Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Riset Kami Tak Mendapat Dukungan

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELAMBUNGNYA harga kedelai belakangan ini tak hanya memukul produsen tahu dan tempe, tapi sekaligus menjadi tamparan bagi Djarot Sulistio Wisnubroto, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Tiga dasawarsa lalu lembaganya mulai mengkaji pemanfaatan teknologi mutasi radiasi untuk tanaman pangan. Riset tersebut telah menghasilkan enam varietas kedelai lokal. Namun pemerintah belum memanfaatkan temuan itu untuk mendongkrak produksi kedelai nasional.

Padahal, jika melihat hasil riset Batan, enam varietas kedelai tersebut jelas lebih unggul dibanding kedelai yang selama ini ada. Kedelai Mutiara-I, misalnya. Selain tahan penyakit karat daun (Phakospora pachirhyzi Syd), varietas unggul ini bisa menghasilkan sedikitnya 2,4 ton per hektare. Sedangkan rata-rata produksi nasional hanya sekitar 1,5 ton per hektare.

Menurut Djarot, Batan telah berupaya memperkenalkan berbagai varietas yang telah disertifikasi Kementerian Pertanian tersebut kepada para petani di daerah. Banyak petani ingin menanamnya. "Tapi, bagi mereka, tak ada guna menanam kalau tidak mendapat harga jual yang layak," ujarnya.

Selain itu, dia mengakui sulit menghapus persepsi masyarakat yang masih dihantui bahaya radiasi nuklir. Akibatnya, peran Batan, yang telah berusia separuh abad lebih, tak pernah bergaung. Jangankan penerapannya pada makanan, pekerjaan mereka yang lebih dikenal publik pun, yakni menyiapkan pemanfaatan nuklir sebagai sumber daya energi, tak jelas nasibnya.

Padahal berbagai uji kelayakan untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) telah dimulai pada 1970-an. Rencana terakhir—membangun PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah—kini hilang begitu saja. Begitu pula uji kelayakan lokasi baru di Bangka Belitung yang sedang dikerjakan dan ditargetkan rampung tahun ini belum tentu akan merealisasi mimpi Indonesia memiliki PLTN pertama.

Djarot kecewa. Toh, dia juga tak bisa berbuat banyak. "Masalah utamanya pada keputusan politik," katanya. Harapannya mengangkat Batan kembali tumbuh setelah pada Juli lalu pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2013 tentang Batan. Ini adalah beleid pertama yang spesifik mengatur perihal Batan sebagai badan pelaksana penelitian dan pengembangan nuklir.

Sementara menunggu dampak dari aturan baru tersebut, Batan melanjutkan perannya di komunitas nuklir internasional. Banyak negara, terutama Asia dan Eropa, selama ini menjalin kerja sama dengan lembaga ini untuk pemanfaatan teknologi nuklir. Selasa pekan lalu, wartawan Tempo Tito Sianipar menemui Djarot yang sedang menghadiri konferensi di kantor pusat Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Wina, Austria. Selama dua jam wawancara, ditemani secangkir melange, sesekali Djarot harus melayani beberapa delegasi negara lain yang menghampirinya.

Di antara hasil penelitian Batan, apa yang selama ini menurut Anda paling unggul?

Yang paling unggul adalah pertanian. IAEA juga mengatakan Indonesia unggul di bidang pertanian. Mereka tidak pernah mengatakan keunggulan Malaysia. Ukurannya adalah tidak adanya bantuan IAEA kepada kami. Sebaliknya, kami yang diminta membantu. Tenaga ahli kami dipakai negara lain, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja. Kalau sampai IAEA menunjuk kita membantu negara lain mengembangkan nuklir untuk pangan, berarti teknologi kami memang lebih unggul dibanding negara-negara regional.

Apa saja hasil penelitian Batan di bidang pertanian?

Bibit unggul padi kami telah menghasilkan 20 varietas. Itu berarti sekitar 10 persen dari semua varietas nasional.Bibit ini bisa memproduksi 8-10 ton per hektare dari yang biasanya 5 ton, tahan hama, dan dalam setahun bisa dua-tiga kali panen. Bibit unggul kedelai kami juga menghasilkan biji kedelai lebih besar. Produksi per hektarenya juga lebih tinggi. Kami menggunakan teknologi iradiasi, sehingga bibit yang tadinya biasa menjadi unggul. Yang kini sedang dikembangkan adalah sorgum.

Bagaimana dengan pemanfaatannya? Indonesia masih mengimpor kedelai.

Masalahnya adalah petani tidak mendapatkan harga jual yang layak. Kalau harga jual kedelai tinggi, kita tidak akan mengalami krisis kedelai seperti sekarang. Bagi petani, tidak ada gunanya menanam kedelai kalau harga jualnya rendah.

Berarti hasil penelitian Batan tidak dipakai?

Masalahnya itu tadi, petani sebenarnya mau menggunakan bibit hasil penelitian Batan. Tapi, kalau tidak bisa menjual secara kompetitif, buat apa mereka menanam? Saat ini harga impor kedelai lebih murah daripada memproduksi sendiri. Seharusnya petani kita dilindungi.

Apakah bukan karena Batan kurang mensosialisasi?

Kami sudah mempromosikan kepada kelompok tani, pakar, dan masyarakat yang lebih luas. Tapi memang kurang efektif kalau tidak didukung insentif dari pemerintah. Misalnya harga kedelai yang cukup kompetitif sehingga petani tertarik menanam. Yang terjadi sekarang adalah semua berpikir pendek, "Sudah, impor saja."

Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan pemerintah kurang mendukung hasil penelitian Batan?

Kalau boleh saya katakan, itu adalah penyakit pemerintah di negara-negara berkembang, yaitu koordinasi dan birokrasi. Saya kasih contoh alat militer dan senjata kita yang sudah tua. Pemerintah memberi anggaran besar untuk membeli dari luar. Padahal kita bisa menggunakan hasil penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Itu analogi yang sama terhadap hasil penelitian Batan. Penelitian itu memang mahal pada awalnya, dan tidak ekonomis. Tapi, dalam jangka panjang, hasilnya akan lebih berkelanjutan. Kita lebih mandiri.

Apakah kecewa?

Ya, kecewa. Soalnya kami meneliti berdasarkan permintaan. Apa yang dibutuhkan masyarakat, itulah yang dikerjakan Batan. Semestinya, begitu sudah selesai, kembali ke masyarakat. Yang menjadi titik lemah sebenarnya adalah koordinasi dengan instansi lain, terutama kementerian teknis. Itulah sebabnya kami bergerak langsung ke kelompok tani.

Tapi akibatnya peran Batan jadi tak terdengar….

Saya setuju bahwa Batan selama ini tidak kelihatan. Tapi, begini, pengembangan nuklir baru akan tampak kalau kita punya PLTN. Selama ini ada beras Batan, namanya Si Denok. Kualitasnya lebih bagus daripada beras Jepang. Saya setiap hari memakannya. Tapi, ketika kami sampaikan kepada pihak swasta untuk disebarkan, mereka tidak memasang label nuklir karena takut tidak laku. Maka masyarakat tidak mengenal kami. Padahal beras itu sudah beredar. Itulah contoh mengapa kami tidak dikenal. Batan baru akan dikenal setelah Indonesia punya PLTN.

Indonesia sudah menggagas pemanfaatan nuklir untuk energi sejak 1970-an, bagaimana nasibnya sekarang?

Yang belum jelas adalah PLTN. Saat ini kami masih melakukan feasibility studies di Bangka Belitung. Diharapkan pada Desember 2013 ini selesai.

Artinya rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria dipastikan batal?

Sebenarnya bagi kami tidak ada istilah tertutup kemungkinan. Silakan pemerintah memutuskan apakah di Muria, Bangka, atau Banten. Ketiganya sudah ditawarkan kepada pemerintah. Muria dan Banten bahkan sudah selesai dikaji dan layak.

Bukankah PLTN memang pilihan terakhir dalam draf kebijakan yang disusun Komite Energi Nasional?

Masalah utamanya pada keputusan politik. Semua orang di birokrasi sebenarnya sudah sadar bahwa minyak dan gas akan habis. Batu bara juga ada batasnya. Jadi saya tidak tahu apa maksudnya draf kebijakan itu menyebut pembangunan PLTN adalah pilihan terakhir.

Adakah solusi agar pembangunan PLTN bisa segera diwujudkan?

Sekarang Batan sedang berdiskusi dengan Bappenas tentang apa yang bisa dilakukan supaya tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Undang-undang ini menyebutkan pembangunan PLTN pada 2015-2019. Tapi kami juga membutuhkan kerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kuncinya ada di mereka.

Bukan di Batan?

Ini diskusi yang menarik. Undang-Undang Ketenaganukliran memang menyebutkan pembentukan badan pengawas dan pelaksana. Pengawas sudah jelas Badan Pengawas Teknologi Nuklir (Bapeten), tapi pelaksananya tidak tegas menyebut Batan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang itu. Baru pada peraturan presiden Juli lalu ditegaskan lagi.

Lalu apa saja yang bisa dilakukan Batan untuk rencana pembangunan PLTN?

Dua tugas utamanya adalah penyiapan lokasi dan promosi. Batan tidak dalam posisi menentukan tempat, tapi hanya memberikan opsi.

Apakah ledakan dan kebocoran reaktor nuklir Fukushima di Jepang tak semakin mengganggu rencana pembangunan PLTN di Indonesia?

Kejadian di Fukushima tentu berdampak. Pada 2010, hasil jejak pendapat menyebutkan 60 persen setuju ada PLTN. Setahun kemudian, setelah kejadian Fukushima, pendukung adanya PLTN turun hingga di bawah 50 persen. Tapi tahun lalu naik lagi, pro-nuklir menjadi 52,9 persen. Sekarang kembali kepada pemerintah, apakah dengan 52 persen itu cukup untuk memutuskan pembangunan PLTN atau tidak.

Persoalannya, rencana pembangunan PLTN selalu berubah seiring dengan bergantinya penguasa. Dan Batan selalu dianggap yang paling berambisi merealisasinya.

Pembangunan PLTN sudah pasti lintas rezim. Perlu program kerja yang kuat di pemerintah pusat dan daerah. Kalau tidak, sia-sia uang itu. Tapi jangan disalahartikan kami berambisi. Harus diingat, Batan tidak pernah memaksakan, tidak mengoperasikan, dan tidak akan memiliki PLTN tersebut.

Banyak yang khawatir terhadap PLTN karena Indonesia berada di area cincin api sehingga rawan bencana alam….

Kecemasan itu wajar saja. Masalahnya, tidak seluruh wilayah Indonesia berada di ring of fire. Bangka aman, Kalimantan juga. Kalimantan paling aman dari gempa bumi dan gunung berapi. Pulau ini juga paling stabil karena tidak dekat dengan lempeng patahan. Tapi kalau pembangunannya di Kalimantan berarti hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik di sana. Susah membangun transmisinya ke Pulau Jawa karena lautnya lebar.

Bukankah kini ada teknologi PLTN mini (small medium reactor/SMR)?

Memang ada ide untuk mencoba reaktor kapasitas kecil sebagai pengenalan kepada masyarakat. Sebenarnya, untuk negara kepulauan seperti Indonesia, SMR lebih sesuai. Masalahnya, reaktor mini terbentur peraturan pemerintah, karena SMR masih dalam bentuk desain, belum proven technology. Aturan pemerintah menyebutkan PLTN yang boleh dioperasikan hanya yang telah proven atau sudah dioperasikan negara asalnya, paling tidak tiga tahun. Sekarang Bapeten berencana merevisi aturan itu.

Berarti uji kelayakan yang kini dilakukan mengkaji PLTN berskala besar dan kecil?

Dua-duanya kami uji kelayakannya. Kalau membangun yang besar di Bangka, PLN sudah menjamin akan membangun transmisinya dari Bangka ke Sumatera lewat laut, baru ke Jawa.

Berapa biaya yang dibutuhkan membangun satu unit PLTN?

Untuk pembangkit berkapasitas 200 megawatt biayanya Rp 7-10 triliun. Sedangkan untuk 1.000 megawatt diperlukan Rp 15-20 triliun. Semakin besar memang semakin murah. Dibanding pembangkit tenaga batu bara, biayanya satu setengah hingga dua kali lipat. Tapi biaya operasinya kompetitif. Emisi gas buang PLTN nyaris nol. Sedangkan batu bara kotor sehingga mahal jika dihitung dari segi kebersihan lingkungan. Ini yang sering tak dilihat orang.

Tapi masyarakat khawatir terhadap limbah radiasi nuklir….

Itu aneh. Kok, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) tidak dipermasalahkan. Padahal limbah radioaktif itu ada usianya, sementara limbah B3 itu selamanya. Reaktor Batan di Serpong, Bandung, dan Yogyakarta juga menghasilkan limbah, tapi belum pernah ada kasus, kan? Industri dan rumah sakit yang menggunakan zat radioaktif juga begitu. Bahkan kami dan Bapeten sedang merancang untuk bisa menggunakan limbah tersebut agar bisa dipakai kembali di industri.

Sumber pembiayaannya sudah siap?

Ada beberapa yang sudah datang ke Batan menawarkan kerja sama. Salah satunya Rusia, yang menawarkan metode BOO (build, operate, own). Mereka melakukan itu di Turki. Yang membangun, mengoperasikan, dan memilikinya adalah Rusia. Jadi Turki tidak keluar apa-apa. Tapi kerugiannya kita tidak punya kemampuan apa-apa. Sumber daya manusia kita menjadi sia-sia.

Sumber daya manusia Batan sendiri tak ada persoalan?

Ada masalah besar. Usia rata-rata pegawai Batan saat ini 51 tahun. Kalau pensiun pada usia 56 tahun, berarti lima tahun lagi sebagian besar pensiun. Sedangkan kami baru berencana menerima pegawai baru tahun depan. Itu pun jumlahnya hanya 75 orang. Itu masalah besar, siapa yang akan mengoperasikan fasilitas nuklir nantinya?

Apakah lambannya regenerasi disebabkan oleh kurangnya kesejahteraan peneliti?

Memang ada beberapa pegawai kami yang memilih ke luar negeri. Ada yang karena tawaran gaji lebih besar, ada juga karena keahlian mereka lebih dihargai di sana. Menurut saya, yang sangat penting saat ini adalah kepastian tentang masa depan energi nuklir di Indonesia. Kalau masih belum ada titik terang, mungkin minat kaum muda untuk belajar nuklir dan masuk ke Batan juga tetap akan sedikit. Walaupun saya yakin banyak di antara mereka yang masih mempunyai idealisme.

Djarot Sulistio Wisnubroto
Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 1 Januari 1963 Pendidikan: l S-3 Teknik Nuklir University of Tokyo (1993) l S-2 Teknik Nuklir University of Tokyo (1990) l S-1 Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada (1986) Karier: l Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (September 2012-sekarang) l Deputi Kepala Batan (2010-2012) l Kepala Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Batan (2006-2010) l Kepala Bidang Pengolahan Limbah Radioaktif Batan (2001-2008) l Kepala Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Batan (1999-2001)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus