikin dalam bentuk yayasan?
Seharusnya yayasan. Tapi saya enggak mau yayasan karena fleksibilitasnya enggak ada. Saya sebetulnya ingin menjadikan (PT GSI) ini sebagai contoh perusahaan sosial dalam konteks mendorong pembuatan Undang-Undang Kewirausahaan Sosial. Perusahaan sosial di Indonesia belum dikenali secara hukum. Kalau di Amerika Serikat namanya B Corp. Di Singapura dan Inggris juga ada PT sosial.
Apa yang membedakan yayasan dengan perusahaan sosial?
Kalau lembaga filantropi uangnya habis. Tapi PT sosial berkelanjutan. Memang harus ada profit supaya ada sustainability. Jadi orang enggak memasukkan uang lagi dan lagi (seperti yayasan). Uang di PT sosial bisa diputar terus untuk kepentingan misi yang kami mau jalankan. Inilah kesepakatan di antara para pemegang saham.
Tidak ada pembagian dividen untuk para pemegang saham?
Sebagian besar profit akan lari kembali pada misinya. Artinya, uang itu digunakan untuk investasi lagi, dalam hal ini khusus untuk keperluan kesehatan, misalnya genomic sequencing. Pembagian dividen disepakati harus lebih kecil dibanding dana yang dipakai untuk kepentingan misinya.
Setelah menuai protes dari masyarakat, pemerintah akhirnya menurunkan harga tes PCR menjadi Rp 275 ribu di Jawa-Bali dan 300 ribu untuk wilayah selain itu. Bagaimana Anda merespons kebijakan ini?
Kami kaget ketika ada keputusan itu. Kami enggak pernah mempengaruhi keputusan (pemerintah).
Bagaimana reaksi para pengusaha yang bernaung di bawah Kamar Dagang dan Industri Indonesia?
Ada yang merasa bahwa itu kemurahan. Ada yang merasa mereka baru memulai bisnisnya (tes PCR). Ada suara-suara itu.
Apakah pemerintah tidak berkomunikasi dengan Kadin sebelum menurunkan harga tes PCR?
Tidak pernah dikomunikasikan.
Publik beranggapan pejabat publik yang namanya terseret dalam bisnis tes PCR ini telah menangguk untung besar. Bagaimana Anda menyikapi terjadinya konflik kepentingan tersebut?
Kalau bicara konflik kepentingan, market share PT GSI berapa sih dibanding total semua kapasitas yang ada hari ini? Ketika dulu di awal memang sedikit (perusahaan yang berbisnis tes PCR). Tapi hari ini kami hanya kecil daripada total market yang ada. Pada akhirnya pemerintah menurunkan harganya. Jadi saya enggak mengerti mengapa bisa meledak seperti ini. Saya benar-benar kaget dan saya merasa bersalah karena saya yang memulainya, bukan mereka. Jadi saya merasa bertanggung jawab.
MOHAMMAD ARSJAD RASJID P. MANGKUNINGRAT
• Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 16 Maret 1970 • Pendidikan: Computer Engineering di University of Southern California, Amerika Serikat (1990); Bachelor of Science in Business Administration di Pepperdine University, California (1993) • Karier: Direktur Utama dan CEO Grup PT Indika Energy Tbk (2005-2013), Komisaris PT Petrosea Tbk (2013-2015), Komisaris Utama PT Petrosea Tbk (2015-2016), Komisaris Utama PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (2010-2017), Komisaris Utama PT Indika Infrastruktur Investindo (sejak Juni 2020), Komisaris Utama PT Indika Multi Properti (sejak Oktober 2019), Komisaris PT Tripatra Engineers & Constructors dan PT Tripatra Engineering (sejak April 2021), Komisaris PT Indika Inti Corpindo (sejak Juni 2020), Komisaris PT Grab Teknologi Indonesia (sejak 2020), Komisaris PT Net Mediatama Televisi (2014-2020), Komisaris Kideco (sejak Februari 2017), Komisaris PT Indika Infrastruktur Energi (sejak Desember 2016), Komisaris PT Rukun Raharja Tbk (sejak Juni 2014), Ketua Dewan Pembina Yayasan Indika untuk Indonesia (sejak Februari 2017), Presiden Direktur PT Indika Energy Tbk (sejak April 2016), Pendiri PT Genomik Solidaritas Indonesia (2020) • Organisasi: Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Pengembangan Pengusaha Nasional (2017-2021), Ketua Umum Kadin Indonesia (sejak Juli 2021).
Meskipun pangsa pasar PT GSI kecil, keberadaan nama pejabat negara dalam struktur pemegang saham perusahaan telah memicu kontroversi….
Di dalam bisnis, kita akan bertemu dengan conflict of interest. Makanya harus diatur dalam tata kelola perusahaan yang baik. Jika Anda memiliki konflik kepentingan, Anda harus mendeklarasikannya. Kalau dibilang konflik kepentingan selalu enggak boleh, semua orang akan sulit. Di Amerika, di mana-mana seperti itu. Kita pasti bertemu dengan konflik kepentingan, hanya harus diatur dengan baik.
Dalam konteks PT GSI, apakah Anda menilai telah terjadi konflik kepentingan dengan masuknya nama pejabat negara ke struktur pemegang saham?
Kepemilikan kami cuma yayasan. Seperti Boy di Yayasan Adaro. Menurut saya itu terlalu jauh. Saya tidak tahu struktur PT-nya Pak Luhut. Cuma dia berada di ujung. Masak dia yang sebelumnya menjadi pengusaha enggak boleh jadi pemegang saham? Kan, susah. Saya melihatnya ini bukan conflict of interest, tapi semacam ada “related party” di dalam situ. Apakah kami membuat keputusannya dan kami diuntungkan? Tidak. Dan berapa banyak (uang) yang kita bicarakan? Pak Luhut hanya di awal saja. Pak Erick enggak pernah sama sekali. Saya tidak ikutan dalam manajemen GSI Lab.
Bagaimana melepaskan dugaan konflik kepentingan ketika nama Luhut masih tercatat dalam akta perusahaan itu?
Memangnya enggak boleh punya saham di perusahaan? Di sini kita juga salah lho kalau begitu. Berarti orang yang tadinya pengusaha dan bekerja di pemerintahan mau mengabdi enggak boleh dan harus menjual semua (sahamnya). Kan, enggak juga. Nanti bagaimana uangnya? Dia kan mesti hidup juga. Yang paling penting adalah dana tersebut datangnya dari mana. Bagaimana uang itu dikumpulkan dari awal? Dan ujungnya mesti dilihat, sumber pendanaannya dari mana.
Anda tidak melihat konflik kepentingan sebagai masalah yang serius di Indonesia?
Conflict of interest, ya, ada, tergantung kasus-kasusnya. Saya tidak mengatakan tidak menjadi masalah. Ini menjadi masalah bukan hanya di Indonesia. Ada konflik kepentingan, tapi bagaimana kita membuat peraturan atau mengelola proses benturan kepentingan itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo