Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Mengapa Sulit Membawa Israel ke Pengadilan Kejahatan Perang

Tiga organisasi HAM Palestina meminta Israel diperiksa karena melakukan genosida. Dihadang Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa.  

19 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tiga organisasi hak asasi manusia Palestina, Al-Haq, Al-Mezan, dan Pusat Hak Asasi Manusia Palestina (PCHR), melayangkan gugatan atas kejahatan Israel di Palestina kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

  • Dalam tuntutannya, Al-Haq dan mitra meminta jaksa memasukkan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama apartheid dan genosida.

  • Israel dan Amerika Serikat kukuh menolak penyelidikan ICC di Palestina.

TIGA organisasi hak asasi manusia Palestina, Al-Haq, Al-Mezan, dan Pusat Hak Asasi Manusia Palestina (PCHR), melayangkan gugatan atas kejahatan Israel di Palestina kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, Kamis, 9 November lalu. Mereka diwakili oleh Emmanuel Daoud, pengacara dari Paris yang punya reputasi internasional dalam penuntutan perkara kasus hak asasi manusia (HAM).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daoud pula yang turut mengajukan tuntutan ke International Criminal Court (ICC) mengenai dugaan kejahatan perang karena pemindahan paksa anak-anak Ukraina ke Rusia, yang berujung keluarnya perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin pada Februari lalu. “Tidak ada tempat untuk standar ganda dalam peradilan internasional. Apakah kejahatan perang itu dilakukan di Ukraina atau Palestina, pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban,” ujarnya seperti tertulis dalam siaran pers Al-Mezan, Kamis, 9 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam tuntutannya, Al-Haq dan mitra meminta jaksa memasukkan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama apartheid dan genosida, dalam penyelidikan oleh ICC di Palestina yang dimulai pada Maret 2021. Mereka juga meminta Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan perintah penangkapan secepatnya antara lain terhadap Presiden Israel Isaac Herzog, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. 

Selain oleh ketiga lembaga ini, aduan serupa ihwal kejahatan Israel terhadap Palestina ke ICC disampaikan oleh Afrika Selatan, Bangladesh, Bolivia, Komoro, dan Djibouti. Lembaga lain yang melakukan upaya yang sama adalah Reporters Without Borders (RSF). Lembaga yang bergerak dalam kampanye keselamatan jurnalis ini pada Senin, 31 Oktober lalu, mengadu ke ICC karena setidaknya ada 34 jurnalis yang terbunuh sejak Israel mengebom Gaza pasca-Peristiwa 7 Oktober.

Penyelidikan ICC di Palestina di bawah kepemimpinan jaksa ICC asal Gambia, Fatou Bensouda. Dalam Pernyataan Jaksa ICC pada 20 Desember 2019, Bensouda menyimpulkan ada indikasi terjadi kejahatan perang oleh Israel di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Dalam gugatan yang dilayangkan oleh tiga lembaga yang terbaru ini, ICC diminta juga menyelidiki dugaan kejahatan genosida oleh Israel terhadap Palestina. 

Warga Palestina melarikan diri dari Gaza ketika tank-tank Israel meluncur ke wilayahnya di Jalur Gaza, Palestina, 18 November 2023. Reuters/Mohammed Salem

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida mendefinisikan genosida sebagai “tindakan apa pun yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama”. Salah satu tantangan mengajukan tuntutan soal ini adalah pada pembuktiannya. 

Irfan R. Hutagalung, pengajar hukum internasional di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan kejahatan yang masuk yurisdiksi ICC ada empat, yaitu kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan, genosida, dan kejahatan agresi. Berbeda dengan tiga yang lain, salah satu yang cukup sulit dalam genosida adalah membuktikan “niat untuk membunuh atau menghancurkan” tersebut.

Para ahli PBB, kata Irfan, sebenarnya memberi indikasi perihal ini saat merespons pengeboman secara terus-menerus oleh Israel ke Gaza yang menewaskan lebih dari 10 ribu orang, termasuk lebih dari 4.000 anak-anak. “Kami tetap yakin bahwa rakyat Palestina berada pada risiko besar terjadinya genosida,” ucap para ahli PBB seperti dirilis dalam situs PBB, Kamis, 2 November lalu. 

Bagi Irfan, indikasi kuat genosida oleh Israel di Gaza bisa dilihat dari pernyataan pejabat Israel sendiri. Misalnya Netanyahu yang mengatakan bahwa orang Palestina seperti Amalek, orang yang di dalam Alkitab dikategorikan bisa dibunuh. “Pernyataan pemimpin Israel, perdana menterinya, menteri, dan juga tokoh-tokoh penting di Israel menunjukkan bahwa niat untuk menghancurkan itu tampak,” tuturnya. 

Pelapor khusus PBB untuk Situasi Hak Asasi Manusia di Palestina 2014-2016, Makarim Wibisono, menilai tindakan Israel di Gaza membunuh anak-anak, ibu, dan orang tua itu sebagai hukuman kolektif yang dilarang oleh hukum internasional. Kalau hendak melakukan penghukuman, seharusnya hal tersebut dilakukan terhadap pelaku serangan 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel, bukan kepada yang lain. “Itu jelas termasuk dalam ketentuan genosida,” katanya, Kamis, 16 November lalu.

Penyelidikan ICC mengenai kemungkinan kejahatan yang dilakukan Israel sejak Juni 2014 di Gaza dan Tepi Barat masih berjalan dan belum ada dakwaan yang diajukan. “Ini sedang berlangsung dan meluas hingga meningkatnya permusuhan dan kekerasan sejak serangan yang terjadi pada 7 Oktober 2023,” ujar jaksa ICC, Karim A.A. Khan, seperti dilansir CNN, Jumat, 17 November lalu.

Menurut Irfan, belum adanya dakwaan dalam penyelidikan ICC di Palestina itu mengindikasikan bahwa memang tidak mudah menyelidiki kasus ini. Para penyelidik ICC harus pergi ke lokasi peristiwa, melihat bukti-bukti secara langsung di Palestina dan semacamnya. “Itu kan hampir enggak pernah terjadi,” ucapnya. “Israel tidak pernah memberi izin penyidik ICC, termasuk pelapor khusus PBB, masuk ke Palestina.”

Bukan hanya itu masalah dalam penyelidikan ICC mengenai Palestina. Faktor lain yang tak kalah penting, kata Irfan, adalah tekanan politik dari Israel dan negara pendukungnya: Amerika Serikat. “Penolakan Amerika Serikat dan Israel itu, menurut dugaan saya, cukup berpengaruh terhadap pekerjaan investigasi ICC,” tuturnya. Makarim menambahkan, dalam soal Palestina, Amerika Serikat dan Inggris 100 persen mendukung Israel. “Mereka membela dengan segala cara.”

Fakta ihwal penyelidikan ICC di Palestina juga kerap diperbandingkan dengan penyelidikan terhadap pemimpin Rusia karena dugaan melakukan deportasi anak-anak dan pemindahan anak-anak secara tidak sah dari wilayah pendudukan Ukraina ke Federasi Rusia. Setelah setahun penyelidikan sejak awal 2022, hakim ICC memerintahkan penangkapan terhadap Vladimir Putin dan Alekseyevna Lvova-Belova, Komisioner Hak Anak di Kantor Presiden Federasi Rusia.

Wanita Palestina memegang jenazah anak-anak yang tewas dalam serangan Israel, di rumah sakit Indonesia, di utara Jalur Gaza 18 November 2023. REUTERS/Fadi Alwhidi

Menurut Irfan, Rusia mempertanyakan tudingan ICC itu. Sebab, mereka menilai pemindahan tersebut bertujuan menyelamatkan anak-anak. Sedangkan ICC menudingnya sebagai deportasi paksa yang masuk kategori kejahatan perang. “Tapi kan jelas seperti bumi dan langit kejahatannya dibanding yang dilakukan Israel di Gaza. Itu menunjukkan bahwa dimensi politik dari pekerjaan ICC ini juga menonjol.” Dia menambahkan, bisa jadi ada bias politik jaksa karena Khan dari Inggris, sedangkan Bensouda dari Gambia. 

Faktor geopolitik ini yang membuat peluang menyeret pejabat Israel ke ICC, yang bermarkas di Den Haag, tidak mudah, walaupun bukan tidak mungkin. “Tapi sikap opini dunia itu kan mengarah kepada pembelaan Palestina. Dan saya pikir mungkin itu yang paling bisa kita harapkan. Adanya opini publik yang terus bergulir, membesar, dan itu menjadi faktor yang dianggap penting untuk dipertimbangkan dalam langkah berikutnya,” ujar Irfan. 

Makarim mengatakan salah satu peluang untuk mengakhiri pendudukan Israel di Palestina adalah melalui model berakhirnya sistem apartheid di Afrika Selatan pada 1994. Selain perlawanan dari dalam, ada tekanan kuat dari dunia internasional, antara lain dengan melarang kapal Afrika Selatan mendarat di pelabuhan mereka, membekukan perdagangan, dan semacamnya. “Kalau kita lihat sekarang, banyak reaksi di negara Barat atas apa yang terjadi di Gaza. Kalau itu bisa diduplikasi, bisa berdampak sama dengan keputusan Dewan Keamanan PBB,” ucap Duta Besar Indonesia di PBB pada 1997-2001 ini.

Irfan punya pandangan yang sama. Menurut dia, sistem apartheid Afrika Selatan akhirnya tumbang karena kuatnya opini publik dunia. Hal itu mengubah sikap Inggris, dan belakangan Amerika Serikat. “Dugaan saya sama. Kalau Amerika dan Inggris, dan juga Eropa, tidak mendukung lagi Israel, saya pikir itu bisa jadi game changer.” Kapan hal tersebut bisa terjadi, kata Irfan, itu yang sulit diprediksi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Terjal Palestina ke Den Haag"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus