Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Benarkah Komisi Yudisial Tak Bisa Mengawasi Hakim Agung?

Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai menjelaskan korupsi di lembaga peradilan yang menyeret para hakim.

3 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bulan sebelum penyidik Kejaksaan Agung menggulung mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, dan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Komisi Yudisial menemukan kejanggalan putusan terhadap Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuh Dini Sera Afrianti. Tiga hakim—Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul—diduga menerima suap untuk memvonis bebas Ronald Tannur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai bercerita, lembaganya menerima laporan dari masyarakat tentang keanehan putusan bebas Ronald Tannur. Setelah menyelidiki laporan itu, Amzulian dan timnya menemukan hakim cenderung menyoroti fakta yang menunjukkan Ronald Tannur sebagai sosok yang baik. "Hal-hal yang memberatkan tak dimunculkan," kata Amzulian di kantor Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amzulian menjelaskan, hakim tak mempertimbangkan hasil visum terhadap Dini yang menunjukkan ada kerusakan organ tubuh. Keganjilan putusan terhadap Ronald Tannur itu membuat Komisi Yudisial merekomendasikan pemberhentian tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya tersebut. "Mereka melanggar kode etik berat," tuturnya.

Perkara tiga hakim di Surabaya itu bukan skandal korupsi pertama di lingkungan peradilan—mungkin juga bukan yang terakhir. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menangkap hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.

Salah satu pangkal persoalan korupsi di lembaga peradilan adalah kondisi kesejahteraan hakim. Ihwal masalah ini, Amzulian mengaku pernah dipanggil Prabowo Subianto—waktu itu masih presiden terpilih—guna membicarakan solusi masalah gaji dan tunjangan hakim. Menurut doktor dari Monash University, Australia, tersebut, Prabowo terkejut atas jumlah gaji yang diterima para hakim.

Joko Widodo memang menaikkan tunjangan hakim sebelum masa jabatannya berakhir. Namun Amzulian menilai kebijakan itu tak cukup untuk memberantas korupsi di lingkungan peradilan. "Pengawasan eksternal seharusnya diperkuat, bukan dilemahkan," ucap Amzulian, 59 tahun, dalam wawancara selama hampir satu jam dengan wartawan Tempo, Sunudyantoro, pada Kamis, 31 Oktober 2024.

Penangkapan Zarof Ricar menambah panjang daftar korupsi di lingkungan peradilan. Apakah sekorup itu lembaga peradilan kita?

Bagi Komisi Yudisial, persoalannya bermula dari tiga hakim yang menangani kasus Gregorius Ronald Tannur, bukan di Zarof. Mereka membebaskan terdakwa Ronald Tannur. Jangan dibalik ceritanya. Ada laporan yang masuk ke kami setelah putusan bebas terhadap Ronald. Kami memproses laporan ini dan sudah menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat, jauh sebelum operasi tangkap tangan terhadap Zarof.

Apa hasil penyelidikan Anda terhadap tiga hakim dalam kasus Ronald?

Tiga hakim itu melanggar etik. Kami berani menyatakan terjadi pelanggaran kode etik berat oleh tiga hakim itu. Ini putusan yang luar biasa.

Anda menghadapi serangan setelah putusan itu?

Serangan masuk ke kami dengan menyebut Komisi Yudisial melanggar hukum, melanggar aturan yang dibuat sendiri, dan mempersoalkan penyelidikan internal itu yang semestinya tidak dibuka ke publik.

Apakah Anda risau akan berbagai kecaman itu?

Saya tidak ada masalah. Kalau tidak mau diserang, jangan jadi pejabat publik. Kami diamkan saja. Yang pasti, kami menyimpulkan tiga hakim yang menangani perkara Ronald di Surabaya itu melanggar kode etik berat. Karena itu, Komisi Yudisial merekomendasikan pemberhentian ketiga hakim tersebut.

Apa bukti yang Anda punyai mengenai pelanggaran etik berat tersebut?

Para hakim itu menyampaikan kepada publik bahwa pelaku seolah-olah orang baik. Contohnya, korban segera ditolong dan keluarga yang hendak menjenguk dibiayai. Image pelaku sebagai orang baik yang muncul. Sementara itu, hal yang memberatkan tak dimunculkan. Hakim juga bilang korban meninggal karena alkohol. Padahal orang meninggal secara hukum berpatokan pada visum et repertum, yang menunjukkan ada kerusakan organ. Bukti itu saja sudah enggak cocok.

Anda membuka kasus ini di DPR. Tak khawatir dianggap politis?

Ini menarik perhatian publik. Selalu terjadi perdebatan kalau tendensinya ke arah putusan. Kami tak boleh masuk. Padahal banyak hakim menyimpang yang bersembunyi di balik putusannya. Saya sering mengatakan kepada para hakim: Anda berhak membuat putusan, asalkan sesuai dengan nurani, ilmu hukum, dan agama.

Bagaimana jika hakim memutus karena faktor lain? Duit suap, misalnya....

Keadilan menjadi tidak ada. Komisi Yudisial selalu enggak boleh masuk karena kami hanya bisa di jalur formal, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Kami disebutkan tak boleh masuk ke putusan. Betul, tapi dalam kasus tiga hakim di Surabaya itu banyak sekali kejanggalan.

Apakah Kejaksaan Agung meminta Komisi Yudisial menyelidiki tiga hakim yang menangani kasus Ronald?

Tentu. Kami berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Kami akan dilibatkan dalam waktu dekat. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) sudah mengontak saya. Artinya, mereka membutuhkan kami dan kami akan memberikan data. Operasi tangkap tangan dengan sitaan sebesar hampir Rp 1 triliun tersebut jelas pidana, meski itu merefleksikan dan mengkhawatirkan kita semua.


Amzulian Rifai

Tempat dan tanggal Lahir:

  • Muara Kati, Sumatera Selatan, 2 Desember 1964

Pendidikan:

  • Sarjana ilmu hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan
  • Magister ilmu hukum Melbourne University, Australia 
  • Doktor ilmu hukum Monash University, Australia

Jabatan:

  • Ketua Komisi Yudisial (2023-2025)
  • Anggota Komisi Yudisial (2020-2025)
  • Ketua Ombudsman Republik Indonesia (2016-2021)


Seberapa buruk kondisi lembaga peradilan kita?

Saya pikir akan banyak tafsir. Lembaga peradilan kita sebegitu mengecewakan. Mungkin itu istilah yang bagus. Di dunia ini, harapan terakhir mencari keadilan ada di pengadilan. Para hakim dalam bahasa Inggris dipanggil mister justice. Di Indonesia lebih gawat: wakil Tuhan. Mengaku sebagai wakil Tuhan itu berat konsekuensinya.

Anda punya solusi?

Banyak sekali pekerjaan rumah kita. Saya sudah diundang dan berbicara dengan Pak Prabowo Subianto pada akhir Mei 2024 untuk memberi masukan guna membenahi lembaga peradilan kita. Pertemuan itu digelar jauh sebelum ada aksi solidaritas para hakim yang menuntut kesejahteraan.

Apa saran spesifik untuk Prabowo?

Soal kesejahteraan hakim karena beliau punya atensi di situ. Pak Prabowo bilang kita enggak perlu banyak bicara dan langsung beraksi. Saya menerjemahkan bahwa diskusi itu perlu dirahasiakan. Dalam pertemuan itu, saya cuma menghafal gaji hakim agung yang angkanya agak tinggi. Ketika saya sebut nilainya, Pak Prabowo bilang, "Ha, segitu?"

Kami mendengar cerita hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung tak mulus. Benarkah MA menolak pengawasan oleh lembaga Anda?

Ketua MA sangat akrab dengan saya. Paling tidak, hubungan kami sangat harmonis dalam arti KY dikendalikan MA. Komunikasi sangat mudah. Saya menegaskan bahwa hubungan kami dengan MA sangat baik. MA juga tak berkeberatan atas pengawasan oleh KY.

Apa buktinya?

Tindakan kami dalam menilai putusan kasus Ronald Tannur di Surabaya sangat berani. Ini keluar dari pakemnya. Jangan-jangan ini yang pertama kali. Sebab, kalau semata-mata masuk ke ranah etik, kami susah. Padahal KY selama ini enggak boleh masuk jika menyangkut putusan. Tapi kemudian terbukti. Begitu ada operasi tangkap tangan, saya mengontak Jampidsus dan meminta penjelasan. Jaksa kemudian mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan bebas.

Ada yang bilang gaji hakim kecil sehingga mereka mudah sekali disuap. Anda sepakat?

Hakim pengadilan negeri umumnya menerima gaji rendah, meski Pak Jokowi menandatangani aturan kenaikan tunjangan hakim sebelum masa jabatannya berakhir. Kenaikannya sekitar 40 persen dari gaji pokok. Namun itu belum layak juga. Zarof mengaku duit senilai hampir Rp 1 triliun itu dikumpulkan sejak 2012. Padahal, faktanya, terkadang lebih dari itu. Kasus Zarof ini menunjukkan ada persoalan besar di lingkungan peradilan. Karena itu, pengawasan eksternal seharusnya diperkuat, bukan dilemahkan.

Petugas menata barang bukti uang senilai Rp 920.912.303.714 serta 51 kilogram emas terkait dengan penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, di Kejaksaan Agung, Jakarta, 25 Oktober 2024/Antara/Asprilla Dwi Adha

Menaikkan gaji dan tunjangan tak menjamin korupsi hilang....

Harus dimulai dari orang yang cukup efektif, juga orang dari luar pengadilan. Kontrol dari luar boleh dan jangan seolah-olah seperti tak ada harapan lagi. Jika begitu, rasanya pesimistis saja sebagai bangsa. Mayoritas hakim baik dan para pencari keadilan harus punya trust kepada hakim. Sebagian besar kasus diputus dengan baik. Hanya, yang muncul kasus seperti ini sehingga seakan-akan para hakim tak ada yang baik.

Memperkuat kontrol dari luar sama artinya dengan menambah kewenangan KY?

Tentu, terutama fasilitas yang harus diperkuat. Fasilitas itu bukan soal gaji. Ini soal jumlah orang dan keterampilan.

Apa persoalannya?

Kami hanya punya kantor penghubung di daerah. Tak lebih baik dari kantor pos. Kalau ada masalah di daerah, tetap kantor pusat yang memutuskan. Kami sudah mengajukan revisi undang-undang mengenai hal ini. Kami ingin KY tak hanya punya kantor penghubung, tapi juga menjadi kantor perwakilan.

Mengapa harus menjadi kantor perwakilan?

Berdasarkan pengalaman saya di Ombudsman, pelapor datang pertama kali dalam keadaan marah. Kedatangan kedua, dia bertanya bagaimana laporannya. Kedatangan ketiga, dia bertanya lagi bagaimana laporannya. Jawaban kantor penghubung adalah mereka hendak bertanya dulu kepada pihak Jakarta. Bisa dilempar itu meja ke kami. Tantangannya begitu. Lembaga pengawas tidak lebih berwibawa dibanding lembaga yang diawasi. Lembaga pengawas eksternal mana pun harus lebih berwibawa dari lembaga yang diawasi.

Spesifiknya, kewenangan apa yang mesti ditambahkan?

Soal kewenangan, bergulir di DPR. Kalau menurut saya pribadi, kewenangan KY yang ada cukup kuat, asalkan diberi senjata yang cukup. Dari pengalaman saya, kadang-kadang kewenangan yang ada hendak ditambah terus. Padahal kewenangan yang ada tidak dijalankan dengan baik. Bagi saya, yang ada saja. Kalau kami dipersenjatai dengan kuat, bisa. Apa yang mau dikuatkan kalau senjatanya enggak ada? Apalagi kalau ditambah kewenangannya, tambah mantap. Sejauh ini, kami baru ada perwakilan di 20 provinsi. Kalau meminta kewenangan terus, enggak akan selesai.

"Persenjataan" apa yang Anda butuhkan?

Tim investigator yang bagus dan peralatan yang canggih. Itu cukup. Pada akhirnya, pengawasan ini memerlukan pembuktian. Orang melapor kepada kami, tapi kami tidak mampu mendalaminya, misalnya, karena kurang orang. Belum selesai satu laporan, sudah muncul laporan lain.

Sampai mana progres revisi Undang-Undang Komisi Yudisial?

Sekarang sudah masuk ke Badan Legislasi DPR. Kami berharap ini bisa menjadi momen bagi teman-teman di DPR mendukung keinginan Pak Prabowo yang memperhatikan bidang hukum, terutama sektor peradilan. Mungkin salah satunya merevisi Undang-Undang KY dengan memberi penguatan. Sementara Anda mengatakan dulu ada pelemahan, saya pikir tidak. Saya tidak melihat ke sana. Saya melihat ke depan, bagaimana penguatan terhadap KY sebagai pengawas eksternal dari dunia peradilan. Biarkan seleksi anggota KY berjalan independen kalau ingin lembaga ini bertambah kuat.

Mengapa masih ditemukan hakim agung yang menjadi bagian dari mafia hukum?

Peran KY termasuk menyeleksi hakim agung. Saya menyaksikan bukan main kerja keras kita untuk mendapatkan kandidat yang luar biasa. Prosesnya sudah luar biasa. Pak Luhut Binsar Pandjaitan pernah bertanya kepada saya, "Prof, nanti setelah dari KY mau ke mana?" Saya mengatakan akan pulang dan ingin mengajar lagi di kampus. Beliau mengatakan jangan dan lebih baik jadi hakim agung. Soalnya, kalau jadi hakim agung, saya tidak akan lolos tes. Prosesnya berat. Di situ keterampilan diuji, rekam jejak ditelusuri, dan semua diperiksa. Itu upaya kami menyaring untuk mendapatkan calon hakim agung yang terbaik.

Orang terbaik belum tentu tahan godaan....

Hakim agung yang kami seleksi adalah orang-orang terbaik. Kami juga tak mengatakan hakim yang terlibat kasus ini bukan hasil seleksi kami. Itu namanya cuci tangan. Artinya begini, faktor paling utama terjadinya hal seperti itu adalah kepribadian masing-masing. Kedua, tentu saja ada upaya-upaya dari pihak luar. Pihak luar itu artinya di luar hakim, baik dari lingkup internal kantor maupun orang yang beperkara. Saya pikir semuanya bisa berpotensi merusak semua itu. 

Hasil seleksi terbaik versi KY bisa ditolak di DPR, seperti 12 calon hakim agung dan hakim HAM ad hoc....

Ranah kami menyeleksi. Sebab, dalam proses berikutnya, ada proses politik yang tentu kami tidak bisa ikut campur. Itu ranah lain. Selama di KY, saya melihat keinginan, tekad, dan upaya di level pimpinan MA, menurut saya, sudah baik. Mau bagaimana lagi? Masak, Ketua Mahkamah Agung harus mengamati semua hakimnya selama 24 jam.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, wawancara ini terbit di bawah judul "Menjadi 'Wakil Tuhan' Itu Berat Konsekuensinya"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus