Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Malam Warna-warni Kebun Botani

Hiburan malam Glow di Kebun Raya Bogor diprotes karena digelar tanpa basis ilmiah. Badan Riset dan Inovasi Nasional berkeras meneliti di lokasi.

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Glow, wisata malam dengan pertunjukan lampu warna-warni di Kebun Raya Bogor, tidak memiliki basis kajian ilmiah.

  • Wisata malam itu malah berbahaya bagi pohon dan tumbuhan.

  • Apa dampaknya bagi satwa liar Kebun Raya Bogor?

GAPURA bambu di jalan masuk Taman Meksiko di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, membuat penasaran Melani Abdulkadir-Sunito. Pada Agustus lalu, pengajar di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor atau IPB University ini berkunjung ke sana setelah kebun botani 204 tahun itu lima bulan tutup akibat Covid-19. Taman kaktus itu masih tutup karena direnovasi, begitu pula Taman Akuatik di bawahnya. “Pagar penutupnya bertulisan ‘semua akan indah pada waktunya’. Makin penasaran,” kata Melani, Kamis, 28 Oktober lalu.

Rasa penasaran Melani terjawab dalam kunjungan berikutnya, sepekan kemudian. “Pengelola Kebun Raya Bogor (PT Mitra Natura Raya) telah memasang papan info mengenai Glow di sana-sini,” ujar pendiri dan peneliti Samdhana Institute, lembaga non-pemerintah bidang pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. “Waktu itu anak saya mengatakan, ‘Ma, rasanya ini bukan rumahku lagi’,” tutur Melani mengenai respons anaknya atas perubahan di Kebun Raya Bogor.

Melani mendapati di Taman Akuatik bertebaran lampu bola yang mengapung di kolam. Lampu-lampu lilin juga ditancapkan di dekat tanaman air. Ada kafe berbentuk kubus. Jalan tanah dan rerumputan berganti dengan pelataran semen. Taman Meksiko tak kalah meriah. Ada kafe yang tampak seperti rumah pueblo. Tiang-tiang berwarna hijau yang memiliki lampu sorot dan penembak laser ditempatkan di beberapa titik koleksi.

Melani menuangkan kegundahan itu dalam tulisan di laman Facebook miliknya pada 30 Agustus lalu. “Glow, ‘wisata malam bernuansa digital, inovasi baru, sensasi jelajah ditemani instalasi lampu gemerlap’ adalah keserakahan. Nilai konservasi Kebun Raya Bogor melorot, hak hidup tetumbuhan dan makhluk lain disingkirkan atas nama hiburan milenial dan pendapatan,” tulis Melani. Sebanyak 180 akun berkomentar. Sebagian memintanya membuatkan petisi online.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana zona Meksiko, yang akan menjadi salah satu Zona GLOW, di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, 5 November 2021/Tempo / Dika Yanuar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petisi “Stop Glow-Dukung WHS KRB” pun meluncur di laman Change.org pada 27 September lalu. Dua pekan sebelumnya, muncul petisi lain yang diusung oleh Pamong Budaya Bogor. Mereka mendesak Wali Kota Bima Arya membatalkan Glow di Kebun Raya Bogor. Menurut mereka, kebun raya itu adalah aset negara yang memiliki nilai nonmateriil, yaitu penelitian, kebudayaan, dan sejarah, serta menjadi tempat sakral masyarakat Pasundan, Galuh, Pakwan, dan Pajajaran.

Dedy Darnaedi, Kepala Kebun Raya Bogor (KRB) periode 1997-2003, mengaku mendapat banyak pertanyaan dan keluhan dari berbagai kalangan masyarakat mengenai KRB . Ia pun mengajak empat mantan Kepala KRB lain, Made Sri Prana (1981-1983), Usep Soetisna (1983-1987), Suhirman (1990-1997), dan Irawati (2003-2008), membuat surat untuk meneruskan aspirasi masyarakat itu. Surat bertajuk “Menjaga Marwah Kebun Raya” yang ditujukan kepada Sekretaris Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu kemudian viral di grup WhatsApp.

“Awalnya kami menyerahkan keputusan ke pimpinan untuk meninjau. Namun sekarang sudah banyak bukti literatur yang mengatakan artificial light at night (ALAN) itu berdampak negatif bagi ekosistem. Tidak ada satu paper pun yang mengatakan ALAN menguntungkan,” kata Dedy saat ditemui, Ahad, 31 Oktober lalu. “Jadi kami cenderung mengatakan jangan diadakan (Glow). Stop saja, masih banyak alternatif,” ucap Direktur Center for Sustainable Use of Tropical Plants Resources Studies Universitas Nasional, Jakarta, ini.

Bukti literatur yang dimaksud Dedy adalah hasil riset oleh sejumlah peneliti di luar negeri mengenai dampak ALAN bagi tumbuhan dan hewan. Rektor IPB University Arif Satria membenarkan kabar bahwa Wali Kota Bogor meminta kampusnya mengkaji dampak Glow di KRB terhadap ekosistem. Arif mengatakan waktu yang diberikan sangat singkat sehingga pihaknya membuat kajian cepat. "Kajian cepat berdasarkan data sekunder, termasuk pengalaman di negara lain," tuturnya, Selasa, 26 Oktober lalu.

Salah satu literatur yang ditelaah IPB adalah laporan riset Jonathan Bennie dari University of Exeter, Inggris, yang dipublikasikan di Journal of Ecology pada 2016. Menurut kajian itu, ALAN bisa mengubah ritme jam biologis tumbuhan. Bila ada cahaya buatan pada malam yang seharusnya gelap, terjadi fotosintesis. Akibatnya, laju alokasi hasil fotosintesis menurun. Jika terjadi dalam waktu lama, hal itu akan menyebabkan metabolisme sel tumbuhan terganggu dengan gejala kerontokan daun hingga berujung kematian.

Penelitian Kwak Myeong-ja dari Department of Environmental Horticulture University of Seoul, Korea Selatan, juga menjadi referensi IPB. Riset yang dipublikasikan dalam jurnal Forest pada 2018 itu menyebutkan keberadaan ALAN untuk jangka panjang sangat memungkinkan bagi munculnya ekspresi sifat yang sebelumnya tidak pernah ada. Sebab, ALAN menjadi faktor lingkungan yang menyebabkan tumbuhan mengalami stres.

Gerbang Masuk untuk memulai Glow Experience, di Kebun Raya Bogor, 5 Nopember 2021/Tempo/Dika Yanuar

Wali Kota Bogor Bima Arya dalam suratnya kepada Ketua Aliansi Komunitas Budaya Jawa Barat yang salinannya menyebar di kalangan wartawan menjelaskan, berdasarkan kajian IPB, Glow berpotensi memberikan dampak terhadap ekosistem KRB, lingkungan di luar KRB, dan Kota Bogor. Dalam surat yang ditembuskan kepada Kepala BRIN dan pemimpin PT Mitra Natura Raya itu, Bima meminta keduanya mengevaluasi konsep Glow bersama IPB. PT Mitra Natura Raya juga diminta menghentikan operasi Glow selama evaluasi.

Director Sales and Marketing PT Mitra Natura Raya Michael Bayu Sumarijanto mengatakan sangat menghormati keputusan Wali Kota Bima Arya. “Namun kami sepenuhnya mengikuti keputusan BRIN,” kata Bayu menjawab surat Tempo, Sabtu, 6 November lalu. “BRIN melakukan kajian bukan hanya mengacu pada literatur, tapi melakukan kegiatan penelitian langsung di lokasi Glow,” ujarnya.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyatakan tidak menerima tembusan surat Wali Kota Bogor itu. Ihwal permintaan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Glow, Handoko sangat setuju. “Yang saya suruh diriset itu bukan hanya Glow. Riset juga lampu-lampu di sekeliling KRB ini yang sangat terang setelah ada jalur pedestrian,” ucap Handoko saat ditemui di Hotel Royal, Bogor, Selasa, 2 November lalu. “Itu harus diteliti supaya saya punya basis, panduan untuk semua kebun raya dan taman kota.”

Menurut Handoko, Glow adalah ide PT Mitra Natura Raya sebagai wisata edukasi bagi pengunjung KRB. “Seingat saya, ide Glow itu 2020. Mereka sudah mengurus izin ke Istana dan sebagainya. Karena mau buka Kebun Raya Bogor untuk malam juga,” tuturnya. “Saya tanya, mengapa Glow? Mereka bilang banyak kebun raya di dunia melakukan itu. Edinburgh, Perth, New York, macam-macam. Singapura sudah jelas.”

Tempo mengecek ke Singapore Botanic Garden yang menjadi rujukan PT Mitra Natura Raya dan BRIN untuk menggelar Glow. Kebun botani tropis 162 tahun itu pernah membuat proyek pilot pertunjukan lampu di malam hari pada 2012, tapi kabar proyek tersebut tak pernah terdengar lagi. “Singapore Botanic Garden tidak memiliki kegiatan malam terorganisasi, termasuk pertunjukan cahaya,” kata Ng Li-San, Direktur Komunikasi Dewan Taman Nasional Singapura, menjawab surat elektronik Tempo, Jumat, 5 November lalu.

Handoko tidak menjawab jelas ketika ditanyai apakah ide Glow sudah dilengkapi kajian ilmiah. “Waktu itu sejujurnya saya tanya, problem enggak? Ini kan kebun raya. (Kata mereka) yang lain juga melakukan’,” ujarnya. Menurut dia, dalam soal Glow, ada satu sisi yang menganggapnya berpotensi merusak ekosistem. “Sisi yang lain mengatakan tidak ada masalah. Kebun raya itu kan taman kota. Kebun raya itu artifisial, jadi tidak ada ekosistem alami,” ucap mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut.

Pernyataan Handoko tentang tidak adanya ekosistem alami di KRB berbeda 180 derajat dengan kajian cepat IPB University. Menurut telaah IPB, selama perjalanan lebih dari 200 tahun, telah terjadi suksesi ekologi KRB menjadi relung ekologi tersendiri. Bersama perubahan ekologi itu, terjadi asosiasi antara tumbuhan koleksi dan satwa liar. Laporan mengenai satwa liar di KRB didominasi penelitian burung, kelelawar, dan serangga. KRB juga kemungkinan besar menjadi habitat amfibi, reptil, dan mamalia.

Ibnu Maryanto, profesor riset bidang zoologi pada Pusat Riset Biologi BRIN, adalah penemu sepuluh spesies kelelawar di KRB. Penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Biologi Indonesia pada 2010 itu menyebutkan sembilan spesies di antaranya adalah kelelawar subordo Megachiroptera yang merupakan pemakan buah dan nektar sehingga berfungsi sebagai penyerbuk dan penyebar biji. Jenis kelelawar ini mempunyai wilayah jelajah yang sempit sehingga diperkirakan hidupnya di sekitar KRB.

Menurut Ibnu, penelitiannya di KRB pada 2008-2009 itu bertujuan mengelompokkan kelelawar pemakan buah dan nektar berdasarkan karakteristik pakan polen. Jenis kelelawar yang mereka tangkap untuk penelitian ini adalah Cynopterus minutus, Cynopterus brachyotis, Cynopterus sphinx, Cynopterus titthaecheilus, Macroglossus sobrinus, Rousettus amplexicaudatus, dan Eonycteris spelaea. Minimal ada 42 genus tumbuhan di Kebun Raya Bogor yang bergantung pada kelelawar,” kata Ibnu, Rabu, 27 Oktober lalu.

Mirza Dikari Kusrini, ahli herpetologi dan pengajar di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, juga melakukan penelitian di KRB saat menjadi mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB pada 2001. Ia menemukan delapan spesies katak dan kodok, yakni Bufo asper, Duttaphrynus melanostictus, Rana erythraea, Rana calconota, Limnonectes macrodon, Fejervarya limnocharis, Microhyla achatina, dan Polypedates leucomystax.

Menurut Mirza, habitat amfibi di KRB terbagi menjadi dua area besar, yaitu akuatik dan terestrial. Habitat akuatik adalah kolam dan sungai, sedangkan habitat terestrial meliputi lantai hutan dan pepohonan. “Jenis-jenis yang ditemukan pada saat itu sebenarnya adalah jenis yang umum dijumpai di permukiman, walaupun masih ada jenis katak pohon yang agak sulit dijumpai saat ini di permukiman,” tutur Mirza melalui pesan WhatsApp, Selasa, 2 November lalu.

Meski area penyebarannya luas, menurut Mirza, katak dan kodok itu tetap penting karena biodiversitas di perkotaan makin berkurang. “Sesuatu yang umum bisa menjadi langka karena habitatnya hilang,” ujarnya. “Sekarang di perumahan urban paling bisa menemukan satu-dua kodok buduk. Kebun raya menyediakan refugium bagi berbagai jenis satwa liar, termasuk katak di perkotaan,” ucap Mirza, yang pada bulan ini menggelar Gerakan Observasi Amfibi Reptil Kita, yakni kegiatan sains warga untuk mendata jenis amfibi dan reptil.

Penelitian lebah juga dilakukan Sih Kahono, peneliti Pusat Riset Biologi BRIN, di KRB sejak 1985. Menurut doktor ekologi dari Kanazawa University, Jepang, itu, pada awal penelitiannya di KRB, terdapat belasan pohon yang menjadi tempat bersarang lebah madu raksasa alias Apis dorsata. “Jumlahnya terus menurun hingga tinggal satu pohon saja pada awal Pak Joko Widodo menjabat presiden,” katanya, Rabu, 27 Oktober lalu.

Kahono mengatakan populasi Apis dorsata di KRB kemudian meningkat dari satu pohon tempat bersarang menjadi tiga pohon. “Pertama itu Pohon Jodoh, Ficus albipila, yang lokasinya dekat Lapangan Sempur. Di situ ada belasan sarang,” tuturnya. “Pohon kedua adalah kenari babi, ini lokasinya sebelum Makam Mbah Jepra. Di situ ada 16 sarang. Yang satu lagi di dekat Tugu Kujang, di sebelah kolam. Jenis pohonnya saya tidak tahu, di situ ada tiga sarang.”

Berdasarkan pengamatan Kahono terhadap video yang diambil oleh peneliti BRIN, Apis dorsata tertarik pada lampu-lampu Glow. “Lebah ini mengunjungi bunga pada siang dan malam. Sewaktu perjalanan mengunjungi bunga pada malam itu, dia tertarik pada lampu,” katanya. “Menempel di lampu-lampu yang kuat (kilauannya). Di satu lampu itu ada puluhan lebah. Bahkan ada yang bergerombol di sudut lampu seperti bola.”

Mirza juga mengungkapkan dampak buruk ALAN bagi katak. “Katak adalah satwa nokturnal. Artinya, mereka terbiasa dalam keadaan gelap,” ujarnya. “Adanya cahaya dapat memudahkan predator mendeteksi mereka.” Mirza mencontohkan, ketika dia melakukan penelitian di persawahan, katak sawah cenderung bersembunyi dan sulit ditemukan ketika bulan purnama tiba. “Katak yang sedang mencari pasangan dengan bersuara akan berhenti bersuara jika disorot oleh lampu senter.”

Perihal perilaku seks yang terganggu oleh ALAN, Mirza menambahkan, juga diteliti oleh Morgane Touzot dari University of Lyon, Prancis. “Penelitian Morgane menggunakan katak yang memang umum dijumpai di Eropa, Bufo bufo. Pada saat terkena cahaya, katak akan mengubah perilakunya dari aktif menjadi pasif,” kata Mirza. “Katak jantan bersuara untuk mencari pasangan. Otomatis jika katak tidak mau bersuara mereka tidak akan kawin.”

Pelaksana tugas Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati, Iman Hidayat, mengatakan belum ada bukti ilmiah Glow berdampak buruk atau tidak. “Karena itu, tugas peneliti dan akademisi membuktikan dampaknya secara ilmiah supaya dapat dipertanggungjawabkan,” tutur Iman melalui pesan WhatsApp, Jumat, 5 November lalu. “Pusat-pusat riset di BRIN yang memiliki kompetensi terkait dengan biodiversitas dan ekologi akan melakukan kajian dan penelitian bekerja sama dengan akademisi dari perguruan tinggi.”

Iman mengungkapkan, pihaknya sedang mendiskusikan metodologi yang tepat untuk penelitian ini dengan pakar-pakar. Adapun Laksana Tri Handoko mengatakan penelitian itu tidak bisa dilakukan di luar KRB. “Harus di kondisi existing sehingga akan terlihat pengaruhnya. Kena matahari bagaimana, sinar dari jalan, tanpa ada sinar, dan kena Glow bedanya kayak apa,” ujarnya. Namun, menurut Dedy Darnaedi, penelitian harus diadakan di luar Kebun Raya Bogor. “Di daerah yang belum pernah kena sinar lampu, agar orisinal.”

 ABDUL MANAN, DINI PRAMITA, MUHAMMAD SIDIK PERMANA (BOGOR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus